Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Sang Perempuan Duplikasi

Sang Perempuan Duplikasi

Abadot

5.0
Komentar
1.1K
Penayangan
32
Bab

Kepala puyeng, perut mual, dan suka linglung. Anne pikir kalau dia punya kelainan di dalam dirinya. Keganjilan-keganjilan sekelumit kisah hidup yang rasa-rasanya tidak pernah dia alami, tapi seakan-akan harus dipelajari dan dijalankannya. Ke mana Anne harus membebaskan unek-uneknya? Apa ke Henry, seorang CEO perusahaan perhiasan sekaligus suaminya, tapi membuat Anne muak dengan sikap kasar, sering meremehkan, dan acap kali kesurupan dengan nafsu liarnya? Atau ke Ben, sang asisten pribadi yang selalu menghibur dan memberikan kenyamanan seperti sahabatnya sendiri?

Bab 1 Cuilan 01

Getaran ponsel menyeterum-nyeterum kecil paha seorang pria berambut gondrong dan berbrewok sambil punggungnya bersandar pada mobil mewah hitam keluaran merk ternama dari perusahaan otomotif terkenal di Eropa. Seketika siulannya terusik dan teralihkan ke benda yang ada di dalam kantung celana hitam panjang berbahan katun.

"Ada apa?" tanya Ben setelah mengusap layar ponselnya untuk menerima panggilan masuk. Nada suaranya mengenteng sembari memandang-mandangi tingginya bukit-bukit di sekelilingnya dengan kepala mendengak.

"Kau di mana?" balas Chris bertanya dengan memburu dan langsung menusuk kuping Ben. " Kau bersama Nn. Winterdust, 'kan?"

"Aku asisten pribadinya. Mana mungkin bisa jauh-jauh dari dia." Matanya terputar sekelibat dan tampak mencebik bibirnya. "Memangnya ada apa? Aku sekarang lagi di daerah Wanlockhead."

"Tn. Goodfellow dan Nn. Winterdust siang tadi ribut besar. Aku lihat Nn. Winterdust terus murung dan gusar." Chris tetap bernada seperti mencerminkan sifatnya yang tegas, tertata, dan kaku. Dia sebenarnya sedang gelisah dan hatinya mencium sesuatu yang tidak beres dari perangai kekasih Tn. Goodfellow itu. "Pastikan kau terus bersamanya. Aku tidak mau ada kabar aneh dan kejadian yang bukan-bukan terjadi," lanjut asisten pribadi Tn. Goodfellow itu.

"Ba-baik." Ben berdeham-deham, suaranya sedikit hilang dikarenakan kebiasaannya bernyanyi-nyanyi lagu rock di kamar mandi akhir-akhir ini.

Ponselnya diselipkan kembali ke kantung celana. Ben membiarkan Chris saja yang mengakhiri panggilannya. Dia lalu berlari-lari kecil dan sedikit berbelok pada sebuah kelokan melengkung untuk mencari Nn. Winterdust. Wanita itu seingatnya hanya menitip pesan agar menunggu di mobil saja, dan sebagai seorang asisten tentunya dia hanya bisa manut tanpa bertanya-tanya lebih dalam. Namun, peringatan dari Chris seakan-akan membuat gamang pikirannya. Ben takut terjadi apa-apa pada wanita yang terakhir kali dia lihat menjinjing sebuah tas cangklong dengan motif-motif bunga berukaran besar, berwarna krim lembut, dan isinya tidak diketahui secara pasti.

Ben terpaku. Netranya membeliak heran ketika melihat wanita berusia tiga puluh tahun telah terbaring di pinggiran aliran sungai dan rerumputan hijau yang tak begitu semak sebagai kasurnya.

"Nn. Winterdust?" Ben mendesis setelah mendekati wanita yang terbujur kaku sambil mendekap sebuah buntalan gaun putih berhiaskan berlian-berlian di tangan kirinya, dan tas congklang tampak dia amati tertimpa di balik gaun itu.

Ben mulai panik, kepalanya menoleh ke kiri dan kanan berganti-gantian dengan ritme tergesa-gesa. Tidak ada seorang pun di sekitaran dataran tinggi berbukit-bukit Desa Wanlockhead. Ben juga tidak tahu harus berbuat apa dengan keadaan Nn. Winterdust yang tertatap meredup sinaran matanya disertai lumuran busa keluar dari mulutnya.

Lutut Ben kemudian menekuk jongkok. Tanpa berlama-lama dan seakan terhanyut dalam pikiran kalutnya dikarenakan senja yang mendung terlihat tak bersahabat. Kiriman gerimis-gerimis semakin lama semakin memberondongi sekujur tubuhnya dan Nn. Winterdust.

Kedua tangan Ben mengangkat wanita berambut hitam kecokelatan itu seperti gendongan penganting baru yang tengah berbahagia, tapi tanpa kalungan tangan melingkari leher sang pria. Tentu Nn. Winterdust tidak bisa melakukan itu, karena tangannya lunglai tak bertenaga dan telapak tangan kanannya terbuka lemas sambil menjatuhkan botol kaca berwarna cokelat seukuran jempol yang cairan racun di dalamnya berhasil membuat kondisi wanita berwajah sendu itu menjadi begitu mengenaskan.

Konsentrasinya tidak tertuju ke benda apa pun selain tubuh tak berdaya Nn. Winterdust, gaun, dan tas kain. Ben tidak tahu botol racun sianida itu menggelinding dan hampir bermuara di pinggir aliran sungai.

***

Pintu mobil berhasil dibukanya dan dengan tangkas meletakkan Nn. Winterdust di kursi sebelah supir. Mata Ben agak menjuling ketika hendak menutup pintu ke arah bawah area sepatu kulitnya. Dia kemudian mengutip benda berkilau yang rupanya bagian rumpunan hiasan berlian dari gaun milik Nn. Winterdust.

Ben mengitari mobil berjenis MPV itu sesudah mengantungi berlian dan menutup pintunya. Di depan kemudi setir, Ben termegap-megap sambil terus berpikir apakah dia menelepon Chris saja untuk mengonfirmasi kejadian yang sedang menderanya. Namun, dia segera menganulir niatan itu lantaran inisiatifnya untuk kembali ke Glasgow mungkin jauh lebih tepat.

"Tidak ada waktu. Lebih cepat lebih baik," gumam Ben sembari menghidupkan mesin mobil dan menggasnya hingga menderap kencang.

Mobil tetap konsisten pada kecepatannya. Alat penyeka air hujan tak lupa dia aktifkan agar mengusap-usap kaca mobil dari kerumunan rerintikan hujan yang tiada berkesudahan sehingga pandangan mata terhadap jalan desa yang beraspal sempit tidak akan mengganggunya.

Kedua alis Ben terajut dan raut wajahnya tercorak keheranan menatap dari kejauhan sekitar beberapa mil saja tampak seorang perempuan bersimpuh di pinggiran jalan sepi dengan kepala wanita tua menumpang tak bergerak di atas pahanya. Awalnya Ben hanya cuek dan tidak terlalu peduli, tapi setelah melewatinya beberapa jengkal, hatinya terketuk dan menghentikan mobil.

Ben terbirit-birit menghampiri wanita malang itu sambil tangan kananya terbentuk seperti teduhan buatan di depan dahinya.

"Kau tidak apa? Kenapa dengan orangtua itu?" tanya Ben dengan menekan otot tenggorokannya agar suara seraknya sedikit terminimalisir.

"Dia terjatuh begitu saja dan pingsan." Perempuan itu menangis. Air matanya seakan menyatu dengan buliran air hujan.

Tanpa banyak basa-basi lagi, Ben segera membantunya. Dia mengangkat wanita berambut serba putih karena termakan usia itu menuju mobil milik majikannya. Dia lalu menempatkannya pada kursi belakang, dan sekaligus mempersilakan perempuan yang sedikit reda tangisnya agar mendampingi si wanita tua.

"Kita akan ke rumah sakit di Glasgow, karena aku juga sekalian ...." Untaian kalimatnya mengambang. Ben berpikir ulang untuk menyebut Nn. Winterdust yang juga dalam keadaan sekarat.

"Thank you. Thank you, Sir." Perempuan itu menyibakkan rambutnya ke samping sehingga mengumbarkan jelas wajahnya.

"What?" Pekik Ben dalam benaknya sembari terpelongo menatap paras perempuan berwajah persegi, hidung mancung ramping, bibir tipis, dan beralis panjang itu mirip seperti Nn. Winterdust.

Jari-jari Ben menekan tuas pintu mobil hingga tergeser otomatis dan perlahan-lahan menutup.

"Apa yang telah kulihat?" tanya Ben setelah hinggap kembali di balik setir kemudi, dan menghidupkan mesin mobil. Bisa jadi dia bertemu makhluk halus atau kejadian paranormal sedang menimpanya kini, pikirnya sambil lalu. Tapi, Ben juga bukan orang yang terlalu percaya dengan hal-hal berbau mistis seperti itu.

Mendelik matanya ke Nn. Winterdust di sebelah. Badan wanita berambut hitam kecokelatan itu semakin pucat dingin dan matanya seperti mau loncat keluar. Ben merapatkan jari telunjuk dan tengahnya sembari meraba nadi leher Nn. Winterdust yang tak terasa berdenyut.

"God," lirih Ben. Giliran area bawah hidung yang dirasa tidak ada hembusan anginnya lagi. Nadi tangan Nn. Winterdust juga menyampaikan kesan serupa. Tanda-tanda kehidupan seakan nihil dikandungi badannya.

"Oh, God. No. No. No." Ben mengantukkan keningnya ke setir mobil berulang-ulang kali. Jalan pikirannya buntu seketika. Tidak mungkin dia menelepon Chris, bisa-bisa ketahuan juga oleh Tn. Goodfellow dan itu akan mengancam karirnya kelak. Tangan Ben mulai gemetaran, bukan karena badannya yang kebasahan, melainkan kegusaran yang semakin bergejolak dan menjadi-jadi. Air matanya pun seolah-olah hendak tertumpah, tapi seakan tersumpal oleh kecemasannya yang menggebu-gebu.

Kurang dari lima menit dia terkubur di dalam nestapanya. Ben kemudian mengatrol lehernya lambat-lambat dan melepaskan dahinya yang menempel di setir kemudi. Kilatan matanya berubah bengis dan buas. Dia langsung melirik dasbor di depan Nn. Winterdust dan membukanya.

Nn. Winterdust setahu Ben menyimpan kloroform di dalam dasbor untuk obat penenangnya. Dia juga ingat kalau wanita itu selalu takut-takut memakainya dan akhirnya membeli saja tanpa digunakan.

Ben membuka botol kaca berisi kloroform seukuran ibu jari dan telah menyiapkan saputangan yang berhasil didapatnya pada kotak sandaran tangan. Saputangan berbentuk persegi kemudian dituangnya dengan cairan tak berwarna dari kloroform.

Dasbor kembali dia tutup dan meletakkan botol kloroform bersama koloni lainnhya yang berjumlah kurang lebih empat buah.

Kaki Ben menginjak aspal becek dan petir menyambar-nyambar dengan bunyi lantakan yang menyeramkan. Dia kemudian membuka pintu belakang lagi.

"Pak? Kenapa belum jalan-jalan mobilnya?" tanya perempuan polos yang tidak tahu menahu kejadian sesungguhnya, apalagi ada mayat di samping kursi pengemudi karena partisi menyekat di antara kursi penumpang di belakang dan dua kursi di depan. "Ada gangguan?"

Bahkan suara perempuan itu nyaris mirip dengan Nn. Winterdust, dan sekaligus membuktikan asumsi Ben bahwa dia tidak dipermainkan makhluk astral.

"Em, ya ... itu." Ben benar-benar tidak punya ide hendak mengarahkan ucapannya ke mana sembari acap mengelak tatapan penuh tanda tanya yang tersirat dari bola mata perempuan itu.

"Nenekku ini-" Tanpa sempat berteriak, suara perempuan itu terpenggal. Sebuah saputangan mendekap ke wilayah hidung dan mulutnya. Tubuhnya sedikit melawan beberapa detik, tapi kloroform terlampau liar melumpuhkan saraf-sarafnya sehingga dirinya lunglai dan pingsan.

Ben bingung mau ke mana dan merenung sejenak di depan setir kemudi. "Apa yang telah kulakukan?" gumamnya.

"Apa aku cari jurang saja di sekitar sini, lalu menjebloskan mobil ini?" Benak Ben sudah bertanya-tanya entah sudah ke berapa kali. Napasnya menderu-deru tak menentu. Namun, akhirnya ide itu dicegahnya dan kembali ke niat asalnya dari langkah awal meracuni perempuan di belakang yang mirip Nn. Winterdust.

"Aku ke mansion. Ya, mansion saja," gumam Ben sambil memantapkan hatinya menuju mansion milik perempuan yang telah jadi bangkai di sebelahnya. Rencana sekelibat tersusun satu per satu di dalam otaknya.

***

Kurang lebih satu jam memakan perjalanan menuju mansion dua lantai yang tak berpenghuni. Bahkan, Nn. Winterdust jarang bertandang ke mansion dengan ukuran bangunan diperkirakan antara empat sampai lima ratus meter persegi itu.

Ben sekarang berada di hadapan dua perempuan yang kemiripannya nyaris seratus persen sama dan bagaikan pinang di belah dua. Kedua tangannya memancang di pinggul sambil menggeleng-geleng lemah menatap lekat kedua muka kembar antara Nn. Winterdust dan perempuan yang belum dia ketahui identitas lengkapnya. Lalu, dia tersirap kembali dengan ide liarnya.

Ben segera menuju ruang atas dan membuka kotak obat-obatan. Dia juga pernah tahu kalau Nn. Winetrdust memiliki obat gangguan kecemasan yang bisa membuat linglung dan hilang ingatan. Teguran Nn. Winterdust untuk tidak usah mengusik obat itu pun masih menyarang dalam ingatannya. Seingat Ben, warna botolnya berwarna biru dongker beserta jarum suntik menempel di sisinya.

Senyumnya semringah. Dia cepat-cepat kembali ke ruang tengah, dan berpayung tepat di bawah lampu hias yang sangat besar dan berkilauan. Ben pun mulai melancarkan aksinya. Namun sebelum itu, dia menelenjangi kedua perempuan mirip itu hingga mereka hanya memakai sempak dan bra saja.

"Mereka begitu mirip, tapi dada perempuan ini lebih menggiurkan," ujar Ben menikmati keindahan dada perempuan desa itu yang montok berisi, ukurannya tidak terlalu besar, dan tentunya idaman para pria. Berbeda dengan milik Nn. Winterdust yang pipih dan berjarak.

Ada perasaan ragu menyuntik obat dengan kandungan benzodiazepine itu ke lengan perempuan desa yang badannya sedikit lebih bertulang dibandingkan Nn. Winterdust. Namun berbekal pada pengalamannya berteman dengan sebagian orang-orang kecanduan narkoba yang memakai obat suntik untuk membuat mereka melayang-layang, Ben kemudian mencoba rileks sehingga berhasil menyuntik obat itu tanpa memperhitungkan dosisnya.

Baju berbahan lembut dengan dada berbentuk huruf 'V' sepanjang lutut berwarna hitam yang dikenakan Nn. Winterdust kemudian Ben pakaikan ke perempuan desa itu. Namun, Nn. Winterdust dibiarkan telanjang begitu saja di atas kursinya.

"Aku harus cepat-cepat membereskan kedua mayat ini. Tapi, aku harus kembali ke mansion Tn. Godfellow dulu," ujarnya sambil melirik mayat nenek si perempuan desa dan satu lagi tentunya mayat Nn. Winterdust.

Seinci langkahannya bergeser ke depan. Dia mengangkat pengganti Nn. Wintredust menuju keluar dan membaringkannya di bagian mobil belakang saja. Ben agak trauma berada di samping seorang wanita yang tidur dan terkulai lemah.

Pintu belakang mansion ditutup dengan kunci serap yang memang ada satu bersama dirinya, karena Nn. Winterdust beberapa kali menyuruhnya untuk menengok-nengok sesekali mansion pemberian kekasihnya, Tn. Goodfellow. Tidak jarang Ben seperti merasa memiliki mansion itu dan berlagak seperti pemilik rumah asli hanya untuk sekadar menghibur-hibur diri setelah seharian mendampingi Nn. Winterdust dengan jadwal kesibukannya hampir setiap hari.

Petir menggelegar-gelegar mengiringi kelajuan mobil mewah pengantar Nn. Winterdust palsu.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku