Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
'Mencari pangeran berkeledai saja sulit, apalagi yang berkuda' ~Cungprit bosan jomblo.
Aku kembali pada rutinitasku, memasang jepit rambut mutiara-mutiara yang kubeli di online shop yang katanya diimpor langsung dari Korea. Entah ini asli atau palsu, tetapi kurasa ini barang KW, mana ada jepitan impor hanya belasan ribu? Ya, namanya juga budget pas-pasan, jiwa sosialita. Ingin bergaya, tetapi duit ala anak kuliahan. Mencari barang murah, tetapi ngetrend adalah jalan ninjaku.
“Wi, kemarin ketemu cowok kan, lo? Hayo ngaku aja, dah!” Rara bersungut terlihat antusias dengan fakta ini.
“Dih, kok tahu? Padahal, gue udah jalan di bioskop yang jauh dari jangkauan kalian?”
Aku membulatkan mata, sepertinya Dewi udah start duluan. “Idih, beneran, Wi?” Kutatap Rara yang juga memasang ekspresi yang sama denganku, “lo kalah start, Ra,” lanjutku sambil tertawa hambar. Bukan hanya Rara, aku pun kalah dengan Dewi. Oke kami bertiga adalah gadis-gadis yang haus akan cinta. Rara dan aku belum pernah menjalin hubungan dengan seorang pria, dari orok hingga sekarang saat usia kami sudah beranjak dua puluh satu tahun. Bahkan aku kalah dengan sepupuku yang masih duduk di bangku SMP dan sudah memiliki empat mantan.
Berbeda dengan Dewi, ia pernah menjalin kisah asmara meski hanya bertahan selama seminggu. Entah apa yang salah dari kami, tetapi aku yakin, bahwa tampang bukanlah masalahnya. Kami bertiga tidak jelek-jelek amat, tinggi rata-rata khas orang Indonesia, Dewi 160 centimeter, Rara, 162 sentimeter, sedangkan aku hanya bertahan di angka 158 sentimeter. Ya, aku paling mungil di antara ketiganya. Mungil, tetapi gesit.
Oh iya, aku melupakan bintang utama di geng kami. Siapa lagi kalau bukan Wawan setiawan, si lelaki feminin yang lemah lembut. Gayanya yang kemayu dan suka melambai membuat kami sering terhibur akan sikap absurnya. Tenang, Wawan masih menyukai perempuan, tetapi ia sangat mengagumi laki-laki tampan. Entahlah, sampai sekarang ia juga masih jomblo. Akan tetapi, ia tak jomblo dari orok.
Wawan pernah berkencan dengan seseorang saat masih SD. Hebat sekali dia, di saat aku masih sibuk bermain petak umpet, gobak sodor, gasing dan kelereng, ia sudah tahu apa pacar-pacaran itu. Sepertinya hormon endorfinnya lebih cepat berkembang, ketimbang hormon lainnya. Saat kutanya mengapa ia putus, jawabannya sungguh membuatku ingin tertawa sambil guling-guling. Ia putus hanya karena Wawan tak membeli balon yang di incar sang kekasih. What the hell? Balon? Waw, keputusan yang kekanakan sekali. Ya, memang mereka masih anak-anak, jadi sah-sah saja, jika alasan putusnya juga tak masuk akal.
“Jangan lupakan perjanjian kita ya, Say,” sahut Dewi terlihat bahagia, seakan ia sudah mendeklarasikan kemenangan.
“Heh, jangan seneng dulu, kalian masih berstatus sebagai gebetan, kan? Belum tentu bakal jadi pacar, ingat gue juga kemarin kayak gitu. Udah diajak jalan, udah ditraktir sana sini, eh dianya malah pergi ke gadis lain. Malah satu kampus kita lagi. Berengsek tuh cowok. Malah gampang banget lagi bilang maaf. Dia kira maafnya bisa menyembuhkan luka hati yang ia sayat ini.” Aku ngedumel saat kembali mengingat kejadian beberapa bulan yang lalu, saat aku mendekati laki-laki yang kukira setia, ternyata berniat menjadikanku yang kedua.
Kami memiliki taruhan, siapa yang paling cepat mendapat kekasih akan mendapat hadiah uang lima juta rupiah. Ya, bagi kami, uang itu sudah termasuk besar. Meski terlahir di keluarga yang memadai, tak ada dari kami yang memanfaatkan hal itu, aku dan yang lainnya, justru membuat usaha sendiri, dan usaha kami adalah kafe yang sedang kami jadikan tempat nongkrong sehabis pulang kuliah. Ya, kafe yang berada tepat di seberang jalan kampus kami. Tempat yang sangat strategis, bukan?
“Kalau inget itu, gue ngakak lagi dong, Sya. Lo tuh ngenes banget. Udah pake nangis bombay lagi.” Wawan tertawa sambil melambaikan tangan, khas bencong banget.
“Idih, Gue nangis bukan karena si Dion, ya. Gue nangis karena kasihan sama diri gue sendiri yang dengan bodohnya mau aja diajak jalan-jalan. Mana bayarnya patungan lagi. Dion pelitnya setengah mati. Untung aja gue nggak jadi sama dia. Bisa tekor duit jajan gue.”