Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Something Between Us

Something Between Us

Saltedcaramel

5.0
Komentar
55
Penayangan
20
Bab

Spin Off "Trapped By Obsession" Tak ada yang tahu bahwa Starley mencintai kakaknya sendiri. Padahal semua orang memandangnya sebagai playgirl, tetapi hanya dirinya yang tahu bahwa ia hanya sedang mencari sosok seperti kakaknya, Julian Ryver pada pria lain. Hingga ia bertemu dengan Zev. Pria misterius, berbahaya, tetapi selalu memiliki kuasa yang dapat membuat Starley tak bisa berpaling dari mata itu. Sampai tanpa sadar perasaan Starley terhadap Julian terlupakan begitu saja. Namun, tidak ketika sebuah momen menarik Starley untuk kembali mengingat cintanya pada Julian. Malam itu Julian mempertemukan bibir mereka dengan hangat dan dalam. "We know something's between us, Star. This is so wrong, but also feels right, doesn't it?" kata Julian. "Then, what should we do?" Di tengah-tengah itu, tiba-tiba Starley teringat oleh perkataan Zev. "You didn't realize there was something between us. When you decided to accept me, you would have no way back," bisik Zev dalam ingatan Starley. Sekarang, siapa yang akan ia pilih di tengah dua pria paling berarti untuknya tersebut?

Bab 1 Perasaan Terlarang

"Aku ingin kita putus," kata Starley tenang dan santai.

"Apa? Kau bercanda?" pekik pria berambut brunette yang duduk di sampingnya.

"Apa aku terlihat sedang bercanda?" Starley menghela napas malas. Ia paling benci bagian ini. Namun, ia tahu, ia harus melakukannya. Starley tak ingin membuang waktu bersama pria yang tak lagi ia inginkan.

Pria berwajah tampan nan manis yang berusia tujuh tahun di atas Starley tersebut menoleh pada beberapa kawannya di meja. Para kawannya itu turut tertegun oleh perkataan Starley. Mereka sedang berada di sebuah restoran mewah di tengah Manhattan.

Raut malu tak mampu tertutupi di wajah pria itu. Yang benar saja, ia baru saja diputuskan di depan kawan-kawannya oleh kekasih yang jauh lebih muda darinya, bahkan belum genap satu bulan hubungan mereka berlangsung.

"Aku sudah meminta agar kita berbicara berdua saja, tetapi kau malah memaksaku mengatakan di depan teman-temanmu." Starley mengerutkan wajahnya miris melihat raut tak terima sekaligus malu dari pria itu.

"Mengapa?" Rahang pria itu mengeras di tengah bulu tipis yang membingkai di sana.

"Karena kau tak sepintar yang aku kira," jawab Starley cepat dan mantap yang justru membuat orang di meja itu saling berpandangan dengan mata membulat dan bibir terbuka. Tak terkecuali pria itu yang semakin merasa dipermainkan oleh alasan Starley.

Kening pria tersebut berkerut dalam, sementara sorot matanya semakin tak terima. Alasan macam apa itu? Tentu saja, pria mana yang bisa menerima alasan kepintaran untuk menjadi penyebab putusnya suatu hubungan? Alasan 'kau tak cukup sabar' atau 'aku sudah tak mencintaimu lagi' terdengar lebih masuk akal.

Namun, Starley lebih memilih jujur dengan alasannya sendiri. Baginya, pasangannya harus memenuhi segala kriteria khusus terlebih dahulu, baru sebuah cinta boleh masuk di tengah-tengah itu dan rupanya ia kembali salah menilai pria yang menjadi kekasihnya.

"Oke karena kau tak merasa terima. Jawab pertanyaanku dengan cepat."

Starley menegakkan tubuhnya yang berbalut midi dress off shoulder dan menyibak rambut chesnut bergelombang dengan panjang setengah punggung itu ke belakang pundak. Ia menyilangkan tangan di depan dada. "X, 11, 9, 14, 7, 18, 5, Y. Angka berapa yang harusnya ada di bagian X dan Y?"

"What the hell is that?" bentak pria itu. Setelah wanita itu memutuskan ia di depan kawan-kawannya sekarang justru memberinya soal matematika?

"See? Kau bahkan tak bisa menjawab pertanyaan sederhana itu. X 8 dan Y 22. Jadi ...." Starley mengangkat kedua bahunya dan tersenyum paksa. "Terima kasih untuk makan malamnya." Ia segera bergegas meninggalkan meja, sebelum drama lain bermunculan dari sosok pria yang marah karena diputuskan.

Dari kejauhan di depan pintu restoran sudah berdiri seorang pria tampan berwajah Asia Timur dengan setelan jas hitam rapi yang tengah menunggu Starley. Pria itu berperawakan tinggi tegap bak pemain utama serial drama Korea. Ia membungkukkan badan dengan hormat ketika Starley sudah berada tepat di depannya. Starley menyodorkan coat merah dengan manja bersama bibirnya yang cemberut.

Bodyguard Starley tersebut menahan bibirnya untuk tak tersenyum geli. Ia merentangkan coat itu dan membantu sang majikan mengenakannya.

"Don't say anything, Minjun!" dengkus Starley melihat bodyguard keturunan Korea Selatan itu. Wajah tampan nan bersih itu mendadak menyebalkan di mata Starley.

Bodyguard yang setia menemaninya tersebut sudah sangat hafal bagaimana wajah majikannya jika baru saja putus dengan kekasihnya. Bukan wajah sedih, tetapi malas bercampur kesal yang sesungguhnya ditujukan pada diri Starley sendiri.

Minjun membukakan pintu belakang sebuah mobil mewah berwarna hitam putih untuk sang majikan. Mobil itu segera membelah jalanan malam Manhattan, bergabung dengan kendaraan lain yang tak pernah sepi mengisi aspal dan suara keramaian dari sirine ambulan, mobil NYPD serta klakson mobil yang saling bersahut.

Minjun melirik sang majikan dari spion tengah yang saat ini sedang melipat tangan di depan dada. Pandangan wanita itu kosong ke sisi jalan yang dipenuhi oleh papan reklame menjulang dari acara TV dan produk. Minjun berdeham sesaat.

"Mungkin Anda butuh istirahat sejenak, Miss," usul Minjun dengan aksen Korea Selatannya yang masih tersisa.

Interaksi Starley dengan Minjun memang tak sekaku majikan dan bodyguard pada umumnya. Sehingga Minjun tak terlalu segan untuk memberikan saran di tengah pria itu yang masih selalu menjaga sopan santun dan rasa hormat pada sang majikan cantik dan manja-nya tersebut.

"Aku tak bisa sendirian!" jawab Starley sedikit membentak kesal tanpa menoleh. Tahu maksud kata 'istirahat' dari sang bodyguard yang ditujukan agar ia berhenti sejenak dalam menjalin hubungan dengan para pria.

Menjadi single adalah sebuah bencana bagi Starley. Ia perlu menyibukkan isi hati dan pikiran dari sosok pria yang tak sepatutnya ada dalam hatinya.

Starley menarik napas dalam. Mengatur sandaran kursinya untuk lebih rendah dan menaikkan penyangga betis. Starley akhirnya memilih menyembunyikan lingkaran hazel-nya dengan kelopak mata.

Pria yang baru diputuskannya tadi adalah pria kesepuluh yang ia pacari di tahun ini. Seorang produser musik yang memiliki wajah tampan sekaligus manis seperti Julian Ryver, kakak sulungnya. Sesungguhnya tak hanya pria itu. Namun, seluruh pria yang ia kencani dan pacari selama ini selalu memiliki paras yang tak jauh-jauh dari sosok Julian, bahkan termasuk usia.

Banyak orang yang menilainya playgirl karena begitu mudah berganti-ganti pasangan. Terlebih ia dikaruniai wajah yang menarik serta kekayaan dari kedua orang tua serta bisnis fashion-nya sendiri. Starley hanya terkekeh mendengar hal tersebut. Tak berusaha menyangkal karena pada kenyataannya itulah yang tampak terlihat di permukaan. Starley tak tahu, yang ada di kepalanya sejak ia berusia empat belas tahun hanya ada wajah Julian seorang.

Seperti halnya sekarang, bayangan wajah Julian seketika tampil di benak Starley. Jantungnya selalu berdebar lebih keras, bahkan hanya ketika ia membayangkan pria tersebut seperti saat ini.

Starley tahu persis apa yang ia rasakan ini sangatlah salah. Ia tahu ini bukan sekadar kekaguman pada sang kakak yang jenius dan hobi mendaki tersebut. Ini adalah sebuah rasa terlarang yang berkobar-kobar di hati Starley. Menariknya, memanggilnya, dan meneriakinya bahwa semua yang ia rasakan ini terlalu nyata untuk ia singkirkan begitu saja. Starley jatuh mencintai Julian. Terjerembah, terlilit oleh perasaan terlarang tersebut hingga membuatnya meraung bertahun-tahun oleh ketersiksaan.

Sampai akhirnya Starley tiba di mansion megah kediaman Ryver. Pikiran Starley tak bisa berhenti membayangkan sosok Julian yang ia rindukan. Sudah lebih dari enam bulan ia tak bertemu dengan pria itu.

Ia rindu segala bentuk perhatian dan kedewasaan pria itu yang mengayomi. Tidak, Starley tak bisa menerima itu semua sebagai bentuk curahan kasih seorang kakak. Starley benci kata kakak harus terselip dan menjadi paku tajam setiap kali ia ingin menyerap segala perlakuan hangat tersebut.

Jemari lentik Starley menempel pada rak kaca bersama dengan matanya yang menyusuri berbagai penghargaan yang tertulis di piagam serta piala di sana. Seluruhnya adalah penghargaan atas juara yang diraih Julian dalam bidang matematika dan sains sejak Julian duduk di elementary school. Bahkan pria itu telah menyandang gelar Doctor of Philosophy (Ph.D) di usianya yang saat itu baru menginjak dua puluh enam tahun. Itu sudah empat tahun yang lalu.

"Apakah aku harus mengencani profesor matematika agar aku mendapatkan kekasih yang pintar sepertimu?" Starley bergumam dengan kekehan. "Namun, tak ada profesor semuda sekaligus tampan sepertimu." Ia mendesah, tersenyum masam dan berjalan malas memasuki lift untuk sampai di lantai kamarnya.

Starley merebahkan dirinya di atas ranjang setelah membersihkan diri dan berganti piyama. Ia berdecak melihat notifikasi ponselnya yang memunculkan pesan masuk dari mantan kekasih yang baru diputuskannya beberapa jam lalu.

Starley justru membalas pesan pria lain yang masuk dalam waiting list calon kekasihnya. Ia lalu meletakkan ponsel itu di atas nakas dan memosisikan dirinya senyaman mungkin untuk menjemput mimpi.

Tak membutuhkan waktu lama, Starley terlelap. Dalam tidurnya, Starley merasakan kebahagiaan yang berlipat. Ia tengah tertawa lebar dengan kedua tangan memeluk leher Julian. Pria itu menggendongnya dari belakang, membawa ia berlari di rerumputan hijau yang ditumbuhi dandelion.

Starley tak tahu di mana mereka berada saat ini, tetapi suara lembut dan tawa Julian membuat ia merasa tak perlu mengkhawatirkan apa pun. Julian selalu menjaganya, melindunginya, memanjakannya, hingga Starley tak membutuhkan sosok pria selain sang kakak.

Kakak? Starley mengigit bibir bawahnya kesal. Mendengar tawa merdu itu tiba-tiba hilang. Julian menoleh ke belakang dan menemukan raut wajah sedih sang adik.

"Mengapa? Apakah ada sesuatu yang menganggu pikiranmu?"

Starley turun dari gendongan Julian. Merebahkan dirinya di rerumputan. Ia memetik satu dandelion dan meniupnya sehingga benang sari itu beterbangan ke udara.

"Apa yang akan kau lakukan jika seandainya saat ini aku bukanlah adikmu, Julian?" tanya Starley menoleh pada Julian yang duduk di sampingnya.

Pria itu mengenakan kemeja yang terkancing dan hanya menyisahkan satu kancing di atas. Rambut brunette-nya tertata ke samping, tetapi tak terlihat kuno. Julian selalu terlihat segar, rapi, pintar, membuat aura seksi tersendiri dari pria pada umumnya di mata Starley.

"Saat ini?" Kening Julian berkerut.

Starley mengangguk. "Saat ini. Apa yang akan kau lakukan padaku?"

Julian terdiam sesaat mengamati wajah sang adik, membuat jantung Starley berdebar keras ditatap seintens itu. Keheningan menyelimuti mereka sampai akhirnya Julian berujar, "Aku akan melakukan ini." Ia menunduk menghampiri wajah Starley seraya memejamkan mata, sementara hazel milik Starley membulat.

Ketika bibir itu yang rupanya terasa begitu hangat mendarat tepat di atas bibir merah muda Starley, jantung wanita itu terasa berhenti berdetak. Oh, Tuhan! Apa ini nyata? Tidak, ini semua jelas hanya mimpi! Ini adalah mimpi paling indah seumur hidup Starley. Namun, mengapa rasa lembut dan hangat bibir itu terasa terlalu nyata di bibirnya?

Starley terdiam merasakan bibir Julian mengisi sela bibirnya dan menyesapnya dengan lembut serta hati-hati. Sungguh ini semua terasa terlalu nyata untuk menjadi sebuah mimpi. Bahkan hidungnya dapat menghirup aroma parfum Julian yang khas. Seketika itu pula, Starley membuka matanya dan tertegun dengan apa yang ia lihat.

...To Be Continued...

Makasi banyak sudah baca chapter ini. Jangan lupa tinggalkan komentarmu ya. Segala info tentang karya dan visual bisa cek di IG @saltedcaramely_

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Saltedcaramel

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku