Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Scenario Of Love

Scenario Of Love

Joselia

5.0
Komentar
10
Penayangan
8
Bab

Sera dipertemukan kembali dengan Brilla-perempuan yang berada dalam catatan masa lalunya. Oleh sebab itu, Sera takkan mudah melupakan begitu saja sosok Brilla. Munculnya Brilla di kehidupan Sera membuat ia bertindak nekat. Tak hanya sekedar merusak kedekatan Brilla dan Bara, perempuan itu pun tak segan-segan merebut Bara-calon tunangan Brilla. Sera jadikan sebagai pacarnya.

Bab 1 Kencan

Di dalam kamar dengan nuansa elegan karena pemilihan warnanya yang sederhana, hijau keabu-abuan. Seorang perempuan berusia dua puluh dua tahun itu memundurkan langkahnya ke belakang. Mata coklat beningnya menatap lekat-lekat pantulan dirinya di depan cermin seukuran tinggi tubuhnya.

Perempuan dengan rambut sebahu itu memutar tubuhnya, menilai dress yang saat itu dikenakannya. Stripe blouse model kemeja salur berwarna biru langit dan putih dengan panjang selutut, sangat pas di tubuhnya. Pakaiannya ia padu dengan wide fit heels hitam dengan hak setinggi lima CM. Tak lupa ia juga menambahkan aksesoris berupa jepit mutiara pada surai hitamnya itu.

Senyum manisnya tercetak dari pantulan cermin, begitu ia menarik sudut bibirnya ke atas. Berbangga diri akan kecantikan yang dimilikinya.

Tentu saja, di dunia ini perempuan mana yang tak bangga atas kepemilikan sebuah rupa yang mampu membius kaum pria? Ada? Sepertinya tidak!

Sera Aulia, perempuan berbulu mata lentik itu memiliki hidung mancung dengan garis berlekuk. Kulitnya seputih susu dan selembut sutra. Bibir penuhnya terlihat menawan kala Sera selesai mengoleskan pewarna bibir sewarna darah. Warna favoritnya.

Tak hanya itu, Sera memiliki bentuk tubuh yang ideal. Yang akan berkali lipat terlihat menarik saat ia mengenakan dress yang memperlihatkan lekuk tubuhnya. Jika dijabarkan, mungkin bagai gitar Spanyol versi manusia. Menarik bukan?

Selayaknya idola wanita yang digandrungi manusia. Tak pelak, visualisasi yang dimiliki Sera mampu membuat kaum pria seakan bertekuk lutut, para pria pecinta rupa begitu mendamba Sera. Tak terkecuali pria tua dengan rambut yang memutih serta perut buncitnya.

Bukan hanya kaum pria, kaum wanita pun seakan ikut tersihir akan rupa yang dimiliki Sera. Tak sedikit wanita yang menginginkan visualisasi seperti dirinya. Namun, tak sedikit pula wanita yang tak menyukainya. Dia benar-benar bagai dewi yang diutus turun ke bumi.

Perempuan itu menoleh saat pintu kamarnya dibuka sembarang tanpa diketuk terlebih dulu.

"Ser pinjam sisir dong," ucap perempuan muda. Usianya terpaut tiga tahun dengan Sera. Ia masih berada dalam golongan remaja.

"Eh, lo mau kemana? Tumben sore-sore begini udah cantik dan rapih. Mau ke toko? Tapi kalau ke toko gak biasanya lo dandan cantik gini, buang-buang makeup kan? Jadi kemana?" Perempuan itu memberondong Sera dengan banyaknya pertanyaan.

Perempuan yang saat itu telah selesai mandi, hanya mengenakan kaos hitam bergambar tengkorak dengan boxer unisex selutut. Ia dengan rambut model pixie cut berdiri di ambang pintu. Terlihat rambutnya masih basah saat setitik air mengucur dengan jarang membasahi pangkal leher. Tangannya memegang knop pintu.

"Bisa gak kalau masuk kamar orang itu ketuk pintu dulu?" protes Sera dengan ketus. Kini perempuan itu sudah pindah posisi, duduk di ranjang sambil memainkan ponsel yang memiliki tiga bulatan seperti boba di belakangnya.

Yusan, perempuan bergaya tomboi itu mendecakkan lidah, kemudian ia malah menyelonong masuk ke kamar. Mengambil sisir yang tergeletak di meja rias.

Setelahnya, ia ikut mendudukkan pantatnya di samping Sera sambil menyisir rambutnya. "Mau kemana sih? Ditanya juga bukannya di jawab. Lo tahu kan fungsi mulut untuk apa? Untuk berbicara. Nih ya, di luaran sana banyak tahu orang yang tak dapat diberi kesempatan untuk bicara normal seperti kita. Dan lo, yang sehat-sehat begi-" Yusan tak melanjutkan ucapannya ketika tangan Sera membekap mulutnya.

"Duh berisik! Gue mau kencan sama pacar gue!" terang Sera. Jika ia tak membekap mulut Yusan-teman seperjuangannya. Bisa dipastikan perempuan bertubuh cungkring itu, perkataannya akan melebar kemana-mana. Dan Sera benci itu! Kupingnya panas jika sudah mendengar celotehan Yusan.

"Oh ... kencan." Tampak Yusan manggut-manggut. Sedetik kemudian ia tersadar, "what? Kencan? Sama siapa?" Matanya melebar ketika ia tersadar.

Apa katanya? Sera kencan? Dengan pacarnya?

Pikiran Yusan mulai bercabang kemana-mana. Salah satunya menebak pada satu nama.

"Bara." Sera menjawab santai.

Yusan sudah menduga pasti nama itulah jawaban dari pertanyaannya. Tapi, tetap saja ia masih bingung.

"Lo udah jadian?" Pertanyaan yang dilontarkan Yusan diangguki Sera.

"Hah ... kapan? Kok gue gak tahu? Seorang Yusan gak tahu?" Kembali perempuan itu bertanya disertai terkejut.

"Seminggu lalu," balas Sera santai. Jemari tangan lentiknya kembali memainkan benda pipih yang sempat ditunda tadi.

Mendengar itu Yusan semakin syok dibuatnya. Seminggu lalu? Itu artinya sudah tujuh hari, seratus enam puluh delapan jam dan sepuluh ribu delapan puluh menit berlalu. Dan ia tak mengetahui itu?

Suasana di dalam kamar itu kembali hening. Sera masih setia dengan gawainya. Sementara Yusan terdiam dengan banyaknya pertanyaan yang bermunculan di otaknya. Wajahnya pun berubah menjadi sedikit gusar.

"Ser ...." Yusan memanggil nama itu dengan lirih. Namun Sera dapat menangkap dengan jelas.

"Hm ...." sahut Sera.

"Apa?" Sera menolehkan kepala ke samping saat tak mendapati balasan dari Yusan.

Pandangan Yusan menatap lurus ke depan, menatap dinding kokoh yang menjadi sebuah sekat pemisah antara kamar dan ruang tamu.

"Lo gak jatuh cinta beneran kan sama dia?" tanya Yusan. Kepalanya ia tolehkan ke samping dimana Sera duduk. Sejenak mata mereka saling beradu. Yusan menatap lekat iris mata berwarna coklat bening itu.

Sera terkekeh pelan, dengan entengnya ia menggelengkan kepala. "Gak!" Setelah menjawab, raut wajah yang beberapa detik lalu terkekeh, kini membalas tatapan Yusan dengan wajah serius. Tak ada keraguan dari jawabannya tadi, nadanya pun terdengar tegas.

Tak lama bunyi notifikasi masuk ke ponsel Sera. Membuat mereka segera mengakhiri saling bertatap itu, saat Sera lebih dulu mengalihkan wajahnya.

Bara Tarigan

[Aku udah di depan gang.]

[Oke, aku kesana.]

"Gak ada yang perlu lo bicarain lagi kan?" Sera melirik Yusan singkat.

Yusan menggeleng, ia menatap Sera yang merapihkan anak rambut yang berantakan. Terakhir perempuan berambut pendek itu menyaut tas selempang yang tergantung di kapstok. Kemudian Sera berlalu begitu saja, meninggalkan Yusan yang duduk terdiam di kamarnya.

^

Hari ini cuaca cukup cerah. Setelah beberapa hari ke belakang cuaca Ibukota tak terlihat baik-baik saja. Jalanan aspal yang biasanya basah tergenang air, kini kering berdebu.

Di dalam mobil, Sera terdiam. Pandangannya ia alihkan ke arah luar, menatap gedung-gedung tinggi menjulang di sisi jalan yang seolah-olah saling berlarian mengejar dirinya.

Fokusnya teralihkan ketika sebuah tangan besar menggenggam tangannya. "Kamu hari ini cantik." Bara mencium tangan Sera.

Sera terkejut dengan perlakuan Bara barusan, namun dengan cepat ia menutupi ekspresi kagetnya. "Jadi, kemarin-kemarin aku gak cantik?"

"Cantik. Kemarin kamu cantik, saat pertemuan pertama kamu juga cantik. Sekarang ... kamu jauh lebih cantik," puji Bara. Ada ketulusan di sorot mata pria tampan itu saat sekilas Sera menatap manik hitamnya.

Sera tersenyum mendengarnya. "Apa sih ...." Sera membuang muka ke samping kiri. Ia harus terlihat malu-malu. Ia harus bersikap malu. "Makasih ...." lanjutnya.

"Hari ini kita kemana?" tanya Sera, mengalihkan topik pembicaraan.

"Terserah kamu, hari ini aku cuma nurut doang," sahut Bara. Ia menoleh ke samping, menatap lekat-lekat wajah pasangannya. Memang cantik. Kemudian ia tersenyum singkat.

Sera terkekeh pelan. "Ke mall gimana?"

"Oke." Tanpa pikir panjang, Bara langsung menyetujui.

Mereka sudah menginjakkan kaki di area mall, setelah beberapa menit lalu memarkirkan terlebih dulu mobil.

Dua insan yang baru menjalin hubungan seminggu itu saling berpegangan tangan. Genggaman tangannya seperti diberi perekat, erat sekali. Dari yang masih berada di dalam mobil sampai kini, mereka tak melepaskan tautan tersebut.

Keduanya mengitari seisi mall. Dari lantai dasar hingga akhir, dari outlet pertama hingga ujung. Membeli barang jika ada yang menarik di netra Sera.

Dua jam mereka mengitari seisi mall, dua jam tersebut membuahkan hasil dengan Sera yang menjinjing beberapa kantong kertas berisi barang-barang dari brand terkemuka. Dibayar menggunakan uang Bara tentunya.

"Nonton bioskop mau?" tawar Bara. Ia masih menggenggam tangan Sera.

"Boleh."

Keduanya pun melanjutkan jalannya yang sempat terhenti menuju pelataran bioskop, memilih terlebih dahulu tontonan apa yang tayang sekarang. Dan juga, seperti apa yang akan mereka pilih. Hingga pilihan keduanya jatuh pada film dengan genre romantis. Sangat mendukung suasana sejoli itu bukan?

Tak terasa, film yang diputar di layar lebar selesai. Mereka keluar dari bioskop dengan gandengan yang terlepas. Belum puas dengan menonton, keduanya memutuskan untuk mengisi perut. Setelah mengitari mall, rupanya perut mereka keroncongan.

"Kita makan dulu gimana? Kebetulan temenku baru buka restoran di daerah sini," ajak Bara.

Sera mengangguk, "Boleh, kebetulan aku laper."

Mobil mewah berwarna hitam keluaran terbaru milik Bara berhenti di depan restoran. Keduanya mulai memasuki restoran yang memiliki dekorasi modern dengan pemilihan cat yang cukup kontras dengan bangunannya.

Mereka memilih meja dekat dengan jendela kaca yang menghadap langsung kolam ikan. Keduanya mulai memilih makanan serta minuman.

Dua puluh menit kemudian, pesanan mereka berdatangan dan mulai ditata oleh pelayan.

"Terimakasih," ucap Sera pelan dibarengi senyumannya.

Sang pelayan membalas ucapan Sera dengan anggukan disertai tersenyum.

Hening ....

Satu menit ....

Dua menit ....

Tiga menit ....

Meja yang mereka tempati masih saja hening, tak ada percakapan. Yang terdengar hanyalah suara benturan alat makan serta suara pengunjung yang kebetulan duduk di samping meja mereka.

"Oh iya, tentang hubungan kita ...." Berhenti sejenak, Sera menyeruput dulu minuman berwarna yang dicampur perasaan lemon itu. "Brilla gak tahu kan?" lanjutnya.

Bara menghentikan makannya, pria itu tengah memikirkan sesuatu. Tentang hubungan yang dijalinnya dengan Sera dan tentang hubungannya dengan Brilla.

"Aku gak tahu tuh, lagipula kalau tahu memang apa urusannya dengan Brilla?"

"Nggak ada sih. Tapi kan, kamu juga tahu Brilla itu calon tunangan ka-"

"Tunangan? Nggak lah, untuk pacaran aja kita gak sedekat itu. Apalagi sampai tunangan." Bara menukas kalimat Sera.

Sera hanya manggut-manggut. Tanpa Bara sadari senyum smirk tercipta di bibir seksi perempuan berambut pendek itu. Tentu Bara tak akan sadar, karena senyuman itu terjadi sangat singkat. Hanya sepersekian detik.

'Semoga lo cepat pulang ke Indo ya, Bril!' batin Sera.

^

Mobil Bara berhenti di depan gang, ia melepas genggaman tangannya pada Sera. Perempuan itu membuka sabuk pengaman, menekan tombol pada pintu mobil. Sebelum keluar kedua mata mereka saling bersitatap, tak lama mereka terkekeh tak jelas. Namun ekspresi bahagia tersemat di raut wajah keduanya.

"Kamu kenapa gak mau aku antar sampai depan rumah?" tanya Bara.

"Aku udah pernah bilang, jalanan ke tempat tinggalku sempit. Takutnya mobilmu lecet, kan sayang ...." Kembali Sera menjawab pertanyaan yang berulang kali diucapkan Bara, atau lebih tepatnya pacarnya sekarang.

"Tapi kan ini udah malam. Gak baik tahu aku nurunin kamu di depan gang gini."

"Gak papa, tempat tinggalku dekat kok. Gak terlalu jauh."

Bara hanya menghela napas hingga setelahnya menghembuskan napas kasar.

"Aku keluar, kamu hati-hati di jalan ya," ucap Sera. Bara mengangguk.

Setelah keluar dari mobil, Sera mematung di tepi jalan. Tak lama suara klakson berbunyi, mobil itu berlalu pergi.

Sera menjinjing beberapa paper bag menuju kontrakannya diiringi raut wajah yang senang. Sesampainya di depan pintu ia meraih knop pintu, beruntung Yusan belum mengunci pintu. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam.

Sera mengunci pintu, berdiri di balik pintu. Senyum yang dipamerkan sepanjang sore tadi menghilang seketika. Berubah menjadi raut datar tanpa ekspresi. Sera mengambil sanitizer dari tas selempangnya. Membasahi telapak tangannya, yang dimana ia gunakan untuk berpegangan dengan Bara.

Begitu mengingat senyuman tadi serta perlakuannya, ia bergidik merasa jijik dengan sikapnya yang menunjukkan rasa cinta pada Bara.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku