Novel Dewasa!!! Menceritakan seorang wanita cantik dan pejantan tangguh. Memiliki suami cacat, membuat wanita itu harus mencari kenikmatan di ranjang sang duda perkasa.
Rantai zina yang terjadi adalah bukan karena cinta, mereka mengatasnamakan perasaan agar tidak ada alasan lain untuk lari. Padahal, cinta itu suci dan bukan untuk melakukan hubungan terlarang. Kehidupan rumah tangga dipenuhi lika-liku, terkadang sedih dan kemudian senang.
Ada kalanya mengalah, ataupun benar-benar kalah. Maka dari itu, sebagai manusia yang hanya mementingkan dosa di atas segalanya, kembalilah sebelum benar-benar dikembalikan.
Sebuah novel yang berkisah tentang hubungan terlarang seorang pejantan tangguh dan wanita cantik, memiliki satu suami tidak membuatnya merasa puas dari segi nafkah batin.
Padahal, dia telah menikah sudah hampir lima dua puluh tahun, akan tetapi dia masih saja melirik suami-suami tetangga di lingkungannya.
Dia adalah Sekar-wanita berusia tiga puluh tujuh tahun itu sudah memiliki satu anak perempuan, dan sekarang sudah duduk di bangku kuliah. Namun, Sekar tidak pernah merasa menjadi seorang ratu di rumahnya, malah dia harus kerja keras banting tulang menjadi ibu rumah tangga.
Simak kisahnya dalam novel berjudul; LELAKI 22 CM
POV Sekar
Pagi itu, tepat di depan teras rumah. Aku yang kesehariannya mengurus rumah tangga, menikmati suasana indah bersama sang anak. Dia adalah Mawar, berusia hampir dua puluh tahun dua bulan lebih sepuluh hari.
Kegiatan setiap hari Sabtu adalah membersihkan taman, serta memangkas rumput dan kegiatan lainnya. Terik matahari menyinari bumi, membawa keringat bercucuran membasahi badan.
"Sayang, kamu kalau menyapu yang bersih, dong," kataku.
"Iya, Ma ... Mawar sudah capek banget ini," jawab si anak.
"Hmmm ... ya, sudah. Kala capek kamu istirahat aja dulu. Tuh, air mineral udah mama siapin," jawabku.
"Iya, deh, aku duduk dulu." Setelah menjawab, dia pun beringsut pergi dari taman.
Ukuran rumah yang sangat luas dan lebar, membuat aku sangat lelah untuk membersihkan. Setiap hari, pekerjaan selalu itu-itu terus. Tidak ada waktu untuk refreshing, apalagi sampai belanja seperti istri-istri orang lain.
Karena sudah sangat lelah, aku mencoba pergi juga dari taman dan menuju teras rumah. Tak berapa lama, sebuah mobil pun datang. Ternyata, itu adalah suamiku yang baru saja tiba dari kantornya.
Entah kenapa, dia pulang sangat cepat. Tidak seperti biasanya, larut malam baru tiba di rumah. Sembari ke luar dari dalam mobil, suamiku pun berjalan menemui dan dia menenteng tasnya.
"Selamat siang, Sayang ...," ucapnya menyeret nada suara.
Akan tetapi, panggilan itu hanya untuk Mawar-anak gadisanya, bukanlah untukku sebagai istri. Entah kenapa, dia sangat sayang pada anak semata wayangnya itu. Kalau denganku, sangatlah cuek dan seperti tidak acuh.
Sembari membangkitkan badan, aku menatap sang suami di posisinya. Kemudian, kusalam dia seraya mengedarkan senyum simpul.
"Udah pulang, Yah?" tanyaku.
"Udah, Ma," jawabnya singkat.
"Kok, cepat sekali? Bukankah ... katanya ada rapat, ya?" tanyaku bertubi-tubi.
"Iya, tadinya ada rapat. Tetapi ... Ayah mau minta sesuatu nanti malam, boleh?" tanyanya bergantian.
'Ternyata ... setelah sekian lama enggak minta jatah, malam ini dia ngajak juga,' celetukku dalam hati sembari membuang cengir.
"Ya, udah, yuk, kita masuk. Mawar ... ayo, Sayang," ajaknya.
Kami pun memasuki rumah dengan ukuran yang lumayan sangat lebar. Untuk membersihkan rumah ini, kami telah mempekerjakan lima asisten rumah tangga. Sementara untuk kebun, ada Karjo dan Diman. Namun, sudah dua minggu ini aku yang bersihkan bersama Mawar.
Karena, kedua satpam itu mengambil cuti pulang kampung. Mau bagaimana lagi, karena mereka berdua adalah orang yang bisa dibilang ajudan suamiku. Setibanya di meja makan, sang suami dan Mawar mendudukkan badan.
Ketika sang anak memegang kue, aku memukul tangannya. "Mawar ... kamu belum mandi. Ayo, mandi dulu baru makan."
"Ah, si Mama kaku banget. Kan, aku udah cuci tangan," jawabnya.
"Sayang ... apa yang dibilang Mama kamu benar. Mandi dulu, gih, biar wangi dan bersih dari kuman," celetuk sang suami.
Tanpa menjawab, Mawar pun pergi dengan tatapan menekuk wajah. Pasalnya, dia lebih menurut dengan ucapan sang suami. Apabila berucap denganku, kami selalu bersitegang saja.
Karena aku juga sudah sangat jorok, aku pun ingin mandi dan berdandan cantik. Pasalnya, momen untuk dekat dan makan bersama sang suami sangat langkah dijumpai. Kami tidak pernah bertemu waktu yang pas.
Padahal, aku sangat menunggu saat-saat seperti ketika kami berpacaran. Ke mana-mana berdua, dan tidak takut kehilangan. Setiap jam, detik, hingga menit selalu bersama. Namun, setelah dia berhasil menjalankan perusahaan ayahnya, semakin jauh dari kata romantis.
Di dalam kamar mandi, aku membasuh badan yang sudah sangat bau keringat. Kemudian, sampo dan sabun telah berhasil menyingkirkan debu dan kuman di permukaan kulit. Selepas mandi, aku menuju lemari dan memilih pakaian.
Baju warna hitam, serta rok warna hitam telah menjadi pilihan. Aku pun memakainya dan mengenakan bedak sangat tipis. Langkah kaki membawa diri untuk menuju sang suami di lantai satu.
Dengan tapakkan gontai, aku pun tiba di lantai satu sembari menatap mantap pejantan tangguh di sana.
Lirikan kami sudah seperti artis bollywood luar negeri. Hanya saja, aku tak memiliki rambut pirang seperti wanita yang ada di dalam film itu. Sang suami main mata, kemudian kubalas dengan memberikan kiss jarak jauh.
Tak berapa lama, aku pun berjalan melalui permadani karpet merah dan berjalan sangat kemayu. Akibat dari gaya putar tersebut, membuat sepatuku tersangkut dengan benang karpet. Alhasil, badan ini pun hampir saja terjatuh.
"Eh-eh ... Sayang!" teriak sang suami, dia berlari mendekatiku.
"Syukur ... kamu menangkap aku, Yah. Coba aja kalau enggak, pasti aku sudah terjatuh."
"Makanya, jadi orang jangan suka lebay," cibir Mawar-anakku yang datang secara tiba-tiba.
Mendapati ucapan itu, aku tersimpuh malu dan mendudukkan badan di atas kursi. Sang suami lebih memilih duduk dengan anaknya, dia pun cuek dengan aku. Padahal, tadi hampir saja jatuh karena salah tingkah demi membuatnya terhibur.
Suamiku berubah, menjadi sangat dingin dan cuek. Entah menggunakan cara apa lagi, agar dia tidak seperti itu dalam bersikap.
"Ayah ...," rengekku seraya menggigit ujung sendok.
Lawan bicara pun menoleh, dia menatap dengan penuh nafsu dan membuang senyum simpul. Kemudian, aku menggigit ujung sendok sebagai kode. Harapan hati ini adalah, semoga dia peka. Namun, sepertinya sang suami sudah terkena gangguan jiwa.
Tanpa membalas tingkahku, dia malah melihat ponsel sang anak dan curhat sejak tadi. Momen siang ini berubah menjadi sangat tidak menyenangkan. Sembari memakan roti panggang dia atas meja, aku mengunyahnya hanya beberapa kali saja
"Uhuk!" Aku pun tersedak karena menelan roti dengan tiga kali kunyahan.
"Mama kenapa, sih, dari tadi salah tingkah mulu?" tanya Mawar-anakku.
"Sayang ... mama juga mau kali, di pangku seperti kamu. Kan, dia adalah suami mama," jawabku merengek.
"Yah, itu Mama minta pangku, barangkali dapat melepas rasa penatnya seharian berkebun," ujar si anak.
Bersambung ...
Buku lain oleh MAJESTIC MAESTRO
Selebihnya