Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Dilema Sang Sekretaris

Dilema Sang Sekretaris

Miss.EA

5.0
Komentar
22.9K
Penayangan
30
Bab

Di tengah kesibukannya sebagai sekretaris yang berdedikasi, Grace harus berhadapan dengan pesona tak terduga dari kakak bosnya. Meskipun awalnya berusaha keras untuk mengabaikan perhatiannya, namun segalanya berubah dalam sebuah kejadian malam yang tak terduga. Sekarang, Grace harus menemukan keberanian untuk menghadapi perasaannya. Ia terjebak dalam konflik antara profesionalisme dan cinta yang tak terduga. Saksikan kisah romantis yang memikat ini yang mempertanyakan hubungan antara kekuatan profesionalisme dan panggilan hati, di tengah kehidupan yang menyimpan banyak rahasia.

Bab 1 Sosok Ayah Untuk Arvind

Los Angeles, California...

Sunset View Apartments...

Di depan cermin full body, Grace berdiri sambil memeriksa penampilannya. Wanita berusia 26 tahun itu menatap datar pada cermin, namun kecantikannya tidak berkurang sedikitpun, seperti yang banyak diakui oleh rekan-rekannya di kantor tempat dia bekerja sebagai sekretaris.

Pagi ini, Grace memakai rok hitam berpotongan lurus yang pas dengan tubuhnya, dipadukan dengan blus putih berkerah, dan setelan jas hitam yang memberikan kesan profesional dan elegan.

Rambutnya dikepang rapi dan disematkan dengan peniti berhias bunga kecil, memberikan sentuhan feminin pada penampilannya yang serba formal.

Sepasang sepatu hak tinggi hitam menambah kesan anggun pada penampilannya. Sorot matanya yang tajam dan senyumnya yang ramah memberikan kesan percaya diri dan profesionalisme yang melekat padanya.

Setelah memastikan bahwa outfit yang membungkus tubuh rampingnya sudah sesuai keinginannya, Grace mundur dari depan cermin dan berjalan menuju meja rias. Ia duduk di kursi di sana dan mulai memoles wajahnya dengan riasan tipis seperti biasanya.

Tak berselang lama, ponselnya yang tersimpan di sisi meja rias tersebut berdering nyaring, membuat Grace sedikit tersentak kaget. Ia melirik pada layar yang tengah menyala terang dan sedikit memicingkan kedua mata saat melihat nama kontak yang sangat tidak diharapkannya.

Tuan Mario is calling...

Grace mendesah kasar sambil menjauhkan kuas make up dari wajahnya. "Dia ini mau apa sih, menelepon pagi-pagi begini?" gumamnya dengan suara terdengar kesal.

Grace awalnya mengabaikan panggilan tersebut, namun ponselnya kembali berdering untuk kedua kalinya. "Kamu benar-benar menyebalkan, Marimar!" kesalnya dengan sengaja melesetkan ketika menyebut nama si penelpon itu.

Mengulurkan tangan, Grace menyambar ponsel itu dan membawanya dekat ke telinga. Ia menekan tombol berwarna hijau dengan penuh kekesalan sembari berkata, "Iya, ada apa?!"

"Selamat pagi, Grace," suara berat itu menyapa.

Grace mendesah kasar. "Selamat pagi, tuan. Ada apa, Anda menghubungi saya pagi-pagi begini? Saya sedang sibuk bersiap-siap. Seharusnya Anda paham dengan rutinitas pagi saya," ucapnya.

Terdengar helaan nafas pelan dari pria itu. "Grace, pertama-tama, kita tidak tinggal serumah, jadi bagaimana aku bisa tahu apa yang sedang kamu lakukan sekarang. Kedua, aku bukan suamimu, jadi bagaimana aku bisa paham dengan kesibukanmu? Hem, atau mungkin kau ingin menjadi istriku? Apakah pernyataanmu barusan adalah bentuk sebuah kode?"

Grace seketika terbelalak dan bibirnya menganga. Kemudian dia berdecak sambil memutar malas kedua matanya. "Dasar tidak jelas!" dengusnya. Kekesalannya semakin bertambah saat mendengar kekehan menyebalkan dari pria itu.

"Apa yang anda inginkan sampai menelepon saya sepagi ini?" tanya Grace kemudian.

"Aku ingin memberitahumu bahwa aku sudah di bawah menunggumu," jawab pria itu.

"Saya bisa berangkat sendiri, tuan. Anda tidak perlu repot-repot," tolak Grace.

"Yah, bagaimana dong, Grace. Aku sudah di sini dan sekarang aku menuju lift."

"Anda mau kemana?!" pekik Grace dengan suara memekik kesal.

"Naik ke atas. Aku ingin melihat Arvind sebentar. Dia pasti merindukan daddynya ini," jawab pria itu.

Grace semakin frustasi. "Arvind masih tidur. Anda tidak perlu naik. Tunggu saja saya di bawah." Bohongnya.

"Ck, jangan pikir aku semudah itu mempercayaimu. Dasar pembohong!" ujar pria itu.

Grace hendak membuka bibir namun urung saat panggilan berakhir. Panggilan tersebut diakhiri oleh pria itu, membuat Grace semakin kesal.

Sementara di depan pintu unit apartemen Grace, seorang pria tampan berusia 31 tahun, Mario Adisson, kakak sulung dari atasan Grace di kantor, berdiri menjulang. Ia terkekeh pelan saat membayangkan wajah kesal Grace padanya.

Mario menekan bel dan menunggu pintu dibuka. Tak berselang lama, pintu terbuka lebar menampilkan seorang wanita sepantaran dengan Grace tengah menggendong seorang balita berusia satu tahun.

"Daddyyyy...!" Balita itu dengan antusias mengulurkan kedua lengan mungilnya pada Mario, meminta pria itu agar menggendongnya.

Mario tersenyum dan mengambil alih tubuh mungil itu. "Good morning, buddy," kata Mario sambil mencium pipi gembul Arvind. Balita itu bernama Arvind, keponakan Grace yang telah ditinggalkan oleh kedua orangtuanya.

Mario pun membawa langkah memasuki apartemen Grace, dipersilakan oleh pengasuh Arvind, menuju ruang tengah.

"Grace belum keluar dari kamar?" tanya Mario kepada wanita yang bernama Ely itu.

"Belum, Tuan," jawab Ely.

Mario mengangguk pelan dan kembali memfokuskan pandangannya pada Arvind, mengajak balita itu bermain sebentar.

"Ayo, boy, kita lihat Mommy Grace, apakah dia tertidur di kamarnya atau mungkin dia pingsan?" ucap Mario sambil berdiri dari duduk. Mario mengayunkan tubuh mungil Arvind ke udara, membuat balita itu tertawa riang.

Selanjutnya, Mario membawa langkah menuju kamar Grace dengan Arvind yang berada dalam gendongannya.

Setelah berdiri di depan pintu yang tertutup rapat, Mario mengetuk daun pintu beberapa kali, dan setelah mendengar suara Grace dari dalam, barulah Mario membuka pintu dan memasuki kamar Grace yang cukup luas.

"Kau lama sekali, Grace, seperti mau kondangan saja," tegur Mario.

Grace tidak menggubris. Wanita itu memilih fokus pada keponakannya yang sudah dianggap seperti anak kandung sendiri. Mengulas senyum pada Arvind, balita itu tertawa riang dalam gendongan Mario.

Grace membawa wajah dekat pada Arvind, berniat mengecup pipi gembul balita itu. Namun, naasnya, justru keningnya yang dikecup oleh Mario.

"Mario!" Grace kesal dengan suara tertahan. Dia ingin memprotes, namun takut membuat Arvind terkejut.

"Kenapa sih?" Keluh Mario sembari memasang wajah tanpa dosa seolah-olah tak melakukan kesalahan apapun. "Tidak sengaja, Grace. Oh, ayolah, jangan terlalu percaya diri sampai berpikir kalau aku sengaja mencium keningmu barusan," lanjutnya.

"Kamu memang sengaja, Mario! Tidak usah mengelak lagi!" kesal Grace tanpa mempedulikan bahasanya yang non formal terhadap pria itu.

"Kau yang dekat-dekat, Grace. Apa kau tidak lihat kalau sejak tadi aku hanya berdiri di sini? Bahkan tubuhku tidak bergeser dari tempatku berdiri barang sedikitpun," ucap Mario terus membela diri.

Grace mendesah kasar sambil memutar malas kedua mata. Ia muak terlalu lama meladeni Mario karena pria itu sangat amat menyebalkan dari yang Grace bayangkan.

"Sudahlah, daripada kau marah-marah tidak jelas, sebaiknya lanjut bersiap-siap biar kita tidak kesiangan," ucap Mario memberi saran positif.

Kali ini Grace setuju dengan pria itu. Dia kembali ke meja riasnya untuk melanjutkan kegiatan yang belum selesai. Sementara Mario sudah keluar menuju ruang tengah bersama Arvind. Ia menunggu Grace disana sebab mereka akan berangkat ke kantor bersama.

Beberapa menit berlalu...

"Ayo, aku sudah selesai," ucap Grace menghampiri Mario. Pria itu asyik bermain dengan Arvind.

Mario berdiri dari duduknya setelah puas mengecup pipi gembul Arvind. Balita berusia satu tahun itu sempat merengek karena tidak ingin jauh-jauh dari Mario.

"Sayang, kamu sama Ely dulu ya. Mommy mau berangkat kerja. Oke, nak?" rayu Grace pada Arvind.

Arvind menggeleng. "No, no, Daddyyyy!" Ia mengulurkan tangan mungilnya ke arah Mario.

Grace mendesah pelan. Ia frustasi sekali melihat keponakan yang seperti ini, susah mau lepas dari Mario. Namun, Grace memaklumi dan selalu berpikir bahwa mungkin saja Arvind sangat merindukan sosok seorang ayah.

Apalagi Mario tulus menyayangi balita itu. Tentu Arvind merasa nyaman bersama Mario sehingga ketika mereka sudah bertemu seperti sekarang, Arvind susah dijauhkan dari Mario.

Mario tidak tega, dan dia menggendong Arvind sebentar. Ia membujuk balita itu dengan berbagai cara hingga dia berhasil lepas dari Arvind tanpa membuat balita itu menangis.

Setelah itu, Mario dan Grace buru-buru keluar dari apartemen dan turun bersama menuju lantai dasar. Setelah beberapa menit, mereka sudah berada di dalam mobil milik Mario.

"Arvind membutuhkan sosok ayah, Grace. Apakah kau tidak kasihan padanya?" Tanya Mario sambil melirik sebentar pada Grace, bersama dengan itu ia melajukan mobil, meninggalkan bangunan tempat tinggal Grace.

Grace menoleh pada Mario dengan tatapan yang tajam. "Bilang saja kalau kamu sedang menawarkan diri menjadi suamiku. Cih, aku tidak akan sudi!" Ketus Grace.

Mario terkekeh pelan dan kembali menatap fokus pada jalan di depannya.

Sementara Grace membawa pandangan ke arah luar jendela. "Hah...! Sudahlah, Grace, jangan berulah," batinnya sambil menyentuh dadanya yang berdebar.

Sepertinya rasa dilema kembali menghampiri Grace. Ia dilema akan pesona Mario.

***

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Miss.EA

Selebihnya
Godaan Sang Mantan

Godaan Sang Mantan

Romantis

5.0

WARNING 21+‼️ (Mengandung adegan dewasa) "Ughh..." Marina melenguh sambil mencengkram pergelangan tangan Willem. "Sakit, Will." "Kamu mendesah barusan," bisik Willem. Marina menggigit bibirnya menahan senyum yang hendak terbit. Willem segera menegakkan punggungnya, menatap Marina dengan penuh cinta di bawah kendalinya. "Tapi sakit, jangan terlalu keras... ahhh," ucap Marina. Belum selesai ia berucap, tiba-tiba ia mendesah saat Willem menghentakkan pinggul dengan lembut. "Ahhh..." *** Seiring berjalannya waktu, Marina semakin yakin bahwa keputusannya untuk menghindari pertemuan dengan mantan kekasihnya, Willem Roberto, adalah langkah yang tepat. Luka yang dalam akibat keputusan Willem di masa lalu membuat Marina merasa hancur dan ditinggalkan begitu saja setelah ia menyerahkan segalanya kepadanya. Meski Marina berusaha sekuat tenaga untuk menjauhi Willem, takdir mempertemukan mereka kembali setelah tujuh tahun berpisah. Pertemuan ini tidak bisa dihindari, dan Marina pun merasa tergoda oleh pesona mantan kekasihnya. Walaupun hatinya masih terluka, Marina terbawa dalam nostalgia dan hangatnya kenangan masa lalu. Keduanya larut dalam kenangan manis dan berbagi momen intim di dalam kamar hotel. Willem terus menggoda Marina dengan daya tariknya yang memikat, membuat wanita itu sulit untuk menolaknya. Marina pun berada dalam kebimbangan, diantara kerinduan akan cinta yang dulu dan ketakutan akan luka yang mungkin kembali menghampirinya. Kisah cinta Marina dan Willem kembali terjalin, namun kali ini dipenuhi dengan ketidakpastian dan keragu-raguan. Marina harus segera memutuskan apakah ia akan terus terjebak dalam kenangan yang menyakitkan atau memilih untuk bangkit, memperbaiki diri, dan menempatkan kebahagiaannya di atas segalanya.

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku