Menyaksikan pembantaian kedua orangtuanya saat berusia 10 tahun, membuat gadis bermata coklat Aurellia Xena mengalami trauma yang mendalam. Bahkan, saat kini usianya telah menginjak 18 tahun, ia masih belum bisa melupakan tragedi mengenaskan tersebut. Xavier Son James, seorang pengusaha ternama jatuh hati saat pertama kali melihatnya. Berbagai cara dilakukannya untuk bisa mendapatkan hati sang pujaan hati, sampai-sampai ia rela melakukan cara kotor sekalipun untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Hingga suatu tragedi membuatnya harus tinggal bersama Xavier yang memiliki Sifat arogan, posesif dan kasar membuat trauma Xena malah semakin menjadi. Mampukah Xena keluar dari trauma masalalunya?
"Happy Brithday to you ...."
Suara nyanyian dan gemuruh tepuk tangan menghiasi sebuah pesta ulang tahun gadis cantik bernama Aurellia Xena. Dinding berwarna pink, lampu kerlap-kerlip serta banyak dekorasi princess, membuat suasana pesta ulang tahun tersebut semakin meriah.
Semua anak-anak yang berada dipesta tersebut ikut bahagia melihat gadis cantik dengan baju princess tengah meniup lilin ber-angka 10, yang menandakan bahwa usianya kini telah genap menginjak 10 tahun.
"Yee ... sekarang Xena potong kuenya ya. Dan berikan kue pertamanya untuk orang yang paling special." ucap sang pemandu acara tersebut.
Gadis cantik dengan mahkota gold dikepalanya itu memotong kue ulang tahunnya dan menaruhnya dipiring kecil tersebut. Ia terdiam sejenak, dan tersenyum kearah Mamah Dan Papahnya yang berada tepat dibelakangnya.
"Jadi kue pertamanya untuk siapa, Xena?" tanya pemandu itu.
"Papah dan Mamah." jawab Xena dengan lembut.
"Oke, sekarang Xena suapin ya kuenya ke mamah dan papah."
Gadis itu pun mendekati kedua orangtuanya dan memberikan suapan pertama pada sang Mamah, lalu suapan berikutnya pada sang Papah.
Hari itu adalah menjadi hari yang sangat bahagia untuk dirinya, karena untuk pertama kalinya kedua orangtuanya mampu meluangkan waktu mereka untuk merayakan ulang tahunnya bersama.
Biasanya, dipesta sebelumnya, sang Papah selalu sibuk bekerja, atau sebaliknya. Namun, kini saat usianya genap 10 tahun, kedua orangtua Xena memutuskan untuk meluangkan waktu mereka demi sang anak.
Setelah memberikan suapan tersebut. Xena kembali memotong kuenya untuk semua teman-temannya yang datang ke acara tersebut.
Drrttt ... Drrttt ...
Suara ponsel yang terus berdering membuat Aron, papah Xena, merasa terganggu. Ia melihat kelayar ponselnya, terdapat nama sahabatnya yang memanggil dirinya beberapa kali bahkan mengiriminya pesan hingga puluhan kali.
'Menganggu saya saja.' batinnya, lalu dengan cepat, Aron mematikan ponselnya dan lanjut merayakan ulang tahun anaknya.
Sang istri mendekat dan bertanya padanya. "Ada apa Pah?"
Aron menggeleng. "Bukan apa-apa, hanya rekan bisnis yang menelpon."
"Kenapa tidak diangkat?"
"Sudahlah, palingan juga bicara soal bisnis. Aku tidak mau jika acara pesta xena jadi ternganggu lagi seperti sebelum-sebelumnya."
Aira mengangguk kecil. "Yasudah, kalau begitu kita lanjut keacara xena yuk." ajaknya yang langsung dianggukan oleh sang suami.
Mereka pun kembali keacara tersebut untuk menemani anak semata wayangnya. Keluarga kecil dengan anak, seorang Ibu dan seorang Ayah berjalan menghampiri mereka. Dia adalah Ardi berserta anak dan istrinya.
"Selamat datang Ardi." sapa Aron seraya memberikan jabat tangannya.
"Terima kasih, Kak." balasnya dengan ramah.
"Hei, ini pasti Arabelle ya?" tanya Aira pada gadis kecil dengan kucir dua itu.
"Iya Tante." jawabnya imut pada Aira.
Aira pun membalas senyum manisnya. Matanya langsung tertuju pada sebuah kado kecil yang dibawa gadis mungil itu.
"Ini pasti kado buat kak xena ya?"
Arabelle mengangguk. "Iya Tante."
"Yasudah sana, kamu kasih pada kak xena ya." ucap Tania.
"Iya Mah. Arabelle kesana dulu ya."
Tania mengangguk dengan tersenyum. Arabelle pun berlari kecil menuju kearah Xena dan bergabung dengan anak-anak lainnya.
"Maaf ya kak. Saya baru sempat datang sekarang." ucap Ardi.
"Tidak masalah, pestanya juga belum selesai kok." jawab Aron.
Setelah itu mereka membicarakan pasal bisnis yang tengah mereka jalani. Sedangkan istri mereka memilih untuk mengobrol ditempat lain dekat dengan anak-anak mereka.
Suara tawa bahagia anak-anak itu membuat para orangtua pun ikut merasa bahagia, begitu pun juga dengan Aira, melihat anak semata wayangnya tersenyum lebar memancarkan kebahagiaan tersendiri bagi dirinya.
"Melihat xena tertawa seperti ini saja, membuat saya merasa senang." ujar Aira.
"Namanya juga seorang Ibu Mba. Apapun pasti dilakukan untuk kebahagiaan anaknya."
Aira terenyum kearah Tania. "Iya. Apalagi untuk mendapatkan Xena, aku harus menunggu hingga selama 10 tahun dulu. Waktu itu cukup lama hingga akhirnya bisa mendapatkan anak yang kami dambakan."
"Saya paham apa yang Mba rasakan." ucap Tania yang bersimpati pada Aira.
Aira tersenyum. "Jika suatu hari nanti, saya telah pergi. Titip Xena ya, jaga dia seperti kamu menjaga Arabelle," pesannya pada Tania.
Wanita itu tersenyum dan merasa aneh dengan perkataan Aira. "Mba ini bicara apa? Memangngya Mba mau pergi kemana?"
"Saya hanya berpesan saja kepada kamu."
Tania mengusap lembut pundak Aira.
"Sudahlah Mba. Mba akan bersama terus dengan Xena, bahkan hingga Xena dewasa dan punya anak, Mba akan menimang cucu dari Xena kelak."
Aira mengangguk. "Semoga ya, Tania." ucapnya yang dianggukan oleh Tania.
"Kak Xena ...." teriak gadis kecil berkuncit dua itu dengan lambaian tangannya.
Xena pun menoleh dan membalas lambaian tangannya. "Arabelle, sini ...."
Arabelle pun berlari kecil dan ikut bergabung bersama dengan anak lainnya. Mengikuti permainan yang tengah berlangsung pada acara itu.
"Ara bawa hadiah untuk Kakak." ucapnya seraya memberikan kado tersebut pada Xena.
Xena tersenyum dan menerima kado tersebut. "Wah ... makasih banyak ya." jawabnya dengan rasa gembira lalu memeluk Arabelle dengan erat, begitu Arabelle yang membalas pelukan hangat Xena.
Mereka bersepupu, Ardi adalah adik angkat Aron. Keluarga Aron terkenal baik dan juga dermawan, dulu saat Ardi masih kecil ia ditemukan dipinggir jalan tanpa adanya orangtua yang merawatnya.
Secara tak sengaja, keluarga Aron yang tengah berlibur melihat Ardi tengah duduk sendirian dengan baju compang-camping dan tubuh lesu. Tak tega melihat Ardi yang saat itu berusia 6 tahun seperti itu, membuat Aron meminta pada kedua orangtuanya untuk mengajaknya pulang.
Keluarga Aron yang memang dikenal dengan kebaikan dan keramahannya pun menuruti permintaan sang anak. Hingga pada akhirnya, mereka membawa Ardi pulang, awalnya mereka akan menaruh Ardi dipanti asuhan, namun Aron meminta agar Ardi tetap tinggal dirumahnya dan menjadi teman baiknya.
Pada Akhirnya, kedua orangtua Aron pun memutuskan untuk mengangkat Ardi sebagai anak mereka dan mengurus semua surat-surat penting agar Ardi 'sah' menjadi anak mereka. Dan sejak saat itu Ardi menjadi bagian dari keluarga Aron, sampai saat ini ia telah menikah dengan Tania dan memiliki seorang anak yaitu Arabelle. Mereka tetap menjalin silahturahmi mereka.
Bagi Aron, Ardi tetap adik kandungnya. Ia sama sekali tidak pernah menganggap bahwa Ardi adalah orang lain, ia selalu menganggap bahwa Ardi adalah keluarganya. Apalagi, kini ia hanya memiliki Ardi sebagai anggota keluarganya.
*****
Beberapa jam telah berlalu, acara tersebut pun telah usai. Seluruh anak-anak yang mengikuti acara itu pun pulang bersama orangtua mereka. Begitupun juga Ardi dan keluarganya.
"Kami pamit dulu ya."
"Iya hati-hati ya." balas Aron.
"Ayo sayang. Bye dulu dengan Kak Xena." ucap Tania pada sang anak.
Arabelle melambaikan tangannya kearah Xena. "Dadah Kak Xena, nanti kita main sama-sama lagi ya."
Xena pun membalas lambaian tersebut seraya tersenyum manis pada Arabelle.
"Iya, nanti kita main sama-sama lagi ya ...." teriaknya.
Arabelle pun memberikan tanda 'OK' pada jarinya. "Siap, Kak." jawabnya yang juga ikut berteriak.
Tak lama, mereka pun masuk ke dalam mobil dan segera pulang dari rumah Aron. Aron beserta keluarganya pun masuk ke dalam rumah.
"Sayang ... kamu tidur ya, istirahat. Pasti kamu capek kan."
Xena mengangguk. "Iya Mah. Yaudah kalau gitu Xena ke kamar dulu ya Mah."
"Iya sayang. Mau Mamah temani?"
Gadis itu menggeleng. "Nggak usah Mah, Xena kan udah gede. Xena bisa sendiri kok." jawabnya.
"Yaudah, kalau gitu kamu ke kamar ya." ucapnya yang langsung dianggukan oleh Xena, gadis itu pun berjalan menuju ke kamarnya.
"Apa benar berita itu?!"
Mendengar suara keras dari sang suami, membuat Aira pun segera menghampirinya. Ia berdiri tepat disampingnya.
"Baik, terima kasih informasinya ya." ucap Aron lalu ia menutup panggilan tersebut.
"Kenapa Pah?" tanya Aira.
Aron menoleh kearah sang istri, ia menghela napasnya sejenak. "Caroline meninggal, Mah."
Aira terkejut. Ia langsung menutup mulutnya mendengar berita duka tersebut. "Kita harus kesana sekarang Pah."
Aron mengangguk, lalu mereka bersiap-siap menuju ke rumah Caroline, untuk menghanturkan bela sungkawa.
Sedangkan Xena, ditinggal bersama beberapa asisten rumah tangga keluarga mereka di rumah.
*****
Beberapa menit kemudian, mereka pun sampai di Rumah Kediaman Caroline. Bunga papan serta suara tangis semua orang membuat seluruh rumah itu dipenuhi dengan perasaan duka.
Perlahan, Aron dan sang istri berjalan masuk ke dalam rumah. Melihat sosok wanita terbujur kaku dengan kain putih yang menutupi tubuhnya sebatas leher di ruang depan, membuat mereka ikut berduka.
Suara tangisan histeris dari suami Caroline begitu terdengar jelas ditelinga mereka. Hingga secara tak sadar Aira pun ikut meneteskan airmatanya. Mereka mendekati lelaki itu dan duduk tepat disebelahnya.
Aron mengusap lembut pundak sang sahabat, seketika lelaki itupun menoleh menatap Aron dengan mata sembab.
"Kami turut berduka cita." ucapnya empati.
Lelaki itu mengangguk, ia mengusap airmatanya lalu kembali melihat jenazah sang istri.
Ia sangat terpukul akan kepergian istri tercintanya, sungguh Caroline adalah wanita yang paling ia sayangi, betapa hancur hatinya melihat wanita yang ia cintai pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya.
Aron kembali menenangkan sang sahabat.
"Sudah. Ikhlaskan kepergiannya, biarkan dia tenang disurga."
"Saya tidak tahu, bagaimana kehidupan saya selanjutnya, Aron. Jika tidak ada Caroline disampingku. Saya sangat mencintainya." lirihnya.
"Saya paham apa yang kamu rasakan. Maaf, saya tidak bisa membantunya disaat istrimu sedang ...." Ucapannya terhenti ketika lelaki itu menoleh dan menepuk pelan bahunya, ia mengatakan.
"Tak apa, Aron. Mungkin ini memang sudah menjadi takdir Caroline, untuk pergi selama-lamanya."
"Sekali lagi saya minta maaf." ulang Aron.
Lelaki itu mengangguk, ia mulai mereda tangisnya. Namun, jauh didalam lubuk hatinya ia masih amat sangat terpukul atas kepergian istrinya.
Disaat suasana haru dan duka menyelimuti rumah itu. Tiba-tiba datang seseorang lelaki muda berkisar usia 22 tahun seraya membawa koper menuju rumah tersebut. Pandanganya tertuju pada bunga papan yang bertulisan nama 'Caroline'.
Seketika, tubuhnya kaku, lidahnya keluh, sungguh ia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, namun melihat nama itu di bunga papan tersebut, membuat kedua matanya pun mulai berkaca-kaca.
Perlahan, ia mulai melangkahkan kakinya menuju rumah tersebut dengan perasaan campur aduk dan detak jantung yang tak bisa ia deskripsikan.
Lelaki tampan dengan alis tebal itu menghentikan langkahnya, ketika melihat bahwa apa yang ia baca didepan rumahnya tadi adalah nama sang Mamah 'Caroline'.
Deg.
Seketika jantungnya seperti berhenti berdetak, tubuhnya sangat kaku seperti es yang berada dikutub utara, butiran bening pun mengalir deras dari pelupuk matanya. Sungguh, ini bagaikan mimpi baginya. Wanita yang paling ia sayangi yaitu sang Mamah, pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya.
Lelaki itu berjalan dengan tubuh lemas, bahkan koper yang ia bawa tadi ditinggalkan begitu saja. Ia langsung terduduk tepat didekat sang Papah.
Seketika, lelaki itu menoleh dan terkejut melihat anaknya yang sudah pulang dari luar negri. Sungguh, ia sama sekali tak tahu jika sang anak telah kembali.
"Kamu sudah pulang?" tanyanya dengan lirih seraya memerhatikan sang anak.
Lalaki itu menoleh, ia menatap sang Papah dengan penuh rasa kesal. "Kenapa Papah tidak memberitahuku akan hal ini? Apa yang sebenarnya terjadi dengan mamah?" tanyanya lirih dengan bibir bergetar menahan tangis.
Lelaki itu terdiam, ia tak mampu menjawab pertanyaan sang anak.
Jujur, karena selama ini, ia memang menyembunyikan ini semua dari anaknya, karena itu memang permintaan istri sendiri. Ia tidak mau kalau konsentrasi kuliah sang anak diluar negri akan terganggu jika mengetahui bahwa dirinya sakit.
"Kenapa Pah? Kenapa Papah diam?!" desisnya dengan suara gemetar.