Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
We Best Love: Kamu, Rumahku

We Best Love: Kamu, Rumahku

Kanalie

5.0
Komentar
130
Penayangan
6
Bab

Radit dan Melani terlibat sebuah perjodohan. Melani tulus mencintai Radit. Sementara Radit terpaksa menikah hanya karena sebuah jabatan. Butuh waktu lama untuk meluluhkan hati Radit. Menerima segala kekurangan, serta merawat seorang anak yang bukan merupakan darah dagingnya. Namun ketika Radit telah berhasil menjadi milik Melani, cinta pertama lelaki itu kembali datang dan mengungkap sebuah rahasia besar. Lantas, bagaimana kisah cinta Radit? Akankah ia tetap mempertahankan Melani sebagai istri, atau justru kembali kepada kekasih lama yang sempat menghilang begitu saja?

Bab 1 Perjodohan

Suara lolongan bayi menangis mendominasi ruangan bercat putih. Memecah keheningan serta rasa khawatir yang sejak tadi melanda.

Teriakan penuh semangat dari seorang bayi perempuan itu, sontak menimbulkan efek senyuman merekah kepada setiap orang yang menatapnya.

Bulu mata tebal, bibir ranum menggemaskan, serta kedua pipi memerah. Sudah dapat dipastikan bahwa anak ini akan tumbuh menjadi gadis cantik di masa depan.

"Cantik. Siapa namanya?" tanya seorang pria dengan kerutan di sebagian wajahnya.

"Melani Farissan Angeline." Jawab pria lain yang tengah mengelus pelan puncak kepala Sang cucu.

"Mama, apa kita akan bawa Melani pulang? Dia tidak memiliki orang tua lagi."

Pernyataan pintar dari anak laki-laki berusia lima tahun kepada ibunya, sukses mengubah atmosfer ruangan kembali menjadi sendu.

Gadis malang. Mungkin sebutan itu sangat pantas diberikan kepada Melani kecil.

Mobil melaju kencang karena erangan kesakitan dari seorang ibu. Melewati lampu berwarna merah. Menabrak sebuah mobil, dan menghantam pembatas jalan.

Kedua orang tua Melani mengalami kecelakaan tragis. Pria hebat yang seharusnya akan dipanggil ayah, meninggal ditempat.

Sementara Sang ibu mencoba bertahan. Melahirkan dengan penuh isak tangis, menyusui selama beberapa menit, lalu ikut menyusul suami tercintanya.

"Ya, sepertinya Mama akan membawa Melani pulang sampai beberapa bulan ke depan. Apakah kamu suka?"

Raditya Pratama, anak berwajah tampan dengan kulit seputih susu tersebut mengangguk penuh semangat.

"Ya!! Tapi Kakek, bolehkah aku mencium Melani?"

Semua orang kembali tertawa gemas.

"Tentu saja. Radit boleh mencium cucu Kakek sepuasnya. Apakah kau juga ingin menikahi Melani?" goda Kakek Melani, mencoba menghibur dirinya sendiri dengan kepolosan cucu rekan kerjanya.

"Pernikahan? Seperti Papa dan Mama?" Mata Radit berbinar.

"Kapan aku akan menikah dengan Melani?" lanjutnya.

Senyuman tulus terukir dari bibir Anang, Kakek Melani. Setelah meletakkan Melani pada box bayi yang telah sediakan, pria tua itu berjalan mendekati Radit.

Walaupun tidak memiliki keluarga yang utuh. Setidaknya, cucu perempuannya akan mendapat cinta dari banyak orang.

Ia bahkan sudah menemukan calon suami di usia yang belum genap satu hari

"Nanti, setelah kau menjadi laki-laki dewasa yang mapan dan pantas," jawab Anang.

Yudhis, Kakek Radit sekaligus teman dekat Anang, mengeluarkan sebuah gelang tali berwarna hitam dengan hiasan bandul berupa batu sapphire.

Ia memasangkan gelang tersebut di tangan Radit dan Melani secara bergantian.

"Sekarang, kalian berdua akan bertunangan terlebih dahulu. Untuk menjaga satu sama lain dan menunggu hingga waktu pernikahan tiba."

***

25 tahun kemudian.

"Pernikahan?"

Bak sebuah petir di pagi hari. Radit membulatkan mata. Ia terkejut tatkala kakeknya membicarakan masalah pernikahan yang akan digelar esok hari.

"Siapa? Maksudku, siapa yang akan aku nikahi?" tanyanya kepada semua orang di meja makan.

Yudhis memasukkan satu potong buah apel ke dalam mulut.

Selagi berusaha mengunyah menggunakan giginya yang tak lagi lengkap, pria tersebut menjawab, "Siapa lagi jika bukan tunanganmu, Melani."

Radit mengeluarkan decakan pelan. Lelaki itu tidak ingin menikah dengan gadis yang bahkan tidak ia cintai sama sekali.

Ini semua karena perjodohan bodoh dua puluh lima tahun lalu, batinnya kesal.

"Kakek, aku belum siap menikah. Aku butuh waktu," Radit berusaha membujuk. Mengeluarkan kalimat andalan jika diminta untuk segera menikah sejak dua tahun lalu.

"Perusahaan Kakek Melani sudah diberikan pada kita, Papamu meninggal dunia, dan umurku juga tidak lagi muda. Apalagi yang kau tunggu?"

Sebagai syarat untuk menjadi pewaris tunggal keluarga Pratama, Radit harus menikah terlebih dahulu. Tidak boleh dengan orang lain, hanya dengan Melani.

Mungkin kedengarannya terlalu memaksa. Namun jika Radit menolak, maka semua aset perusahaan akan jatuh kepada Melani. Sejak dulu, dunia bisnis kalangan atas memang terkenal kejam.

"Ma, Radit belum mau nikah sama Melani," keluhnya kepada Sang Mama.

Nita menepuk pelan punggung Radit, "Yang sejak dulu pengen nikah sama Melani kan kamu, kenapa sekarang malah jadi rewel gini?"

Demi Tuhan, itu hanya pemikiran anak kecil yang belum mengalami masa pubertas dan cinta monyet.

Radit tidak pernah menyangka permintaan bodohnya kini benar-benar terkabul.

"Anak sekarang gemar sekali mengulur pernikahan. Apa mereka ingin menjadi perjaka tua? Atau sebenarnya tidak menyukai wanita? Jadi, yang mana yang mewakili dirimu, Dit?"

Tidak keduanya. Radit adalah laki-laki normal. Ia juga ingin memiliki keluarga. Namun bukan dengan Melani, tetapi bersama kekasihnya sendiri, Laura.

Setelah melalui perdebatan yang selalu membuatnya kalah, siang ini, Radit duduk di salah satu kursi sebuah restoran ternama.

Sembari menunggu kedatangan seseorang, Radit menggigit ujung sedotan jus mangga.

Sedangkan kedua tangannya ia kerahkan untuk bermain game online. Persis seperti tuan muda yang manja. Dan memang seperti itulah ia.

"Kenapa kamu ajak aku keluar siang-siang gini, Dit?"

Suara lembut seorang wanita berhasil membuyarkan konsentrasi Radit.

Benda pipih itu ia matikan begitu saja. Tidak peduli teman satu timnya kini mengumpat karena lelaki tersebut mendadak keluar dari permainan.

"Hai, kamu nggak mau pesen apa dulu gitu, Lau?" Tanya Radit dengan senyuman mengembang. Manis dan tampan beradu menjadi satu.

Laura, kekasih Radit yang telah menjalin hubungan lebih dari enam tahun dengannya, duduk di hadapan lelaki itu.

Wajahnya cantik. Bahkan menurut Radit sangat cantik. Tentu saja, kita akan terlihat sempurna di mata seseorang yang tepat.

"Nggak usah, aku lagi ada program diet. Jadi, apa yang mau kamu omongin?" Laura ganti bertanya.

Perlahan, Radit meraih tangan Sang kekasih. Dengan wajah yang lebih serius dari sebelumnya, ia berkata, "Ayo menikah!"

Laura tidak terkejut. Ini adalah kali ketiga Radit melamarnya. Dan jawaban Laura masih sama seperti dua bulan yang lalu.

"Dit, aku rasa hubungan kita masih terlalu dini untuk ke jenjang yang lebih serius. Kamu tau sendiri, kan, aku harus kerja biar bisa lanjut kuliah," jelasnya.

Lagi-lagi Radit mendecak, itu adalah kebiasaannya ketika merasa kesal. "Umurku sudah 31 tahun, dan umurmu juga akan genap 29 tahun, bukankah kita sudah terlalu tua untuk menikah?"

Umur hanyalah sebuah angka yang tak terlihat. Orang asing tidak akan menyangka Radit telah berkepala tiga jika melihat wajah tampan serta sifat kekanakannya.

"Dit, aku–"

"Kakek akan melangsungkan pernikahanku dengan Melani besok pagi. Lau, ini bukan lagi keinginan sesaat. Kabur bersama atau kita akan berpisah selamanya," potong Radit tegas.

Laura mematung mendengar penjelasan Radit. Ia mencintai kekasihnya, tentu saja. Namun untuk menikah, Laura masih harus memikirkannya matang-matang.

Bisa saja ia meminta Radit agar membiayainya kuliah. Namun Laura enggan. Ia ingin berusaha dan sukses menggunakan uangnya sendiri. Laura adalah tipe wanita pekerja keras.

Belum sempat ia membalas ucapan Radit, ponsel di dalam tas kecilnya mengeluarkan bunyi. Menampilkan deretan pesan masuk dari rekan kerjanya.

"Maaf, Dit, aku harus ketemu sama klien yang mau sewa apartemen. Nanti malam aku hubungi kamu, ya!"

Laura berdiri, mengecup singkat pipi sebelah kanan Radit, kemudian keluar dan berlari menyusuri trotoar.

Ia harus mengejar waktu untuk bertemu klien atau mereka akan kecewa karena Laura terlambat.

Satu gebrakan keras pada meja, sukses membuat Radit menjadi pusat perhatian pelanggan siang ini.

Beberapa di antara mereka berpikir bahwa ia telah dicampakkan oleh wanita yang baru saja keluar dari restoran.

"Coba tebak, apa alasan lelaki itu dicampakkan?" tanya seorang wanita di meja nomor tiga. Wajahnya sengaja ia tutup menggunakan buku menu ketika Radit berjalan ke arah pintu.

"Kedengarannya karena perjodohan. Kasihan banget ya, padahal sekarang udah bukan zamannya Siti Nurbaya," jelas lawan bicara yang sejak tadi berusaha menguping.

Wanita itu tersenyum, "Tapi di dunia bisnis, perjodohan antara anak rekan kerja itu sangat penting untuk menjalin hubungan, sekaligus memajukan perusahaan satu sama lain."

"Penjualan anak berkedok perjodohan."

Ekspresi si gadis sedikit sukar ketika temannya berkata demikian. "Nggak juga," sanggahnya.

Setelah mencium aroma robusta di cangkir kopi, ia kembali berkata, "Mereka yang dijodohin juga punya tujuan masing-masing. Simbiosis mutualisme, namanya."

***

Tak terasa malam hari telah tiba. Di sebuah kamar dengan ukuran yang sangat luas, tidak terhitung berapa kali Radit telah berguling di atas kasur king size miliknya.

"Laura kemana, sih?" monolog pria itu, menyinggung nama wanita yang siang tadi berjanji untuk menghubunginya.

Sejak awal berpacaran, Radit memang tidak diizinkan untuk menelepon terlebih dahulu ketika berada di hari kerja.

Pasalnya, Laura selalu sibuk hingga larut malam.

Lelaki itu bisa saja mengganggu pekerjaannya dengan obrolan tidak berguna, atau keluhan rindu ingin bertemu.

Sepersekian detik kemudian, nama seseorang yang sejak tadi Radit pikirkan akhirnya terpampang jelas di atas layar ponsel.

**Laura: Dit, aku tunggu di taman biasa kita ketemu, ya. Sekarang."**

Pesan singkat tersebut sontak membuat Radit mengambil kunci mobil di atas nakas. Turun dari ranjang dengan tergesa, lalu keluar dari dalam kamar.

Suasana di rumah ini masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Sangat lengang, hingga terkesan egois jika hanya dihuni oleh tiga majikan serta dua pembantu rumah tangga.

Tepat ketika Radit berbalik seusai menutup pintu kamar, Nita terlihat berjalan ke arahnya. Menenteng tuxedo putih, lengkap dengan dasi kupu-kupu berwarna hitam.

"Loh, mau kemana, Dit? Ayo, coba tuxedo kamu dulu," pinta Nita.

Radit menggeleng tak mau. "Kalau pesan di designer yang biasa, ukurannya pasti pas, kok. Radit mau keluar dulu, Ma."

Karena tingginya yang sangat berbeda jauh dengan Sang putra, Nita mencegah kepergian Radit dengan cara memeluk pinggangnya.

"Memang kamu mau kemana, sih? Pamali loh keluar di malam sebelum pernikahan," omel Nita sengaja menakut-nakuti.

Namun sayang, Radit tidak pernah menjadi penakut jika itu berhubungan dengan orang-orang terkasihnya.

Lelaki berbalut kaos hitam itu perlahan melepas pelukan Nita.

Sembari memberikan senyuman maut, ia berkata, "Radit ada urusan sebentar, Ma. Sebentar aja, kok. Janji nggak mabuk sama balapan."

Bukan hanya wanita di luaran sana yang mampu luluh dengan senyuman Radit. Mamanya pun akan sulit berkata tidak jika Radit mulai menunjukkan aksi magisnya seperti saat ini.

"Bener, ya? Usahakan pulang sebelum jam 12. Jangan buat Kakek marah, Mama ikut sedih kalau kamu dimarahi sama Kakek terus."

Bagaimana orang bisa percaya bahwa Radit telah berkepala tiga, jika Sang Mama saja masih memperlakukannya seperti anak berumur 18 tahun.

"Iya, tenang aja. Radit nggak pulang larut malam, kok. Sekarang, mending Mama istirahat dan siapin tenaga buat besok." Jawabnya seraya mengecup pipi Nita.

Benar. Radit memang berjanji untuk tidak pulang malam.

Namun, bisa saja ia pulang pada pagi hari. Atau bahkan jika Laura setuju dengan rencana ini, maka Radit akan pergi dari rumah selamanya.

Ah, tidak. Radit tidak bisa hidup tanpa uang di dalam dompet. Ia tidak pernah bekerja dari bawah.

Sepertinya, pilihan yang paling tepat adalah memiliki dua istri, batinnya tertawa kecil.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku