Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Sidang pertama pengadilan agama sudah selesai. Aku menghela nafas berat. Sesak dan lega, bercampur menjadi satu di dalam dada. Rasanya aku bingung apa yang sebenarnya harus kusyukuri dari perpisahan ini. Di satu sisi ini jalan yang memang diperlukan. Sudah pasti. Sebuah keharusan. Di sisi lain, hatiku berat dan enggan. Apa lagi yang menghalangi? Kedua putraku? Nafkah mereka?
Bahkan putra sulungku sangat membencinya, membenci ayah mereka. Bukan karena aku mengompori mereka untuk tak menghormati ayahnya. Mereka sendiri yang memutuskannya. Ya. Mereka sudah cukup dewasa untuk paham soal kasih sayang. Sosok ayah yang seperti apa yang bisa membuat mereka nyaman?
Mas Rafli, nama suamiku? Ah. Mantan suami maksudku. Apa yang salah sebenarnya? Ekonomi? Idaman lain? Rasanya tak ada yang benar-benar menjadi alasan untuk ku meminta cerai darinya. Namun tak ada lagi harapan untuk kita melanjutkan lagi pernikahan ini. Ke mana pun kita membawa haluan bahtera suci kita ini, tak akan ada bedanya. Kapal kita, sudah karam.
Boleh aku jujur saja? Aku hanya butuh perhatiannya. Kasih sayangnya lagi. Komunikasinya, dan waktu untuk anak-anak. Sungguh, berat sekali jika aku terus melakukan semua peran ini sendirian. Dan terlebih adalah ‘Cinta’ apakah sebenarnya aku masih mencintainya? Atau mungkin hanya perasaan masih ingin menerima cinta darinya?
Jika saja tidak ada dia, mungkin aku akan terus berada di balik bayang-bayangnya. Mas Rafli yang ramah, tutur katanya yang lembut, nada bicaranya yang mendayu. Itu semua yang kusuka darimu. Dan jika boleh sekarang pun masih sangat menginginkan itu darimu.
Namun dia datang. Datang lagi padaku. Menyadarkanku betapa ini semua hanya sia-sia. Jika hanya aku yang berjuang. Hanya aku yang mendayung, aku yang memutar haluan, aku juga yang mengatur awak kapal. Ya. Aku tak bisa. Aku hanya wanita lemah.
Aku sangat lemah. Terutama padamu. Jaden Kahfi, seorang pria yang usianya tak jauh dariku. Pria yang belasan tahun lalu sangat kucintai, sebelum bertemu dengan mas Rafli. Mantan pertama dan terakhirku, sebelum aku memutuskan menerima pinangan dari mas Rafli.
Setahun yang lalu ....
“Juliana, izinkan aku membawamu pergi darinya,” bisiknya saat pertama kali kami bertemu lagi setelah belasan tahun terakhir.
Aku membisu, mengusap bulir air mata yang baru saja jatuh ke pipiku.
“Jika aku tahu bahwa kau tak bahagia dengannya, sudah kubawa kau dari dulu,” tambahnya.
Aku tahu itu hanya bualan semata. Ia sendiri memiliki istri, sungguh brengsek ia mengatakan hal itu padaku. Lantas aku bangkit dan hendak pergi meninggalkannya. Tak diduga, ia menahan lenganku.
“Jika bukan karenanya, kenapa kamu menangis sendirian di sini?” tanyanya penasaran.
“Jangan ikut campur,” kataku ketus. Namun ia malah terkekeh.
“Kamu tidak berubah, masih sama seperti dulu. Cantik, dan jutek,” rayunya.
Aku mendengus. “Dasar buaya darat, sudah punya istri, beraninya menggoda istri orang lain,” dengusku.
“Dalam ikatan, aku memang milik orang lain. Tapi hatiku, masih untukmu, selalu, selamanya," ucapnya pasti.
‘Omong kosong,’ batinku. Aku sendiri bisa jatuh cinta pada mas Rafli walaupun menikah karena perjodohan. Lalu apa dia bilang? Masih untukku? Hatinya? Memuakkan.
Gegas aku beranjak pergi setelah menepis lengannya. Tanpa diduga ia malah datang ke rumahku, mengajak kedua putraku bermain game, dan menjajani mereka. Sontak membuatku panik takut tiba-tiba mas Rafli datang dan menanyaiku siapa dia. Namun tidak. Bodohnya aku, mas Rafli hanya pulang sebulan sekali. Itu pun jika membawa uang. Jika tidak ia tak akan pulang.
Serendah itu ia berpikir tentangku. Padahal aku hanya butuh dirinya, bukan uangnya. Beberapa kali kukatakan bahwa jika bersama kita pasti bisa mencari jalan keluar. Namun apa? Ia hanya sibuk mencari uang, dan terus menyuapku dengan uang yang bahkan tak sampai sebulan sekali ia kirim. Seolah aku hanya akan menerimanya jika ada uang.
Hingga enam bulan terakhir baru kutahu, dari mana ia mendapatkan uang. Ya. Berjudi. Pantas semua aset dan kendaraan kami ludes tak bersisa. Ia sudah kecanduan berjudi.
Luluh lantah hatiku, mengingat ia pun menggadaikan rumah yang masih kutinggali bersama anak-anakku. Bahkan ia diam-diam mengakali tanda tangan ibuku untuk meminjam uang pada rentenir. Badai menerpa hatiku sekaligus. Sejauh itu aku tak mengenalnya. Ternyata tanpa komunikasi, kami bukan siapa-siapa.
Di situlah Jaden mengambil alih hatiku lagi. Perlahan tapi pasti, godaannya tak mampu kutolak. Biaya sekolah, cicilan rumah, nafkah sehari-hari, ia dengan terang-terangan merampas semua kewajiban mas Rafli.
“Bagaimana jika istrimu tahu kau menyia-nyiakan uangmu untuk wanita lain? Bahkan wanita bersuami?” tanyaku suatu ketika, saat mengajak anak-anak bermain ke taman bermain.
Lagi. Dia hanya terkekeh. “Istri?” cebiknya. Kuabaikan lagi, tak berniat mendalami kehidupannya lebih jauh.
Hampir setahun berlalu, ia terus menjadi pahlawan dibalik layarku. Hutang mas Rafli yang hampir terhitung belasan juta, pun lunas dibayarkan oleh Jaden. Tentu tanpa sepengetahuan siapa pun termasuk kedua orang tuaku yang teramat menyayangi mas Rafli seperti pada anaknya sendiri.
“Jangan lakukan hal yang sia-sia kumohon, bahkan diriku pun tak akan cukup untuk membayar hutang padamu,” ucapku.
“Tidak. Bahkan menyentuhmu saja semua uang dariku tak akan seimbang,” tuturnya.
‘Cih. Dia sendiri mengabaikan istrinya,’ cebikku dalam batin. Baiklah. Jika dia mau begitu, toh bukan aku yang pinta. Kan? Pikirku.
Hingga suatu hari Jaden memintaku datang. Katanya ingin menitipkan uang untuk sulungku yang hendak Ujian sekolah. Ujian? Aku tersentak kaget. Seburuk itukah aku menjadi seorang ibu, bahkan aku tak tahu anakku sendiri mau Ujian.
Ah, tidak! Bukan itu poin pentingnya. Sejak kapan Raffa sulungku, bertukar pesan dengan pria ini? Tapi baiklah. Toh mas Rafli tak akan sanggup membayarkan uang Ujian Raffa, pikirku lagi. Ia hanya sibuk mengumpulkan uang untuk taruhan berjudi.
“Sekarang mas belum pegang de. Nanti bulan depan mas kasih. Kali ini mas yakin akan menang. Tunggu saja ya! Mas akan kembalikan semua aset dan kendaraan kita, lalu beli rumah baru,” serunya terakhir kali saat kupinta uang untuk bayar listrik.