Usia pernikahanku dengan mas Gibran sudah memasuki usia dua tahun. Namun, aku belum juga dikaruniai seorang anak dan itu membuat mamah mertua yang memang dari awal tidak menyukaiku makin membenci karena tidak bisa memberinya seorang cucu. Berbagai cara sudah mamah mertua lakukan agar aku bercerai dengan suamiku atau paling tidak suamiku mau menikah lagi dengan pilihannya sendiri, tapi jelas saja aku tidak ingin itu terjadi, jadi dengan caraku sendiri semua rencana mamah mertuaku itu gagal. Namun, pada suatu pagi aku tidak sengaja mendengar samar suara tangisan bayi, karena penasaran aku mengikuti sumber suara itu. Selagi langkahku mendekati suara tangisan bayi itu, aku mengingat-ngingat tidak ada rumah tetangga yang mempunyai seorang bayi. Lalu suara tangisan bayi siapa itu? Saat membuka pintu, betapa terkejutnya aku karena menemukan seorang bayi dalam kardus lengkap dengan tali pusarnya yang masih menggantung. Bayi siapa ini? ***
Ku intip pembicaraan suamiku dengan mamah dan papa mertua di ruang tamu. Ternyata mereka tengah membicarakan aku yang tak kunjung hamil juga. Terlihat mas Gibran menatap mamah tak suka dan mamah yang balik memandang mas Gibran nyalang, sedangkan papa hanya diam tidak nampak memihak sang istri ataupun sang anak.
"Udahlah Gib, kalau istrimu tidak bisa memberi kami cucu, ceraikan saja dia! Toh, di luaran sana masih banyak wanita subur yang bisa memberi kamu anak. Si Lastri itu mandul, kalau tidak mana mingkin dua tahun pernikahan kalian tidak dikaruniai anak juga. Kamu itu tampan dan mapan, pasti banyak wanita yang antri ingin dipersunting olehmu."
Terlihat mamah menunjuk-nunjuk mas Gibran kesal.
"Mah, jangan kenceng-kenceng bicaranya! Nanti Lastri dengar, aku gak mau sampai dia sakit hati karena mendengar ucapan mamah. Mau bagaimana pun keadaan Lastri, Gibran tetap cinta sama dia. Mau Lastri ngasih anak ataupun tidak, Gibran tidak akan menceraikan dia."
Mamah menghempaskan tubuh dengan kasar ke atas sopa di samping ayah, lalu mendongak menatap Gibran malas. "Secinta apa sih kamu sama dia sampai rela tidak punya keturunan?"
Mas Gibran menggeleng tak habis pikir dengan pertanyaan mamah, dia ikut mendudukan tubuh di atas sopa singgel. "Lastri itu istri aku, mah. Cinta dan kasih sayang aku seutuhnya untuk dia. Kalau mamah mempertanyakan seberapa besar rasa cintaku untuk Lastri, maka jawabannya adalah setulus ikatan suci dari pertama aku menjabat tangan ayah Diman dua tahun lalu."
Aku menitikan air mata begitu mendengar jawaban mas Gibran tentang pertanyaan mamah. Aku tahu mas Gibran sangat mencintaiku, terlepas dari aku bisa memberi dia anak atau tidak. Mas Gibran memang suami yang baik, karena itu aku masih bertahan selama ini menjadi istrinya walau tekanan mamah mertua tidak main-main sakitnya.
Kini mamah memandang papa protes. Mungkin mamah kesal karena papa tak membelanya, malah terkesan netral antara anak dan istri.
"Papa, jangan diam saja dong! Punya anak satu-satunya nasihatin, napa. Malah diam saja dari tadi. Emangnya papa mau terus diledekin sama teman-teman arisan mamah karena punya mantu tak kunjung ngasih kita cucu?"
"Lah, papa biasa aja tuh." Papa menjawab santai.
Mamah mendelik kesal, "papa sama nak sama saja. Ayo, kita pulang! Kepala mamah makin pusing kalau lama-lama di sini. Cepat!"
Mamah berdiri diikuti papa dan mas Gibran, "Mamah pulang dulu. Ingat, pikirkan baik-baik saran Mamah!" Setelah mengatakan itu, mamah melenggang pergi.
"Sudah, jangan dipikirin apa kata mamahmu! Darah tingginya lagi kumat, makanya marah-marah terus. Papa pulang dulu, sampaikan salam dari Papa untuk istrimu. Assalamaualaikum."
"Waalaikum salam." Mas Gibran menjawab.
Kusandarkan punggung pada tembok. Saat menyusut air mata, aku terlonjak kaget karena mas Gibran sudah berdiri di sampingku. Kapan dia menghampiriku? Kenapa langkah kakinya tidak terdengar?
Tanpa kata, mas Gibran membawa tubuhku ke dalam dekapan hangatnya. Mas Gibran mengelus pelan punggungku, "maafkan perkataan mamah. Mas harap kamu tidak memasukan ucapan mamah barusan ke dalam hati. Mas mungkin terkesan egois, tapi Mas benar-benar tidak mau kamu pergi. Stay with me, tetap di samping Mas Lastri apapun yang terjadi."
Mendengar ucapan mas Gibran yang terdengar begitu tulus, aku tak kuasa menahan air mata. Aku terisak dalam dekapan mas Gibran sambil mengeratkan lingkaran tanganku pada pinggangnya.
Setelah tangusanku agak reda, mas Gibran mengurai pelukannya. Dia mengusap jejak air mata di pipiku, "udah nangisnya?"
Aku mengangguk malu.
"Tadi dapat salam dari papa."
"Waalaikum salam." Aku menjawab serak titipan salam dari papa.
"Nangis gini aja masih cantik, apalagi kalau senyum." Mas Gibran tersenyum guyon ke arahku.
Karena malu kedua sudut bibirku mau tidak mau ikut melengkung tersenyum.
"Ayo, kita tidur! Ini uidah malam."
Aku mengangguk mengiyakan, lalu kami masuk ke dalam kamar guna mengistirahatkan badan dan pikiran yang lelah seharian ini.
Adzan subub berkumandang, aku bangun terlebih dahulu. Setelah mengambil air wudu, barulah kubangunkan mas Gibran untuk shalat berjamah.
Setelah shalat mas Gibran tidur lagi karena ini hari minggu, berbeda denganku yang memilih mengerjakan pekerjaan rumah. Namun, saat aku sedang memnereskan cucian piringku, aku samar-samar seperti mendengar suara tangisan bayi.
Mungkin itu suara tangisan bayi tetangga, pikirku. Namun, saat aku mengingat-ngingat kembali, semua tetangga yang rumahnya berdekatan dengan rumahku tidak ada yang mempunyai bayi. Lalu, tangisan bayi siapa itu? Kenapa suaranya terdengar dekat?
Bergegas ku dekati sumber suara tangisan itu. Lambat laun langkahku mendekati pintu depan. Saat kubuka pintu, betapa terkejutnya saat melihat sesosok bayi dalam kardus terletak di depan pintu rumahku.
"Astagfirullah, bayi siapa ini?" Ucapku sembari berjongkok. Saat ku lihat, aku lebih terkejut lagi karena bayi ini sepertinya baru lahir banget. Terdapat tali pusar serta di tubuhnya madih ada darahnya.
Segera ku bawa bayi itu masuk ke dalam rumah beserta kardus-kardusnya karena aku tak tahu cara memangku bayi yang benar. Ku panggil-panggil mas Gibran, "mas, mas Gibran."
Tak lama mas Gibran datang sambil mengucek matanya dan menguap, "ada apa, sayang? Kok teriak kayak orang panik gitu?"
"Mas," panggilku gelisah.
Mas Gibran lalu menurunkan tangan dari kucekan matanya, lalu menatap ke arahku. Matanya membola sama terkejutnya denganku saat pertama kali menemukan bayi ini. "Ya Allah, sayang. Bayi siapa ini?" Dengan cepat mas Gibran menghampiriku yang tengah duduk di sopa dengan bayi dalam kardus di atas meja.
"Aku gak tahu."
Mas Gibran memandangku sama gelisahnya, "kamu menemukannya di mana?"
"Di depan pintu rumah kita, Mas." Jawabku apa adanya.
"Astagfirullah, tega-teganya ada yang membuang bayi begini." Mas Gibran menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Sayang, cepat ambil selimut atau kain apa saja untuk menyelimuti bayi ini!"
Aku mengangguk, lalu bergegas mencari kain atau selimut yang ku punya. Aku bersyukur saat menemukan selembar kain yang akan kubuat baju. Kuambil kain itu dan membawanya untuk kuberikan pada mas Gibran.
"Ini, Mas." Aku mengasongkan kain itu pada mas Gibran.
Dengan telaten mas Gibran membungkus bayi merah yang terlihat kedinginan itu, lalu membawanya ke dalam gendongan.
"Mas, kita harus apa sekarang? Apa melaporkannya pada pak Rt saja?" tanyaku pada mas Gibran yang sedang mengeyong-ngeyong bayi.
Mas Gibran menatap bayi itu lama. Entah apa yang dia pikirkan sehingga begitu larut dalam lamunannya sendiri. Aku menepuk pundaknya gina menyadarkan mas Gibran, "Mas," panggilku.
Perlahan mas Gibran mendongak ke arahku. Kedua sudut bibirnya melengkung menciptakan senyuman teramat manis, "mungkin ini cara Allah SWT. menitipkan amanahnya pada kita. Bagaimana kalah kita rawat saja bayi ini? Tak apa bila bayi ini bukan anak kita, Mas yakin kita bisa menjadi ibu serta ayah yang baik untuk dia."
***
Bab 1 Tangisan bayi di depan pintu rumahku
23/03/2022
Bab 2 Devina yang mendadak kurus
23/03/2022
Bab 3 Memberikan hadiah bagi para CCTV tetangga
23/03/2022
Bab 4 Bayi
23/03/2022
Bab 5 Calon pelakor
23/03/2022
Bab 6 Rencana untuk memergoki ibu kandung baby Aydan
23/03/2022
Bab 7 Ayah kandung baby Aydan
23/03/2022
Bab 8 Calon suami Fika
23/03/2022
Bab 9 Kejutan untuk mamah mertua
23/03/2022
Bab 10 Niat meminta pertandung jawaban
23/03/2022
Bab 11 Pertengkaran antara Bu Yulis dan Devina
23/03/2022
Bab 12 Melabrak Aryo
23/03/2022
Bab 13 Pernikahan
23/03/2022
Bab 14 Cemburunya mas Gibran bikin dongkol
23/03/2022
Bab 15 Mas Gibran yang mencurigakan
23/03/2022
Bab 16 Perasaan tidak nyaman
23/03/2022
Bab 17 Perempuan yang mengaku hamil anak Mas Gibran
23/03/2022
Bab 18 Antara tega dan tak tega
23/03/2022
Bab 19 Tidak perlu obat, hanya butuh pelukan
23/03/2022
Bab 20 Rencana Lastri
23/03/2022
Bab 21 Hilangnya rekaman CCTV
24/03/2022
Bab 22 Saatnya beraksi
26/03/2022
Bab 23 Melawan balik wanita ular
27/03/2022
Bab 24 Pengakuan Novi
01/04/2022
Bab 25 Kemarahan mas Gibran
06/04/2022
Bab 26 Laki-laki dari masa lalu
08/04/2022
Bab 27 Janji di masa lalu
17/04/2022
Bab 28 Melupakan
19/04/2022
Bab 29 Kisah cinta
19/04/2022
Bab 30 Positif hamil
24/04/2022
Bab 31 Ketegasan Gibran pada mamah
28/05/2022
Bab 32 Akhir kisah
28/09/2022
Buku lain oleh Irna Flo
Selebihnya