Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Kamu Akan Miskin, Mas!

Kamu Akan Miskin, Mas!

Rahma La

5.0
Komentar
1.1K
Penayangan
10
Bab

Perubahan di hidupku setelah melahirkan. Dingin pada suami sendiri. Namun, luka di hatiku tidak bisa mengering secepat itu. Semuanya akan aku balas padamu, Mas! ***

Bab 1 Perubahan Besar

BAB 1

"Aduh, perutku sakit banget, Mas. Kayaknya mau melahirkan."

"Halah, tahan dulu sakitnya. Besok aja kalau mau melahirkan. Hari ini aku sibuk," katanya sambil mengibaskan tangan.

"Tapi, Mas-" Aku kembali meringis, terduduk di lantai. Dia masih saja tidak peduli, dia kira aku ini sedang bersandiwara.

"Kamu itu susah banget dibilangin. Tunda aja acara melahirkan itu."

Aku memegangi perut buncit, menatap miris ke Mas Reno yang pergi dari rumah. Dengan tertatih, aku keluar rumah. Mobil suamiku sudah tidak ada lagi di parkiran.

"Tolong!" teriakku lirih. Menatap sekitar, kembali berteriak.

Beberapa menit aku melakukan itu, tidak ada yang datang. Mas Reno memang benar-benar. Dia tidak mau tahu urusanku. Aku mengusap dahi yang berkeringat. Sepi, tidak ada siapa pun. Tidak mungkin aku berharap lebih, ini sepi sekali.

Dengan susah payah, aku mengambil dompet dan ponsel di dalam. Kemudian mengunci pintu rumah. Payah sekali keadaanku sekarang, tidak tau mau melakukan apa. Bahkan napasku tidak stabil sekali.

Baru berjalan beberapa langkah di jalan besar, aku berpapasan dengan tetangga depan rumah. Tetanggaku tampak kaget, langsung menghampiri dengan wajah panik.

"Loh, Bu Nina kenapa jalan sendirian? Aduh, mukanya kok pucat gitu?" Tetanggaku langsung membantu memegang aku yang berdiri saja sulit. Sakit sekali rasanya.

Alhamdulillah. Ada tetangga yang lewat. Aku memegangi tangannya. Napasku sejak tadi tidak beraturan, keringat terus mengalir dari kening.

"Tolong saya, Bu. Saya mau melahirkan." Aku berkata patah-patah, meminta bantuan padanya.

"Ya ampun, sebentar saya keluarin mobil dulu, Bu."

Kami menuju ke rumah sakit. Tetanggaku memang baik sekali, kebetulan saja dia belum pulang tadi. Untung tidak terlambat. Kalay terlambat, entah apa jadinya bayi yang sedang aku kandung ini. Aku mengusap wajah, menatap keluar kaca mobil.

"Kamu memang tidak punya perasaan, Mas."

***

"Selamat, Bu. Anaknya laki-laki. Tampan."

Aku menggendong bayi laki-laki yang diberikan dokter itu. Tampak tenang, membuatku tersenyum. Dia begitu tampan.

"Saya perlu hubungi Pak Reno, Bu?" tanya tetanggaku tadi. Dia tampak khawatir sekali dengan keadaanku.

"Tidak perlu. Terima kasih udah nganterin ke rumah sakit, sekaligus nemenin, Bu. Sekali lagi terima kasih." Aku benar-benar bersyukur bisa bertemu dengannya. Kalau tidak, tidak tau bagaimana nasib anakku sekarang.

"Saya malah senang, Bu. Ibu bantu saya banyak. Masa saya gak pernah bantu Ibu. Saya permisi dulu, Bu. Masih ada kerjaan di rumah."

"Iya. Jangan kasih tau suami saya kalau saya sudah melahirkan, ya, Bu."

Meskipun tetanggaku tampak kebingungan, tapi dia tetap mengangguk, tersenyum padaku. Kemudian keluar dari ruang rawatku.

"Selamat datang di dunia, Nak." Aku mengecup keningnya. Dia masih terlihat tenang.

"Sayangnya, Papa kamu tidak peduli," lanjutku. Mas Reno benar-benar tidak punya hati.

Aku mengusap pipi bayi yang masih merah itu. Papa yang tadi mengazani bayiku. Sekarang, sedang di kantin, bersama Mama. Aku memang sempat menghubungi kedua orangtuaku untuk bisa menemani lahiran sekaligus membantuku merawat bayi ini.

Ah, anak pertama kami. Ternyata, Mas Reno sama sekali tidak peduli. Bahkan saat aku hamil, mana pernah dia menanyakan aku mau makan apa, lebih ke bodo amat.

Ponselku berdering. Dia baru saja menelepon. Untuk apa dia menelepon? Aku mendengkus pelan, enggan mengangkat telepon tapi akhirnya menggeser tombol berwarna hijau di layar.

"Kamu di mana? Kok gak ada di rumah? Terus berantakan kayak gitu. Kamu itu gak beres jadi istri. Kerjaan cuma di rumah doang." Baru juga diangkat teleponnya, dia sudah marah-marah saja.

Salah satu sudut bibirku terangkat. Memangnya aku peduli?

Apakah aku peduli? Aku tidak akan peduli sama seperti kamu tidak mempedulikanku tadi, Mas!

"Terserah." Aku menjawab singkat.

"Loh, kok jawabannya terserah? Halo, Nina?"

Tanpa mengatakan apa pun lagi, aku mematikan telepon, meletakkan ponsel kembali ke atas meja, menyalakan mode hening. Kemudian mengembuskan napas pelan.

Dari dulu sampai sekarang, Mas Reno memang begitu, tapi aku tidak menyangka dia tidak peduli dengan kehamilanku. Padahal ini adalah anak pertama kami.

Denting pelan terdengar dari ponselku. Ada pesan masuk dari sahabat lama. Dia kutugaskan untuk mencari tau sesuatu tadi.

Mataku mengerjap pelan. Foto Mas Reno, mertua, juga iparku yang sedang jalan-jalan ke rekreasi mahal. Juga restoran mewah.

"Oh, jadi ini yang kamu bilang sibuk?" bisikku sambil tertawa pelan.

Sibuk menghabiskan uang? Wow.

Parahnya lagi, itu semua uangku. Selama kami menikah, mana pernah Mas Reno memberikan nafkah. Kehidupan kami bergantung ke usahaku.

Sayangnya, semua tabungan sudah aku belikan aset dan semuanya atau nama Mas Reno. Entah kenapa aku bisa melakukan hal itu.

Itu hal yang paling tidak masuk akal yang pernah aku lakukan.

"Ini bukan sekali atau dua kali."

Aku mengepalkan tangan. Pandanganku tertuju ke bayi yang masih terlihat tenang di gendonganku.

"Papamu sudah merasa kaya, Nak," kataku dengan senyum miris.

Kejadian tadi, membuatku berpikir ulang tentang cinta Mas Reno padaku. Sudah berapa lama aku terjebak dalam kebodohan ini?

"Aku akan membuatmu miskin kembali, Mas."

***

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku