Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Wanita Pilihan Tuan Hugo

Wanita Pilihan Tuan Hugo

mayangnoura

5.0
Komentar
144
Penayangan
2
Bab

Demi mendapatkan cinta sejatinya, Hugo yang seorang pria kaya raya dan pemilik sebuah perusahaan, menyamar menjadi pedagang sayur keliling. Cinta sejatinya itu bernama Citra. Citra adalah gadis miskin yang hanya tamatan SMP dan diperlakukan bak pembantu di rumahnya sendiri oleh ibu dan saudara tirinya. Selama mendekati Citra, Hugo menyembunyikan identitas aslinya dan Citra tidak mengetahui siapa sebenarnya Hugo. Akankah Citra menerima cinta Hugo yang dikenal sebagai tukang sayur keliling?

Bab 1 PENYAMARAN HUGO

Sebuah mobil mewah berhenti di halaman sebuah rumah mungil. Di halaman itu, sudah berdiri dua orang pria berpakaian serba hitam dan sebuah gerobak sayur yang penuh dengan barang dagangan. Dari dalam mobil itu, keluar dua orang pria tampan. Yang satu adalah pemilik mobil, satunya lagi adalah assisten pribadi sang pemilik mobil. Begitu kedua orang itu sampai di depan gerobak sayur, dua orang pria berpakaian serba hitam itu membungkuk hormat.

"Bagaimana? Sudah siap?" Tanya Hugo, pria pemilik mobil mewah itu kepada dua orang pria berpakaian serba hitam.

Dua pria berpakaian serba hitam itu mengangguk."Sudah tuan. Gerobak dan isinya sudah siap."

"Bagus," balas Hugo sembari membuka jaketnya sehingga menyisakan kaos butut dan usang yang melekat di tubuh. Dia juga membuka celana panjangnya dan membiarkan kakinya yang berbulu dibalut oleh celana pendek berwarna pudar. Ryan sang assisten pribadi yang memegang jaket dan celana yang dibuka oleh Hugo.

"Mana?" Hugo mengulurkan tangannya kepada salah satu dari pria berpakaian serba hitam. Pria yang ditanya langsung mengulurkan krim berwarna kecoklatan yang berada di dalam sebuah cup berbentuk mangkok. Hugo mencolek krim kecoklatan itu dan membalurkannya ke wajah dan tubuhnya yang tidak tertutupi baju dan celana. Seketika kulitnya yang putih bersih menjadi sawo matang. Hugo sekarang jadi tampak seperti seorang pria miskin pedagang sayur keliling, bukan Hugo pemilik beberapa perusahaan.

Ternyata penyamaran Hugo sebagai tukang sayur keliling belum sempurna. Pria berpakaian serba hitam yang tidak memegang mangkok krim memasangkan sebuah topi yang agak sobek di salah satu sisinya ke kepala Hugo. Kini Hugo siap untuk berjualan keliling seperti biasa. Hugo rela melakukan penyamaran ini demi mendapatkan cinta sejatinya.

***

Pagi ini udara hangat. Burung-burung kecil bercericit di dahan-dahan pohon yang ada di halaman sebuah rumah sederhana. Dari dalam rumah itu terdengar teriakan seorang wanita kepada pembantunya. Ops, bukan. Teriakan itu ditujukan untuk saudara tirinya.

"Citraaaaa! Lama sekali sih telur dadarnya?! Aku itu sudah mau berangkat kerja! Bisa cepatan sedikit tidak?!"

"Iya, sebentar, Dan. Ini aku sedang mengangkatnya dari penggorengan," balas Citra lembut. Setelah telur dadar Dania diletakannya ke atas sebuah piring kecil, Citra segera membawanya ke meja makan. Di hadapan Dania dia menaruh telur dadar itu. "Ini telur dadar kamu," ucapnya.

"Terus tehnya mana?"

"Aku sedang repot memasak bubur ayah. Bagaimana kalau teh-nya kamu buat sendiri?"

Mata Dania yang sudah cantik dengan polesan eye shadow kecoklatan dan eyeliner, melebar. "Maksud kamu aku yang sudah siap dengan busana kerja seperti ini harus mengotori tangan untuk segelas teh? Bagaimana kalau airnya tumpah mengenai pakaianku?"

"Kalau tidak mau membuatnya, tidak usah minum teh. Minum air putih saja. Aduh, nanti bubur ayah gosong lagi." Dania langsung berlari ke kompor dan mengaduk bubur di panci.

Mendapati itu Dania menggeram. Dia menoleh pada ibunya dengan wajah merengut. "Bu, lihat kelakuan dia! Dia tidak mau membuatkanku teh! Dia mulai ngelunjak sekarang!"

Ratna, ibunya Dania melirik pada Citra sang putri tiri. Wajahnya tampak sangat marah. Tapi melihat Citra benar-benar sibuk, dia pun berdiri dari duduknya. "Kalau begitu biar ibu saja yang buatkan teh untuk kamu. Nanti biar ibu yang memberinya pelajaran agar tidak ngelunjak lagi seperti tadi."

Citra mendengar ucapan Ratna barusan. Tapi dia tidak ambil pusing. Dia sudah terbiasa mendengar kata-kata yang buruk dari ibu dan saudara tirinya sehingga menganggap ucapan-ucapan itu sebagai angin lalu. Yang terpenting sekarang perut ayahnya yang menderita stroke terisi dulu. Citra pun memasukkan bubur nasi yang telah masak ke dalam sebuah mangkuk yang kemudian ditambah telur dadar dan sup. Selanjutnya dia mendekati ayahnya yang melihat semua kerepotannya dalam diam. Stroke selain membuat ayahnya sulit berjalan, juga membuat sang ayah sulit berbicara.

"Ayah, ayo sarapan dulu," bisik Citra di telinga Aswin, ayahnya.

Aswin memandang wajah Citra dan kemudian mengangguk tak berdaya. Ada penyesal di matanya yang jelas terlihat. Menyesal karena tidak bisa berbuat apa-apa meskipun putri kandungnya kerap diperlakukan seperti pembantu oleh istri dan anak tirinya.

Dengan telaten, Citra lalu menyuapi Aswin sesuap demi sesuap. Di wajahnya tidak terlihat ada beban ketika dia melakukan itu. Beberapa kali Citra meminta Aswin membuka mulutnya lebih lebar agar makanan lebih leluasa masuk dengan suara lembut. Dalam waktu yang tidak lama, bubur dalam mangkuk tersisa sedikit.

"Sayuuuuuur! Sayuuuuur! Sayur-sayuuuuuur!"

Citra terhenyak mendengar suara itu. Dia langsung menatap Aswin lekat. "Yah, aku beli sayur dulu ya. Ayah aku tinggal sebentar."

Aswin mengangguk tanda membolehkan.

Ketika Citra keluar rumah, beberapa ibu-ibu tetangga sudah mengerubuni abang tukang sayur. Abang tukang sayur satu ini memang idola ibu-ibu. Wajahnya yang tampan sebelas dua belas dengan pria-pria Turki. Hidungnya juga mancung dan rahangnya jambang halus.

"Bang, ada ikan nila?" tanya Citra kemudian.

"Ada, Neng Citra. Mau berapa? Satu kilo? Atau dua kilo?"

"Satu kilo saja, bang."

"Oke," Hugo memberikan plastik berisi satu kilo ikan nila kepada Citra sembari melirik wajah manis Citra yang tidak membosankan. Entahlah, dia suka dengan kesederhanaan Citra. Dia tidak menyadari, kalau seorang ibu-ibu yang sedang memilih-milih sayuran, memperhatikan apa yang dilakukannya.

"Duh itu lirikan bikin patah hati," ucap si ibu dengan nada bercanda.

Hugo terhenyak, menoleh, dan tersenyum malu pada si ibu. "Idih ibu jangan permalukan saya dong. Harusnya ibu diam saja jika mengetahuinya," balas Hugo juga dengan nada bercanda. Ini keluar dari karakter aslinya yang biasa berbicara serius dan seadaanya. Di perusahaan seluruh staf segan kepadanya. Tak ada yang berani menatap wajahnya.

Berbeda dengan di perusahaan, para ibu-ibu pembeli sayur justru bisa sepuasnya menatap wajah tampan Hugo. Oya, jika sedang menjadi pedagang sayur seperti ini, Hugo tidak memakai nama aslinya. Dia memperkenalkan dirinya sebagai Awan kepada para pelanggannya.

"Pakai malu segala. Sudah jadian saja. Kalian berdua cocok kok." Si ibu kembali menanggapi. "Cit, Nak Awan naksir kamu tuh sepertinya."

Wajah Citra langsung menyemu merah mendengar celetukan si ibu. "Apaan sih Ibu ini? Saya belum berpikir sampai ke sana. Lagian kalau hanya sekedar melihat bukan berarti tanda suka."

"Belum berpikir sampai sana?" Ibu itu malah bertanya. "Apa lagi yang ditunggu? Usia sudah cukup."

"Ayah butuh diurus. Belum tentu ada laki-laki yang menerima keadaan ayah yang seperti ini."

Si ibu langsung terdiam. Apa yang dikatakan Citra dirasa benar. Beberapa orang tidak mau tinggal bersama mertua sakit yang merepotkan. Apalagi jika masih menumpang di rumah mertua.

"Tapi saya mau kok menerima ayah kamu," tiba-tiba Hugo menyahut. Sahutan Hugo di luar dugaan siapa pun. Dan itu membuat ibu-ibu yang mengerumuni gerobak sayurnya langsung heboh.

"Cieeeeee.... Gercep atuh."

"Iya, kalian berdua itu cocok. Ganteng dan cantik."

"Daripada hidup susah, enakan kalau ada yang mau tanggung jawab, Cit."

Komentar-komentar itu membuat Citra tersenyum kaku. Untuk saat ini dia berkata jujur kalau belum siap untuk menikah. Menikah tidaklah semudah komentar-komentar mereka. Banyak hal yang harus dipikirkannya.

Tiiiiin!

Kehebohan itu langsung lenyap seketika begitu mendengar suara klakson mobil. Semua menoleh ke sumber suara. Sebuah mobil mengkilat hendak berbelok ke halaman rumah Citra. Itu adalah mobil Arpan, kekasihnya Dania yang seorang manager sebuah hotel di tempat Dania bekerja. Hugo langsung mendorong gerobak sayurnya agar tidak menghalangi jalan mobil Arpan.

"Dania beruntung sekali ya? Sudah cantik, punya pekerjaan bagus, kekasihnya atasan di tempatnya bekerja. Sayang sekali kamu tidak seberuntung saudaramu itu, Cit."

Seorang ibu menyeletuk. Celetukan itu cukup membuat wajah Citra langsung berubah muram. Jelas saja Dania lebih beruntung darinya karena adik tirinya itu mengenyam pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Sedangkan dia? Hanya tamatan SMP saja. Dulu karena keterbatasan biaya, ayah dan ibu tirinya harus memilih salah satu yang disekolahkan. Atas rayuan ibu tirinya pada ayahnya, jadilah Dania yang tetap bersekolah sementara dia putus sekolah.

Ini memang tidak adil. Tapi Citra berusaha untuk ikhlas menerima. Dia yakin semua terjadi atas kehendak Tuhan.

Hugo melihat perubahan di wajah Citra itu. Dia tahu Citra sedih mendapat komentar barusan. Hugo merasa iba.

"Bagaimana ibu bisa berkata seperti itu?" tanya Hugo kemudian. "Kita itu belum tau endingnya bukan?"

Semua ibu-ibu yang mengelilingi gerobak Hugo, menatapnya dengan wajah bertanya. Tak terkecuali Citra.

BERSAMBUNG...

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh mayangnoura

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku