Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Wanita Kedua Tuan Alex

Wanita Kedua Tuan Alex

Butet Napite

5.0
Komentar
6.2K
Penayangan
30
Bab

Dijadikan hanya mesin ATM sang Ibu, Bianca terpaksa bekerja sebagai biduan di kafe-kafe dan bar. Pertemuannya dengan Alex- sang bangsawan, dan pria beristri, jatuh hati padanya di pandangan pertama. Ia melewati malam yang panas dengan Alex, hingga mereka terlibat cinta segitiga. Apakah Bianca bisa merebut Alex dari istri pertamanya? Baca di Wanita Kedua Tuan Alex

Bab 1 Sang Ratu Biduan Kafe

"Lanjutkan musiknya dan terus bergoyang sampai pagi!" seru seorang pengunjung pria dari sudut ruangan.

"Bianca Sayang, teruslah menari! Tunjukkan pesona nakal mu!" ujar seorang pria lagi seraya menunjukkan lembaran-lembaran uang kertas di tangannya. "Semua ini akan menjadi milikmu, gadis nakal! Maka tetaplah meliuk-liuk di atas sana."

Bianca, sang biduan seolah tidak mengenal lelah. Tubuh indahnya meliuk-liuk semakin liar.

Saweran para Om-om memenuhi sela-sela gaun mininya. Ia tak lagi menghiraukan angin malam dingin menusuk kulit punggungnya yang terbuka lebar.

Pelayan kafe sangat sibuk bila giliran Bianca yang jadi biduan malam di panggung kafe. Dari malam hingga menjelang pagi, para pengunjung tidak akan pernah sepi

Deretan pria konglomerat juga akan singgah menyaksikan tubuh seksinya yang meliuk indah di atas panggung. Di tambah suaranya yang merdu dan memiliki karakter yang kuat.

"Yeah, aku akan bergoyang sampai pagi untukmu, Sayang," sahut nakal Bianca mengedipkan sebelah matanya menggoda pria tadi. Ia menggoyang tubuhnya hingga pagi.

Bouqet mawar yang di hadiahkan para pria hidung belang memenuhi pinggiran panggung , tak jarang juga para pengunjung naik panggung bergoyang bersamanya. Tatapannya yang nakal mampu menarik perhatian setiap pengunjung untuk lebih mendekatinya.

"Mbak, ambilin minum dong!" titahnya menyudahi panggungnya setelah pagi.

Bianca terduduk kelelahan di sudut panggung dekat Disc Jockey. Wajahnya memerah dengan keringat membanjiri dahinya.

"Ini, mbak Bianca," ucap pelayan kafe memberikan kemasan botol air mineral.

Bianca lantas meneguk habis namun tenggorokannya masih terasa kering dan serak.

"Ambilin yang dingin dong, satu botol lagi," pintanya sesekali menyeka dahi dengan tisu kering.

Pelayan kafe hanya mengangguk menurut dan berlari menuju kulkas di belakang dan lagi memberikannya pada Bianca.

"Terimakasih." Bianca membawanya ke kamar ganti untuk merapikan rambutnya yang acak-acakan juga mengganti bajunya sebelum pulang. Ia tidak mau berpakaian seperti itu di luar kafe, maka itu ia selalu membawa pakaiannya.

"Aku pulang, ya," ucapnya pada Welly pemilik kafe yang sedang sibuk menghitung pendapatan semalam.

"Oke, tapi jam tujuh nanti malam jangan lupa datang tepat waktu, ya. Oiya, aku akan punya lagu terbaik nanti malam untukmu, Sayang."

"Aku gak bisa, suruh Yona aja. Aku tidak butuh lagu baru, aku mau istirahat dulu di rumah."

"Sayang kalau kamu gak datang hari ini khusus kunjungan pria berduit," goda Welly mempermainkan alisnya turun naik.

"Aku manggung nanti tengah malam di kafe lain," sahutnya segera berlalu.

"Hei, tunggu. Ini ada titipan tamu semalam buat kamu," seru Welly menghentikan langkah Bianca yang terburu-buru. "Om siapa aku lupa namanya." Welly memberikan sebuah kotak kecil ke tangannya.

"Thanks ya, aku cabut." Sambil melambaikan tangannya ke arah Welly yang masih penasaran dengan isi kotak tadi.

"Bukain, dong, penasaran dengan isinya," goda Welly lagi.

"Hussh, mau tahu aja."

Bianca terus mengayunkan langkahnya ke pintu keluar kafe. Mobil mungilnya segera meluncur kencang meninggalkan kafe Welly, dan membelah jalanan yang belum begitu padat menuju apartemennya.

Dengan mata terkantuk-kantuk ia menekan tombol lift ke lantai 17. Namun, lift tidak kunjung terbuka. Dengan hati kesal ia menyeret kakinya menggunakan tangga ke lantai 17.

"Aku gak yakin masih bernapas sampai lantai 17," gumamnya terus memaksa menaiki tangga.

Nafasnya ngos-ngosan menahan capek, belum lagi matanya yang mengantuk berat.

Bianca adalah putri tunggal, saat ini hanya hidup berdua dengan ibunya dengan menyewa apartemen. Dulu ketika ayahnya masih hidup dan menjabat sebagai wakil pimpinan di salah satu perusahaan ternama, kehidupan keluarga mereka sangat berkecukupan.

Rumah mewah dan semua harta peninggalan ayahnya terjual untuk bisa mencukupi kebutuhan hidup mereka.

Namun, sifat ibunya yang semakin menggila dengan belanja barang mewah membuat Bianca putus asa. Ingin rasanya ia meninggalkan ibunya sendirian namun ia tidak ingin melanggar pesan ayahnya.

Terkadang ia juga jenuh dan benci tiap kali melihat ibunya pulang dengan mabuk dan meninggalkan utang dimana-mana.

Beruntung Bianca terlahir dengan wajah yang cantik dan seksi juga bakat suara emasnya.

Setiba di dalam apartemen, gadis itu melihat apartemen kosong.

"Hoamm, Bu ... Ibu," panggilnya namun tidak mendengar sahutan Ibunya. "Syukurlah belum pulang dia," gumamnya merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Dalam hitungan detik suara dengkuran terdengar dari bibirnya.

Awalnya Bianca mencoba jadi seorang biduan di hajatan tetangga atau teman-temannya.

Tanpa sengaja berkenalan seorang pria bernama Welly yang merupakan tamu undangan di sebuah pesta, dimana saat itu Bianca jadi seorang biduan di sana.

Pria itu mengajak Bianca bernyanyi di kafenya.

Welly juga menjanjikan honor yang lumayan besar di banding sebagai biduan di pesta-pesta.

Bianca yang sangat membutuhkan uang untuk membayar hutang ibunya, meski dengan hati yang berat ia terpaksa mengiyakan tawaran Welly. Bianca tidak peduli dengan tubuhnya yang lelah dan setengah remuk, ia langsung menerima setiap tawaran dengan bayaran mahal.

Seorang wanita masuk dan berteriak menghampiri Bianca yang masih tertidur pulas.

"Bianca!" teriak wanita paruh baya, ibunya menarik selimut yang menutupi tubuhnya seraya mengguncang kasar bahunya.

"Mmm, siapa seh?" geram Bianca menepis tangan yang terus mengguncang bahunya.

"Bangun! Enak aja tidur-tiduran di sini! Kau pikir duit bisa datang kalau kau hanya malas-malasan, Bianca!?"

Dengan mata berat Bianca membuka matanya, rasa pusing karena kurang tidur, sekujur tubuhnya juga terasa sangat pegal. Ini bukan yang pertama kali ia rasakan, hampir setiap hari setelah pulang bekerja selalu begitu sambutan Ibunya.

"Iya apaan sih, Bu," rutuknya merasa terganggu dengan ibunya yang mengomel tidak berhenti.

"Minta duit, dong. Ibu mau pergi ke boutique teman," sahutnya menarik tangan Bianca dan memaksanya duduk.

"Kok duit lagi seh, Bu? Kemaren, kan udah Bianca kasih lima juta?" Wajahnya tampak sedikit masam dengan sifat ibunya yang mata duitan. "Aku masih butuh duit untuk keperluan pribadiku."

"Udah habislah, semalam Ibu beli gaun ini," katanya menunjukkan bill pembayaran dan memutar-mutar menunjukkan gaun yang dikenakannya kepada Bianca.

"Hahh !!" Mata Bianca terbelalak melihat bill pembayaran gaun jelek yang dipakai ibunya.

"Empat juta sembilan ratus? Oh my God." Bianca ingin meraung sejadi-jadinya.

"Sesekali Ibu harus berpikir untuk belanja-belanja baju!! Jangan suka-suka hati Ibu aja belanja kemauan Ibu! Sementara sebutir beras di dapur sana tidak ada lagi!" berangnya. Matanya melotot menantang ibunya.

"Belum lagi uang sewa apartemen ini, Bu? Aku udah bilang harus menyimpan uang!"

"Itu mudah saja, Bianca. Jual saja mobilmu itu, perkara selesai!"

"Ibu! Sesekali berpikir waras, ya! Jangan ---"

"Dasar kau anak durhaka !! Kau bisa seperti ini karena siapa? Hahh!" potongnya merampas tas dari tangannya, dan mengambil semua lembaran uang yang ada di dompetnya.

Kemudian Ibunya keluar meninggalkan Bianca yang menangis di tempat tidur.

Untuk kesekian kalinya, Bianca tidak bisa melawan. Hanya bisa pasrah hasil jerih payahnya semalaman ludes dirampas Ibunya.

"Ayah, Bianca udah gak sanggup lagi," isaknya kembali menenggelamkan wajahnya di tumpukan bantal.

***

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Butet Napite

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku