/0/19910/coverorgin.jpg?v=0b94ad33c6c25cace4d10e28932213a4&imageMogr2/format/webp)
Semula aku menduga berumah-tangga itu sesuatu yang indah dan simple. Cukup menyatukan dua jiwa raga yang berbeda, memenuhi nafkah lahir dan batin sekemampuannya. Namun ternyata begitu kompleks eleman yang terkandung di dalamnya. Asam garam dan romantikanya memang bukan kaleng-kalengan.
Namaku Arfan Pratama. Asli suku Sunda kelahiran Bogor. Biasa dipanggil Si Ambon, padahal penampilan dan raut wajahku tidak memiliki kemiripan dengan saudara-saudara sebangsa dan setanah air keturunan Ambon, Maluku. Namaku hampir mirip dengan salah satu bintang kebanggaan Timnas U-22, Pratama Arhan.
Inilah kisah nyataku Hasrat Liar Pasutri -22.
^*^
Beberapa bulan yang lalu.
Hari itu aku sedang asik mendendangkan lagi ‘Ojo dibandingke,’ ketika ponselku berdering karena adanya panggilan dari Tania.
“Hallo, Tan!”
“Hai Fan, lagi ngapain?” Suara lembut nan manis terdengar di ujung sana.
“Biasa, lagi nongkrong di kostan.”
“Tumben, emang gak pulkam. Tapi emang udah feeling sih, hehehe.”
“Iya, mau pulkam nanggung. Palingan minggu depan aja pulkannya. Ada apa, Tan?” tanyaku serius tapi santai.
“Beneran lu lagi gak sibuk, Fan?” Tania balik tanya.
“Biasa sih, ya sibuk main gitar aja, hahaha.”
“Oh syukur deh, kebetulan banget. lu mau main gak ke rumah gue? Maksudnya ajarin gue main gitar.” Suara Tania terdengar renyah dan ceria.
Untuk sejenak aku mengernyitkan dahi, ”Serius lu mau belajar gitar?” tanyaku.
“Serius dong. Kayaknya lihat lu main gitar asik banget, makanya gue kepengen belajar, hehehe?” Suara Tania makin renyah.
Kembali aku berpikir sejenak. Tania salah satu fans beratku, berat banget. Tak jarang dia memintaku membawa gitar ke kampus untuk bernyanyi di depan dia dan gengnya. Aku tak ubahnya seperti pengamen yang dibayar dengan makan gratis di kantin.
“Ok, sekarang gua ngeluncur ke rumah lu, ya. Masih di sana kan rumahnya? hehehe.”
“Masih dong ganteng. Thanks ya, see you, Fan!” Seperti biasa keceriaan Tania selalu tak bisa disembunyikannya.
Tania, seniorku di kampus, satu angkatan di atasku. Lebih dari setahun kami bersahabat sangat dekat. Pertemanan kami berawal ketika Opseks penerimaan mahasiswa baru. Tania jadi panitia, aku pesertanya. Pada saat malam keakraban aku tampil bersolo gitar mengiringi beberapa teman seangkatanku bernyanyi.
Sejak malam itulah Tania menjadi fans beratku. Lama-lama aku menduga jika kekaguman dia bukan sebatas pada permainan gitarku, namun pada diriku seutuhnya. Entahlah, aku merasa dia menaruh rasa special buatku. Susah diceritakan namun bisa dirasakan.
Selain cantik, aktif dan cerdas, Tania pun dikenal humble walau dari keluarga yang cukup berada. Karena itulah aku pun tidak lantas kegeeran atau nekad mengajaknya meningkatkan hubungan bukan hanya teman. Sadar diri karena keadaan kami bagai langit dan bumi.
Rumah Tania berada di kawasan perumahan elit di kota ini. Ayahnya seorang pengusaha kelas menangah, sedangkan ibunya pemilik salon dan boutiq yang cukup ternama. Sudah lebih dari dua kali main ke rumahnya, namun tak pernah bertemu dengan papa dan mama yang katanya selalu sibuk.
“Hai, Fan, cepet amat nyampenya. Masuk yu!” Tania berseru gembira sambil membuka pintu gerbang dan mempersilakan aku memarkirkan motor di garasi.
Untuk beberapa saat aku terpana memandangi Tania yang berbeda dari biasanya. Tampak lebih cantik dan seksi dalam balutan celana jeans pendek yang dipadu kaus putih ngepas di badannya. Mataku nyaris tak berkedip menatap dua tonjolan membusung di dadanya.
Rambutnya yang panjang sepunggung, diikat ke belakang, semakin mempertegas kecantikannya yang alami nan paripurna. Aku hanya bisa menelan ludah saat menatap paha dan kaki jenjangnya yang putih, mulus nan indah. Jantungku berdebar dengan darah yang mulai berdesir hangat.
‘Andai bukan calon bini orang dan juga bukan anak orang kaya, pasti udah gua pacarin dari dulu!’ batinku seraya tersenyum untuk mengendalikan nervousku. Baru kali ini melihat Tania berpakian seseksi itu.
“Ribet banget mau masuk kompleks elit gini, hehehe,” ucapku basa-basi, sebelumnya aku bertamu ke sini selalu numpang mobil Tania dan barengan dengan beberapa teman gangnya Tania.
“Ooo, satpam depan ya? Emang udah gitu aturannya, demi keamanan katanya. Lu tadi bilang mau ke rumah gue kan?” Tania bertanya kalem.
“Ya ialah. Kalau gak nyebut nama lu, mana bisa gua masuk sini.”
“Ya udah jangan ngambek dong. Sekarang kan udah ada di sini. Langsung ke kamar gue aja yu, biar santai and bebas,” ajak Tania sambil menarik tanganku.
/0/3201/coverorgin.jpg?v=3c47f9ecf965f82292fbbbc3d30da983&imageMogr2/format/webp)
/0/17802/coverorgin.jpg?v=f5003c6624880c47706b7f7a18f2466d&imageMogr2/format/webp)
/0/8366/coverorgin.jpg?v=7f911a9bc8a5fc1b2c82524542a66ba8&imageMogr2/format/webp)
/0/24879/coverorgin.jpg?v=0d67d7338b7cc49c969c5ad1a9444060&imageMogr2/format/webp)
/0/2377/coverorgin.jpg?v=67acf49fea73fef129ee87c869b4833f&imageMogr2/format/webp)
/0/10051/coverorgin.jpg?v=77e5cecb4311ca37c6777987f025b6a7&imageMogr2/format/webp)
/0/6800/coverorgin.jpg?v=bb215ec44e5fcbdc9a77524e4a36d19c&imageMogr2/format/webp)
/0/15744/coverorgin.jpg?v=06abe3e55eacaf5d8b461595cbfda95e&imageMogr2/format/webp)
/0/3768/coverorgin.jpg?v=b9069b2ed999fcd365c7ac440399d13b&imageMogr2/format/webp)
/0/22497/coverorgin.jpg?v=8f0c3521ccb55e19c316c532bf9c9b26&imageMogr2/format/webp)
/0/5267/coverorgin.jpg?v=7a1a88dc172797cd08f3eccb2d292b4f&imageMogr2/format/webp)
/0/27661/coverorgin.jpg?v=bd6edfac82f8c33c47f5024543340f8d&imageMogr2/format/webp)
/0/16953/coverorgin.jpg?v=cb72b12389e190b754db1d7db1b1f154&imageMogr2/format/webp)
/0/16072/coverorgin.jpg?v=edbbb6ee608d8b785ed581074a407646&imageMogr2/format/webp)