/0/20257/coverorgin.jpg?v=d895fe5a67d001708f299466b8794622&imageMogr2/format/webp)
“ASTAGA!!!”
Anisa terbangun dengan tiba-tiba. Dadanya naik turun, napasnya pendek-pendek seperti habis berlari jauh. Suara detik jam di dinding terdengar begitu keras dalam keheningan kamar.
Ia duduk perlahan di atas ranjang, mengusap wajah yang dingin oleh peluh. Keningnya berkeringat, meski kipas angin masih berputar pelan di pojok ruangan.
Matanya memandang gelap, seperti masih terjebak di antara mimpi dan nyata. Ia memejamkan mata lagi, mencoba menenangkan diri. Tapi bayangan tadi itu... masih tersisa. Membekas terlalu jelas. Terlalu hidup. Terlalu salah.
“Astaghfirullah...” bisiknya lirih.
Tangannya meremas ujung selimut. Pipinya terasa panas, meski tak ada siapa-siapa yang melihat. Ada rasa malu yang entah ditujukan kepada siapa—kepada Tuhan, kepada dirinya sendiri, atau... kepada sosok dalam mimpinya yang tak pernah ia bayangkan akan muncul dalam cara yang begitu mengguncang.
Ia berdiri pelan, berjalan ke dapur. Menuang air putih dengan tangan sedikit gemetar. Matanya sesekali melirik ke arah ruang tengah—gelap dan sepi. Seolah takut bayangan dari alam mimpi itu menyelinap lewat celah pintu.
“Apa-apaan sih tadi itu...” gumamnya pelan, mencoba membuang rasa bersalah yang menempel seperti jelaga.
Ia menatap bayangannya sendiri di kaca lemari. Sejenak tak mengenali wajah itu. Wajah yang baru saja membawa kenangan tidur ke tempat yang... seharusnya tak pernah ia kunjungi.
Anisa menarik napas panjang, mencoba mengabaikan denting waktu yang terasa lambat malam itu. Ia kembali merebahkan tubuhnya di sebelah Pian yang masih terlelap—dengkurnya halus, damai, seperti tak pernah ada badai dalam hidupnya. Anisa memiringkan tubuh, memunggungi suaminya. Tapi matanya tetap terbuka, memandangi gelap, lalu langit-langit kamar.
Pikiran dan perasaannya kacau. Masih ada jejak panas yang aneh, tertinggal samar di kulitnya, di sebagian besar tubuhnya terutama area intimnya dan di ruang bawah sadarnya. Hingga tak terasa fajar datang menjelang.
Akhirnya ia bangkit. Berjalan pelan menuju kamar mandi. Air dingin tak cukup menghapus apa yang terasa kotor dalam pikirannya. Tapi setidaknya, bisa sedikit menenangkan.
Setelah mandi, ia salat Subuh. Rukuknya dalam, sujudnya lama. Tapi lidahnya kelu. Doa-doa yang biasa ia panjatkan terasa asing. Ia tak tahu harus berkata apa. Bahkan menyebut namanya sendiri dalam hati pun terasa canggung.
Pagi pun datang, seperti biasa. Ia menyiapkan sarapan, menyeduh kopi untuk Pian. Saat suaminya keluar kamar, menguap dan tersenyum seperti biasa, Anisa ikut tersenyum kecil, meski tak sampai ke matanya.
“Kopinya seperti biasa ya, Mas,” kata Anisa.
“Iya, makasih. Kamu gak tidur nyenyak?” tanya Pian, sekilas melihat wajahnya.
“Biasa aja. Agak susah tidur, itu aja.”
Pian tak terlalu memperpanjang. Ia segera bersiap berangkat ke sawah, seperti biasa, dengan langkah tenang dan sandal kebunnya yang sudah agak usang.
Anisa mengantar sampai teras, lalu kembali masuk. Tak lama kemudian, suara klakson ojek langganannya terdengar. Ia naik, membetulkan letak tas selempangnya, dan memberi salam pelan.
Di sepanjang jalan, Anisa diam. Sementara tukang ojeknya bercerita soal hujan semalam, tentang jalur yang becek dan sawah yang mungkin tergenang, Anisa hanya mengangguk, sesekali tersenyum simpul, pura-pura menyimak.
Padahal pikirannya jauh. Terbang ke sudut gelap mimpi yang belum juga mau pergi. Mimpi yang membuatnya... malu. Sangat malu. Bahkan pada dirinya sendiri.
Setibanya di toko, ia membuka pintu dan rolling door dengan gerakan mekanis. Meletakkan tas, menggulung lengan baju, dan menata etalase. Tapi tangannya agak gemetar.
“Apa yang salah dengan diriku semalam?” bisiknya dalam hati.
Dan untuk pertama kalinya, dia berharap Tante Maya datang lebih awal. Atau paling tidak, ada keramaian janda-janda Ganjen dan candaan mereka yang biasanya membuat kupingnya panas—karena pagi ini, pikirannya jauh lebih riuh daripada suara siapa pun.
Waktu terus berlalu dan harapan Anisa pun terkabul.
Toko mainan Tante Maya bukan sekadar tempat jual beli boneka, mobil-mobilan, dan lego bajakan dari Cikarang. Ia adalah pusat semesta kecil di pasar kota kecamatan. Lantai bawah toko selalu ramai—entah karena diskon boneka Barbie kw super, atau karena magnet utama: kelompok janda-janda sosialita dengan aroma semerbak minyak zaitun dan riasan tajam penuh tekad.
Seperti biasa Anisa sibuk melayani ibu-ibu muda yang memilih mainan untuk anak mereka dalam berbagai warna. Tak lama dari arah pintu masuk terdengar suara khas Mbok Rahayu, yang hari ini mengenakan rok span dan sepatu wedges:
/0/24879/coverorgin.jpg?v=0d67d7338b7cc49c969c5ad1a9444060&imageMogr2/format/webp)
/0/15868/coverorgin.jpg?v=0e7f595c1ce9e6abf6823cbfc41cca45&imageMogr2/format/webp)
/0/21097/coverorgin.jpg?v=111431a271dd4eda21748f6fb5bfe3d9&imageMogr2/format/webp)
/0/28288/coverorgin.jpg?v=8b3976307c4c9db6b30c98bda50feb63&imageMogr2/format/webp)
/0/10913/coverorgin.jpg?v=00afbf647919da50701ffca2723bd55a&imageMogr2/format/webp)
/0/12261/coverorgin.jpg?v=313e3230636d1a2a0b9a97afcf5ebeee&imageMogr2/format/webp)