Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Genderang Perang Manusia Elektrokinesis

Genderang Perang Manusia Elektrokinesis

Gauche Diablo

5.0
Komentar
10.7K
Penayangan
170
Bab

Disebut sebagai bule palsu, anak haram, diolok-olok karena wajahnya berjerawat parah, dirundung teman satu kelas dan keluarga, dijadikan budak pesuruh di rumah, hingga tidak diterima keberadaannya oleh ibu sendiri. Padahal dia memiliki darah Jerman dari ayahnya. Inilah kehidupan menyedihkan Manfred Argianta Bergmans atau Gian. Hanya Alicia Ruwina atau Cia yang mau berteman dengannya meski akhirnya Gian makin dirundung teman sekolahnya dikarenakan dibela oleh Cia. Suatu hari, dia menolong kucing kecil yang tertabrak motor di jalan, namun kucing itu akhirnya mati. Di mimpinya, Gian didatangi si kucing yang berubah menjadi seorang kakek yang mewarisinya kekuatan elektrokinesis serta tubuh kuat melebihi manusia biasa. Esoknya, Gian juga ditemui tikus putih yang mengajarinya cara menggunakan kekuatan super tersebut. Dengan begitu, Gian memiliki jalan untuk membalas dendam atas semua rasa sakit yang diterima selama ini. Apakah dia menemukan kepuasan dan kebahagiaan akan itu? Atau kemalangan, karena Cia yang dia sukai justru menjauh setelahnya. Lalu bagaimana ketika akhirnya dia dianggap monster dan harus menabuh genderang perang pada orang-orang di sekitarnya? Bisakah dia mendapatkan Cia kembali?

Bab 1 Menemukan Kekuatan Baru

Seorang pemuda berusia 17 tahun yang masih duduk di kelas 2 SMA, berjalan dengan memegangi pipi dan perutnya. Bukan karena lapar, melainkan karena dia baru dipukuli geng kakak kelasnya dikarenakan cemburu.

Dia, Manfred Argianta Bergmans, pemuda blasteran Indonesia-Jerman, bersekolah di SMA Budi Luhur, sebuah sekolah yang cukup mentereng di kotanya.

Sambil berjalan, Gian, demikian dia biasa dipanggil, mengingat kekesalannya di angkot ketika semua orang memandang dia dengan pandangan menuduh.

Apalagi ibu-ibu berbisik keras sembari mencibir, menuduh dia tukang berkelahi, ahli tawuran, sampah generasi, dan masih banyak fitnahan lainnya.

Maka dari itu, Gian lekas meminta turun dari angkot meski belum tiba di dekat area rumahnya. Telinganya sakit mendengar celotehan ngawur mereka.

Kini, sambil berjalan, Gian mengingat peristiwa tadi. Sejak pagi, kemalangan seperti terus merundungnya. Dimulai dari kawan-kawan di kelasnya yang meminjam PR kimia, lalu ada juga yang menyuruh dia untuk menyalinkan PR matematikanya.

Tidak di rumah, tidak di sekolah, dia selalu saja menjadi budak. Sayangnya, dia terlalu pengecut untuk melawan mereka semua.

Kemudian, di istirahat pertama, kesialan masih datang dengan kepalanya terkena hantaman dari bola sepak yang ditendang keras-keras salah satu idola sekolah bernama Danar Wijayanto.

Danar dan kawan-kawannya kerap merundung dia. Sebagian besar memar dan babak belur dia sehari-hari biasanya berasal dari mereka.

Namun begitu, hal yang membuat hati Gian hangat nyaman adalah adanya seorang gadis, teman satu kelas, namanya Alicia Ruwina, biasa dipanggil Cia.

Alicia gadis cantik nan manis blasteran Indonesia-Pakistan, tak pelak dia jadi salah satu idola di sekolahnya. Selain cantik, Alicia juga baik dan kerap membela Gian bila memergoki dia sedang dirundung.

“Kalian ini! Kenapa bermain bola di area umum! Kalian bisa melukai orang yang lewat!” Demikian Alicia mengomel pada kelompok Danar sebelum dia menarik tangan Gian untuk diajak ke ruang UKS.

Gian senang dengan perlakuan Alicia padanya, ternyata di dunia ini, masih ada sosok berhati malaikat seperti gadis itu.

Hanya saja, gara-gara pembelaan dari Alicia itulah dia makin kerap menerima perundungan dari murid-murid yang cemburu.

Lantas, saat dia menerima kehangatan sikap Alicia yang mengobatinya di ruang UKS, itu dilihat oleh salah satu penggemar fanatik Alicia, Sean Colbert, murid kelas 3, seorang pemuda asli Amerika, anak seseorang yang bekerja di kedutaan Amerika di Indonesia. Dia tampan dan atletis serta berambut pirang dengan mata biru, pantas jika menjadi idola pula di sekolah seperti Danar.

“Alice cantik, mau ke mana? Ayo, aku antar ke kelasmu.” Sean mengadang Alicia dan Gian yang hendak kembali ke kelas usai mengobati kening Gian.

“Namaku Alicia, bukan Alice, dan aku tak perlu bantuanmu untuk ke kelas. Ayo, Gian!” Alicia tanpa ragu menggandeng tangan Gian, meninggalkan Sean yang menahan emosi.

Maka, inilah hasil dari geng Sean. Baru diobati Alicia, namun dberi memar baru oleh Sean dan gerombolannya saat Gian hendak pulang ke rumah.

Dia, pemuda blasteran Jerman yang sungguh tidak mirip seperti bule. Rambut dan matanya hitam selayaknya orang Indonesia. Karena itu, satu sebutan khusus kerap disematkan padanya: Bule Palsu.

Padahal semua saudara dia memiliki rambut pirang atau cokelat dengan warna mata bagaikan madu dan hazel.

Saat berjalan sambil menahan sakit, mendadak saja mata Gian mendapati kucing kecil berbulu putih bersih tergeletak sekarat di pinggir jalan. Pasti baru tertabrak motor. Tubuhnya berdarah di sana dan sini.

Tak tega melihat itu, Gian berlari turun ke jalan meski harus menerima klakson dari beberapa motor, dia tak peduli dan mengambil kucing kecil tersebut sebelum hewan malang itu benar-benar rata dengan aspal.

Tapi, ternyata si kucing masih bernapas! Maka, sambil berlari, Gian menggendong si kucing yang dia sembunyikan di balik jaketnya ke rumah. Jangan sampai dia ketahuan memasukkan kucing ke rumah atau gawat.

Langsung masuk ke kamar, Gian segera mengobati kucing itu dengan segala daya upaya semampunya.

“Gian! Kau sudah pulang?” teriak ibunya, Melinda Astrid, wanita asli Indonesia berusia 45 tahun.

“Ya, Ma!” balas Gian dan bergegas keluar sebelum ibunya yang masuk ke kamarnya.

“Sana, cuci semua pakaian!” Melinda memerintah Gian dan itu absolut, tak boleh dibantah Gian jika tak ingin dipukuli. Yah, di rumah, dia biasa diperbudak ibunya sendiri.

Maka, Gian bergegas mencuci semua pakaian orang serumah agar dia bisa segera merawat kucingnya lagi sambil menunggu waktu makan malam tiba.

Kemudian, menjelang petang, Melinda kembali berteriak, “Gian! Bantu Mama memasak! Jangan malas-malasan saja kau!”

Meski enggan, Gian tetap keluar kamar dan menjawab, “Iya, Ma!”

Pada malam harinya usai makan malam, Gian sendirian membereskan semua perkakas kotor dan meja makan sebelum dia masuk kamar. Selalu begitu. Sedangkan kedua kakak dan adik perempuan dia bisa bersantai tanpa pernah mengerjakan apapun.

Namun, begitu Gian kembali ke kamar, dia tidak menemukan kucingnya.

“Kenapa? Mencari kucing jelek? Sudah kubuang ke sungai!” Demikian Melinda berkata dengan wajah bengisnya. “Awas, ya! Berani kau memasukkan hewan ke rumah, akan kucincang nanti!”

Gian tak bisa menahan tangisnya dan berlari keluar rumah mencari si kucing. Padahal hewan itu masih terluka, kenapa ibunya setega itu?!

Akhirnya, Gian menemukan kucing kecil di bantaran sungai, tergeletak menyedihkan dan kaku, mati. Betapa kecewa dan sedihnya Gian. Dia segera membawa bangkai kucing ke sebuah kebun kosong dan menguburkannya di sana sambil berkata, “Pus, maaf, yah! Aku gagal menyelamatkanmu. Maaf,” bisiknya sambil terisak.

Malam itu, Gian terus menangis di kamarnya, meratapi nasib tragis si kucing sekaligus nasib malangnya sendiri. “Tuhan, kenapa Kau memberi takdir buruk untuk aku dan kucing itu? Hiks! Tuhan, apakah kau tidak menyayangiku?”

Kemudian, dia jatuh tertidur dan bermimpi aneh.

Di mimpinya, dia didatangi seorang kakek dengan jubah putih yang berterima kasih padanya. “Cu, terima kasih atas segala perawatan dan kasih sayangmu padaku.”

Gian tidak paham kenapa kakek jubah putih itu mengatakan demikian, karena dia merasa tidak melakukan apapun terhadap seorang kakek manapun.

Kakek jubah putih terkekeh, “He he he … supaya kau tahu, aku adalah kucing putih yang kau rawat tadi.”

“Hah?!” Gian terkesiap, tentu saja dia tidak menyangka akan itu.

Lantas, hal yang membuat Gian sangat terkejut adalah ketika si kakek menempelkan tapak tangan pada dahinya.

Setelahnya, Gian terbangun dan bersimbah peluh. Seketika, dia merasa haus, maka, dia keluar kamar dan mendapati semua lampu sudah dimatikan, jam juga sudah menunjukkan pukul 1 dini hari.

Ketika hendak menjangkau lemari es, mendadak tangannya seperti tersetrum. Dia lekas tarik tangan dan beralih ke dispenser saja. Namun, kejadian itu berulang sampai-sampai dia mengira apakah peralatan di rumahnya sedang rusak? Atau korsleting?

Urung minum, dia kembali ke kamarnya.

Namun, alangkah terkejutnya dia ketika sudah duduk di kasur, dari ujung telunjuknya keluar gelombang listrik berwarna biru.

“Hah?!” Gian terkejut dan memukul pipi dan pahanya, mengira sedang mimpi atau berhalusinasi. “Auh!” Terasa sakit, berarti ini kenyataan.

Gian menatap jarinya dan ketika memikirkan mengenai listrik tadi, mendadak dari ujungnya keluar rambatan energi listrik seperti ular kecil.

Kenapa dia bisa mengeluarkan listrik dari jarinya? Apakah dia berubah menjadi mutan atau apa?!

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku