Damar Selalu Dihina oleh warga desa, dia memutuskan ke kota untuk mengubah hidupnya. Rupanya Ibu kota tak seindah yang ia bayangkan. Banyak perjuangan yang ia lalui sebelum menjadi seorang Prajurit.
Bab 1: Luka yang Terus Membekas
Angin sore menerpa wajah Damar ketika ia berjalan melewati gang sempit yang menuju rumahnya. Tas lusuh yang menggantung di pundaknya bergoyang seiring langkah kakinya yang berat. Hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, ia pulang dengan hati yang penuh luka, bukan karena tamparan fisik, tetapi kata-kata yang menghujam jiwanya lebih tajam dari apa pun.
"Damar, si bodoh yang tak tahu diri!" teriak suara dari kejauhan. Itu suara Riko, teman sekelasnya, yang selalu menjadi biang kerok di sekolah. Bersamanya ada beberapa anak lain yang ikut tertawa keras. Mereka seolah tak pernah bosan menjadikan Damar sebagai bahan ejekan.
Damar tidak membalas. Ia hanya menunduk, menggenggam erat tali tasnya, dan melangkah lebih cepat. Tidak ada gunanya melawan. Ia sudah mencobanya beberapa kali, tapi akhirnya hanya menambah luka di tubuh dan harga dirinya.
Setiba di rumah, ia langsung menuju kamar kecil di sudut belakang. Rumahnya sederhana, hanya terdiri dari dua ruangan utama, dapur, dan kamar mandi kecil yang sebagian atapnya bocor. Ibunya, Bu Lastri, sedang sibuk memasak di dapur. Wanita paruh baya itu sering kali mengorbankan dirinya demi kebutuhan Damar.
"Damar, kamu sudah makan siang tadi?" tanya ibunya, dengan suara lembut yang penuh kekhawatiran.
"Sudah, Bu," jawab Damar singkat. Ia tidak ingin ibunya tahu bahwa uang sakunya habis karena dipalak Riko dan teman-temannya tadi siang.
Setelah mengganti baju, Damar duduk di atas kasur tipisnya. Ia menatap dinding kamar yang dipenuhi poster-poster kecil yang ia tempel dari majalah bekas. Dalam poster itu, ada gambar orang-orang yang ia kagumi: atlet, ilmuwan, bahkan seorang guru besar yang menjadi inspirasi utamanya untuk terus belajar.
Namun, semua itu terasa jauh.
"Apa aku memang tidak punya nilai apa-apa?" bisik Damar pada dirinya sendiri. Suara Riko dan ejekan-ejekan lainnya terus terngiang di telinganya.
Ketika malam tiba, Damar mengerjakan PR dengan cahaya lampu kecil di mejanya. Ia tahu, satu-satunya jalan keluar dari hidup ini adalah pendidikan. Ia tidak boleh menyerah, tidak peduli seberapa sering ia dihina atau diremehkan.
Di sekolah, ia adalah siswa yang biasa-biasa saja. Bukan karena ia tidak mampu, tetapi karena rasa percaya dirinya telah dihancurkan sejak kecil. Banyak orang tidak tahu bahwa Damar sebenarnya cerdas. Ia hanya perlu kesempatan dan keberanian untuk menunjukkan potensinya.
Malam itu, sebelum tidur, ia memandangi buku catatannya. Ada satu kalimat yang ia tulis besar-besar di sana sebagai pengingat:
"Aku tidak akan selamanya hidup di bawah bayang-bayang mereka."
Di luar kamar, Bu Lastri diam-diam menatap pintu kamar Damar dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu beban yang ditanggung anaknya terlalu berat. Namun, ia percaya, suatu hari nanti, anaknya akan membuktikan bahwa hinaan itu hanyalah pijakan menuju keberhasilan.
Pagi itu, matahari muncul dengan sinar yang lebih hangat dari biasanya, seolah menyambut keputusan besar yang telah Damar buat semalaman. Ia duduk di depan rumahnya yang sederhana, memandangi jalan kecil yang biasanya ia lewati setiap hari. Hari ini berbeda. Hari ini, ia memutuskan untuk pergi.
"Bu," panggil Damar pelan.
Bu Lastri menoleh dari dapur, tangan keriputnya masih sibuk mengupas singkong untuk sarapan pagi. "Ada apa, Nak?" tanyanya sambil berjalan mendekat.
Damar menggigit bibir, mencoba mencari cara terbaik untuk menyampaikan niatnya. Ia tahu ini akan sulit, terutama karena ibunya hanya memiliki dirinya sebagai satu-satunya keluarga.
"Damar ingin pergi ke kota," ujarnya akhirnya. Kata-kata itu terasa berat, tapi juga melegakan.
Bu Lastri terdiam sejenak. Matanya yang lelah menatap wajah anak semata wayangnya dengan penuh perhatian. "Ke kota? Kenapa, Nak? Apa tidak betah di sini?" tanyanya lembut, meskipun dalam hatinya ia sudah tahu jawaban itu.
"Bukan begitu, Bu," Damar menjelaskan. "Tapi kalau terus di sini, Damar tidak akan berkembang. Damar mau cari kerja, cari pengalaman. Siapa tahu di kota, ada jalan yang bisa mengubah hidup kita."
Ada jeda panjang di antara mereka. Bu Lastri akhirnya duduk di sebelah Damar. Tangannya menyentuh lembut bahu anaknya.
"Bu tahu kamu punya mimpi besar, Nak," katanya, suaranya sedikit bergetar. "Tapi kota itu keras. Kamu siap dengan semua risikonya?"
Damar mengangguk yakin. Ia sudah memikirkannya matang-matang. Selama bertahun-tahun, ia merasa terjebak di desanya, dihina, diremehkan, dan selalu dianggap tidak punya potensi. Kota adalah tempat di mana ia bisa memulai dari nol, di mana tidak ada yang mengenalnya atau masa lalunya.
"Damar tidak takut, Bu," katanya tegas. "Damar cuma butuh doa Ibu, dan kalau Damar berhasil nanti, Damar akan pulang membawa sesuatu yang lebih baik untuk kita."
Bu Lastri menarik napas panjang, lalu tersenyum kecil. "Kalau itu keputusanmu, Bu tidak akan melarang. Tapi ingat, jangan lupakan rumah ini. Di mana pun kamu berada, Ibu selalu ada di sini."
Damar mengangguk, hatinya lega. Ia tahu ini bukan keputusan yang mudah untuk ibunya, tapi ia berjanji tidak akan menyia-nyiakan kepercayaan itu.
---
Malam itu, Damar mulai mengemas barang-barangnya. Tidak banyak yang ia bawa: beberapa pakaian, buku catatan favoritnya, dan amplop kecil berisi uang tabungan hasil kerja serabutan selama beberapa tahun terakhir. Ia juga membawa sebuah kotak kecil yang berisi barang-barang kenangan, termasuk foto almarhum ayahnya.
Esok paginya, dengan tas kecil di punggungnya, Damar berdiri di depan rumah, bersiap untuk pergi. Beberapa tetangga yang lewat hanya memandang tanpa banyak bicara. Sebagian dari mereka mungkin merasa senang melihat Damar pergi, karena bagaimanapun, ia sering menjadi bahan hinaan mereka.
"Jaga dirimu baik-baik, Nak," kata Bu Lastri sambil memeluknya erat. "Dan jangan lupa untuk memberi kabar."
"Iya, Bu. Damar janji," jawabnya, suaranya sedikit bergetar.
Damar melangkah ke jalan besar, tempat bus yang akan membawanya ke kota menunggu. Ia menatap ke belakang sekali lagi, melihat rumah kecil yang menjadi saksi bisu perjuangannya selama ini. Ada rasa haru yang menusuk, tetapi juga keyakinan bahwa keputusannya untuk pergi adalah langkah awal menuju perubahan.
Ketika bus mulai bergerak, Damar menatap jendela dengan mata penuh harapan. Kota besar, dengan segala kemungkinan dan tantangannya, menantinya di ujung jalan ini.
Damar berdiri di depan gedung tinggi yang terletak di pusat kota, memandang sibuknya jalanan yang dipenuhi kendaraan dan orang-orang yang berlalu-lalang. Gedung ini, tempat di mana ia sudah mengirimkan surat lamaran beberapa minggu lalu, sekarang tampak begitu besar dan tidak ramah.
Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan udara kota yang penuh dengan polusi dan suara bising. Damar merasa sangat kecil di tengah keramaian ini, jauh dari desa yang tenang, jauh dari ibunya, jauh dari kenyamanan yang ia tinggalkan untuk mengejar mimpi.
Namun, harapannya terbayar ketika ia melangkah masuk ke gedung itu pagi tadi, penuh keyakinan. Ia bahkan sempat tersenyum ketika resepsionis meminta ia duduk sebentar sambil menunggu giliran wawancara. Tapi sekarang, setelah berbicara dengan manajer HRD yang dingin dan cepat mengakhiri percakapan, Damar keluar dari gedung itu dengan perasaan kosong.
Gagal.
Itu adalah kata yang terlintas di pikirannya. Wawancara itu berlangsung tidak lebih dari lima belas menit. Semua persiapannya, semua harapannya, terasa sia-sia. Mereka mengatakan ia tidak memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan.
Damar berjalan keluar, matanya yang lelah menatap trotoar yang penuh dengan orang-orang sibuk. Tidak ada yang peduli dengan siapa ia atau apa yang ia rasakan. Semua tampak seperti rutinitas yang sudah teratur, berjalan tanpa henti. Begitu juga hidupnya, meski ia sudah berusaha keras, tetap saja sulit untuk menemukan tempat di dunia yang besar ini.
Beberapa kali Damar melirik ponselnya, berharap ada kabar baik, mungkin panggilan atau pesan dari perusahaan lain. Tapi tidak ada. Hanya pesan dari ibunya yang bertanya, "Damar, sudah dapat kerja belum?"
Damar hanya bisa membalas dengan jawaban yang samar. "Belum, Bu. Masih coba yang lain."
Hari itu ia menghabiskan waktunya berkeliling kota, memasukkan lamaran ke berbagai perusahaan. Setiap langkah terasa berat, setiap pintu yang ia ketuk seakan menutup rapat tanpa memberi celah. Wajah-wajah yang ia temui di kantor-kantor itu terlihat seperti para profesional yang sibuk dan penuh dengan ambisi. Damar merasa seperti orang asing yang mencoba masuk ke dalam dunia yang tidak pernah ia kenal.
Malam tiba dengan cepat. Damar kembali ke penginapannya yang sederhana. Kamarnya kecil, hanya cukup untuk tempat tidur dan meja kerja yang penuh dengan tumpukan brosur lamaran yang sudah dikirim. Ia duduk di tepi tempat tidur, memandangi dinding kosong yang tampak semakin suram.
Tiba-tiba, suara ketukan di pintu mengalihkan perhatian Damar.
"Mas Damar, ada surat untukmu," kata wanita penjaga penginapan, sambil menyerahkan amplop putih.
Damar membuka amplop itu dengan harapan, tetapi begitu melihat isi suratnya, harapan itu langsung runtuh. Itu adalah surat penolakan dari perusahaan yang baru saja ia lamar. Tertulis jelas bahwa mereka memilih kandidat lain yang lebih memenuhi kualifikasi.
Rasanya seolah dunia mengerut dan menyudutkan Damar. Ia melempar surat itu ke meja dengan rasa frustasi. Kenapa semuanya begitu sulit? Kenapa tak ada yang menghargai usahanya?
Ia meraih ponsel dan menatap foto ibunya. Ia ingin segera memberitahukan ibunya bahwa semua ini tidak berjalan seperti yang ia harapkan, tapi ada rasa takut yang mengganjal. Bagaimana ia bisa memberitahukan ibunya, yang telah mengharapkan banyak darinya?
Damar terdiam, menatap layar ponselnya tanpa bisa mengetikkan apapun. Ia merasa lelah-secara fisik dan emosional.
Namun, setelah beberapa saat, ia menghapus semua kekesalannya dan mulai menulis pesan kepada ibunya. "Bu, Damar belum dapat pekerjaan, tapi Damar akan terus coba. Doakan ya."
Ia menekan tombol kirim, lalu melemparkan ponselnya ke samping. Setelah itu, Damar hanya duduk diam, menatap langit-langit kamar yang tak berbintang. Ia merasa kosong, lelah, dan bingung. Apa yang harus ia lakukan selanjutnya? Bagaimana ia bisa bertahan di kota ini?
Namun, di dalam hatinya, ia tahu satu hal: ia tak bisa menyerah. Ia telah jauh melangkah dari rumah dan dari kehidupan yang biasa ia jalani. Mimpi yang ia bawa bukanlah hal yang bisa dihancurkan oleh kegagalan pertama, kedua, atau bahkan seratus kali kegagalan sekalipun. Ia hanya butuh waktu, dan ia harus terus bertahan.
Bab 1 Luka Yang Membekas
21/11/2024
Bab 2 Tidak Ada Kata Menyerah
21/11/2024
Bab 3 3.Akibat Fitnah Damar Di pecat
21/11/2024
Buku lain oleh Kim Yoora
Selebihnya