Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Di Bawah Bayang-Bayang Prajurit Tangguh

Di Bawah Bayang-Bayang Prajurit Tangguh

Kim Yoora

5.0
Komentar
28
Penayangan
3
Bab

Damar Selalu Dihina oleh warga desa, dia memutuskan ke kota untuk mengubah hidupnya. Rupanya Ibu kota tak seindah yang ia bayangkan. Banyak perjuangan yang ia lalui sebelum menjadi seorang Prajurit.

Bab 1 Luka Yang Membekas

Bab 1: Luka yang Terus Membekas

Angin sore menerpa wajah Damar ketika ia berjalan melewati gang sempit yang menuju rumahnya. Tas lusuh yang menggantung di pundaknya bergoyang seiring langkah kakinya yang berat. Hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, ia pulang dengan hati yang penuh luka, bukan karena tamparan fisik, tetapi kata-kata yang menghujam jiwanya lebih tajam dari apa pun.

"Damar, si bodoh yang tak tahu diri!" teriak suara dari kejauhan. Itu suara Riko, teman sekelasnya, yang selalu menjadi biang kerok di sekolah. Bersamanya ada beberapa anak lain yang ikut tertawa keras. Mereka seolah tak pernah bosan menjadikan Damar sebagai bahan ejekan.

Damar tidak membalas. Ia hanya menunduk, menggenggam erat tali tasnya, dan melangkah lebih cepat. Tidak ada gunanya melawan. Ia sudah mencobanya beberapa kali, tapi akhirnya hanya menambah luka di tubuh dan harga dirinya.

Setiba di rumah, ia langsung menuju kamar kecil di sudut belakang. Rumahnya sederhana, hanya terdiri dari dua ruangan utama, dapur, dan kamar mandi kecil yang sebagian atapnya bocor. Ibunya, Bu Lastri, sedang sibuk memasak di dapur. Wanita paruh baya itu sering kali mengorbankan dirinya demi kebutuhan Damar.

"Damar, kamu sudah makan siang tadi?" tanya ibunya, dengan suara lembut yang penuh kekhawatiran.

"Sudah, Bu," jawab Damar singkat. Ia tidak ingin ibunya tahu bahwa uang sakunya habis karena dipalak Riko dan teman-temannya tadi siang.

Setelah mengganti baju, Damar duduk di atas kasur tipisnya. Ia menatap dinding kamar yang dipenuhi poster-poster kecil yang ia tempel dari majalah bekas. Dalam poster itu, ada gambar orang-orang yang ia kagumi: atlet, ilmuwan, bahkan seorang guru besar yang menjadi inspirasi utamanya untuk terus belajar.

Namun, semua itu terasa jauh.

"Apa aku memang tidak punya nilai apa-apa?" bisik Damar pada dirinya sendiri. Suara Riko dan ejekan-ejekan lainnya terus terngiang di telinganya.

Ketika malam tiba, Damar mengerjakan PR dengan cahaya lampu kecil di mejanya. Ia tahu, satu-satunya jalan keluar dari hidup ini adalah pendidikan. Ia tidak boleh menyerah, tidak peduli seberapa sering ia dihina atau diremehkan.

Di sekolah, ia adalah siswa yang biasa-biasa saja. Bukan karena ia tidak mampu, tetapi karena rasa percaya dirinya telah dihancurkan sejak kecil. Banyak orang tidak tahu bahwa Damar sebenarnya cerdas. Ia hanya perlu kesempatan dan keberanian untuk menunjukkan potensinya.

Malam itu, sebelum tidur, ia memandangi buku catatannya. Ada satu kalimat yang ia tulis besar-besar di sana sebagai pengingat:

"Aku tidak akan selamanya hidup di bawah bayang-bayang mereka."

Di luar kamar, Bu Lastri diam-diam menatap pintu kamar Damar dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu beban yang ditanggung anaknya terlalu berat. Namun, ia percaya, suatu hari nanti, anaknya akan membuktikan bahwa hinaan itu hanyalah pijakan menuju keberhasilan.

Pagi itu, matahari muncul dengan sinar yang lebih hangat dari biasanya, seolah menyambut keputusan besar yang telah Damar buat semalaman. Ia duduk di depan rumahnya yang sederhana, memandangi jalan kecil yang biasanya ia lewati setiap hari. Hari ini berbeda. Hari ini, ia memutuskan untuk pergi.

"Bu," panggil Damar pelan.

Bu Lastri menoleh dari dapur, tangan keriputnya masih sibuk mengupas singkong untuk sarapan pagi. "Ada apa, Nak?" tanyanya sambil berjalan mendekat.

Damar menggigit bibir, mencoba mencari cara terbaik untuk menyampaikan niatnya. Ia tahu ini akan sulit, terutama karena ibunya hanya memiliki dirinya sebagai satu-satunya keluarga.

"Damar ingin pergi ke kota," ujarnya akhirnya. Kata-kata itu terasa berat, tapi juga melegakan.

Bu Lastri terdiam sejenak. Matanya yang lelah menatap wajah anak semata wayangnya dengan penuh perhatian. "Ke kota? Kenapa, Nak? Apa tidak betah di sini?" tanyanya lembut, meskipun dalam hatinya ia sudah tahu jawaban itu.

"Bukan begitu, Bu," Damar menjelaskan. "Tapi kalau terus di sini, Damar tidak akan berkembang. Damar mau cari kerja, cari pengalaman. Siapa tahu di kota, ada jalan yang bisa mengubah hidup kita."

Ada jeda panjang di antara mereka. Bu Lastri akhirnya duduk di sebelah Damar. Tangannya menyentuh lembut bahu anaknya.

"Bu tahu kamu punya mimpi besar, Nak," katanya, suaranya sedikit bergetar. "Tapi kota itu keras. Kamu siap dengan semua risikonya?"

Damar mengangguk yakin. Ia sudah memikirkannya matang-matang. Selama bertahun-tahun, ia merasa terjebak di desanya, dihina, diremehkan, dan selalu dianggap tidak punya potensi. Kota adalah tempat di mana ia bisa memulai dari nol, di mana tidak ada yang mengenalnya atau masa lalunya.

"Damar tidak takut, Bu," katanya tegas. "Damar cuma butuh doa Ibu, dan kalau Damar berhasil nanti, Damar akan pulang membawa sesuatu yang lebih baik untuk kita."

Bu Lastri menarik napas panjang, lalu tersenyum kecil. "Kalau itu keputusanmu, Bu tidak akan melarang. Tapi ingat, jangan lupakan rumah ini. Di mana pun kamu berada, Ibu selalu ada di sini."

Damar mengangguk, hatinya lega. Ia tahu ini bukan keputusan yang mudah untuk ibunya, tapi ia berjanji tidak akan menyia-nyiakan kepercayaan itu.

---

Malam itu, Damar mulai mengemas barang-barangnya. Tidak banyak yang ia bawa: beberapa pakaian, buku catatan favoritnya, dan amplop kecil berisi uang tabungan hasil kerja serabutan selama beberapa tahun terakhir. Ia juga membawa sebuah kotak kecil yang berisi barang-barang kenangan, termasuk foto almarhum ayahnya.

Esok paginya, dengan tas kecil di punggungnya, Damar berdiri di depan rumah, bersiap untuk pergi. Beberapa tetangga yang lewat hanya memandang tanpa banyak bicara. Sebagian dari mereka mungkin merasa senang melihat Damar pergi, karena bagaimanapun, ia sering menjadi bahan hinaan mereka.

"Jaga dirimu baik-baik, Nak," kata Bu Lastri sambil memeluknya erat. "Dan jangan lupa untuk memberi kabar."

"Iya, Bu. Damar janji," jawabnya, suaranya sedikit bergetar.

Damar melangkah ke jalan besar, tempat bus yang akan membawanya ke kota menunggu. Ia menatap ke belakang sekali lagi, melihat rumah kecil yang menjadi saksi bisu perjuangannya selama ini. Ada rasa haru yang menusuk, tetapi juga keyakinan bahwa keputusannya untuk pergi adalah langkah awal menuju perubahan.

Ketika bus mulai bergerak, Damar menatap jendela dengan mata penuh harapan. Kota besar, dengan segala kemungkinan dan tantangannya, menantinya di ujung jalan ini.

Damar berdiri di depan gedung tinggi yang terletak di pusat kota, memandang sibuknya jalanan yang dipenuhi kendaraan dan orang-orang yang berlalu-lalang. Gedung ini, tempat di mana ia sudah mengirimkan surat lamaran beberapa minggu lalu, sekarang tampak begitu besar dan tidak ramah.

Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan udara kota yang penuh dengan polusi dan suara bising. Damar merasa sangat kecil di tengah keramaian ini, jauh dari desa yang tenang, jauh dari ibunya, jauh dari kenyamanan yang ia tinggalkan untuk mengejar mimpi.

Namun, harapannya terbayar ketika ia melangkah masuk ke gedung itu pagi tadi, penuh keyakinan. Ia bahkan sempat tersenyum ketika resepsionis meminta ia duduk sebentar sambil menunggu giliran wawancara. Tapi sekarang, setelah berbicara dengan manajer HRD yang dingin dan cepat mengakhiri percakapan, Damar keluar dari gedung itu dengan perasaan kosong.

Gagal.

Itu adalah kata yang terlintas di pikirannya. Wawancara itu berlangsung tidak lebih dari lima belas menit. Semua persiapannya, semua harapannya, terasa sia-sia. Mereka mengatakan ia tidak memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan.

Damar berjalan keluar, matanya yang lelah menatap trotoar yang penuh dengan orang-orang sibuk. Tidak ada yang peduli dengan siapa ia atau apa yang ia rasakan. Semua tampak seperti rutinitas yang sudah teratur, berjalan tanpa henti. Begitu juga hidupnya, meski ia sudah berusaha keras, tetap saja sulit untuk menemukan tempat di dunia yang besar ini.

Beberapa kali Damar melirik ponselnya, berharap ada kabar baik, mungkin panggilan atau pesan dari perusahaan lain. Tapi tidak ada. Hanya pesan dari ibunya yang bertanya, "Damar, sudah dapat kerja belum?"

Damar hanya bisa membalas dengan jawaban yang samar. "Belum, Bu. Masih coba yang lain."

Hari itu ia menghabiskan waktunya berkeliling kota, memasukkan lamaran ke berbagai perusahaan. Setiap langkah terasa berat, setiap pintu yang ia ketuk seakan menutup rapat tanpa memberi celah. Wajah-wajah yang ia temui di kantor-kantor itu terlihat seperti para profesional yang sibuk dan penuh dengan ambisi. Damar merasa seperti orang asing yang mencoba masuk ke dalam dunia yang tidak pernah ia kenal.

Malam tiba dengan cepat. Damar kembali ke penginapannya yang sederhana. Kamarnya kecil, hanya cukup untuk tempat tidur dan meja kerja yang penuh dengan tumpukan brosur lamaran yang sudah dikirim. Ia duduk di tepi tempat tidur, memandangi dinding kosong yang tampak semakin suram.

Tiba-tiba, suara ketukan di pintu mengalihkan perhatian Damar.

"Mas Damar, ada surat untukmu," kata wanita penjaga penginapan, sambil menyerahkan amplop putih.

Damar membuka amplop itu dengan harapan, tetapi begitu melihat isi suratnya, harapan itu langsung runtuh. Itu adalah surat penolakan dari perusahaan yang baru saja ia lamar. Tertulis jelas bahwa mereka memilih kandidat lain yang lebih memenuhi kualifikasi.

Rasanya seolah dunia mengerut dan menyudutkan Damar. Ia melempar surat itu ke meja dengan rasa frustasi. Kenapa semuanya begitu sulit? Kenapa tak ada yang menghargai usahanya?

Ia meraih ponsel dan menatap foto ibunya. Ia ingin segera memberitahukan ibunya bahwa semua ini tidak berjalan seperti yang ia harapkan, tapi ada rasa takut yang mengganjal. Bagaimana ia bisa memberitahukan ibunya, yang telah mengharapkan banyak darinya?

Damar terdiam, menatap layar ponselnya tanpa bisa mengetikkan apapun. Ia merasa lelah-secara fisik dan emosional.

Namun, setelah beberapa saat, ia menghapus semua kekesalannya dan mulai menulis pesan kepada ibunya. "Bu, Damar belum dapat pekerjaan, tapi Damar akan terus coba. Doakan ya."

Ia menekan tombol kirim, lalu melemparkan ponselnya ke samping. Setelah itu, Damar hanya duduk diam, menatap langit-langit kamar yang tak berbintang. Ia merasa kosong, lelah, dan bingung. Apa yang harus ia lakukan selanjutnya? Bagaimana ia bisa bertahan di kota ini?

Namun, di dalam hatinya, ia tahu satu hal: ia tak bisa menyerah. Ia telah jauh melangkah dari rumah dan dari kehidupan yang biasa ia jalani. Mimpi yang ia bawa bukanlah hal yang bisa dihancurkan oleh kegagalan pertama, kedua, atau bahkan seratus kali kegagalan sekalipun. Ia hanya butuh waktu, dan ia harus terus bertahan.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Kim Yoora

Selebihnya
Luka Karena CINTA

Luka Karena CINTA

Romantis

5.0

Diandra gadis desa yang sangat cantik, dia sangat tergila-gila terhadap kekasihnya yang bernama Robert. Diandra dan kekasihnya merupakan satu sekolah yang sama. Diandra harus menjalani hubungan Ldr dengan kekasihnya karena dia harus kuliah ke Jakarta. Sedangkan sang kekasih harus melanjutkan pendidikan AAU (Akademi Angkatan udara) di Djogjakarta. Selama menjalanin hubungan berjalan lancar, tetapi lambat laun sikap dan tingkah laku kekasihnya berubah karena berselingkuh dengan yang lain. Hingga akhirnya mereka berpisah, tetapi Diandra tetap mengejar dan mencoba meluluhkan hati Robert kembali. Namun upayanya rupanya nihil mereka tetap berpisah. Hingga akhirnya Diandra bertemu dengan pemuda tampan berkebangsaan Jerman yang bernama Louis. Louis yang telah jatuh hati kepada Diandra, berusaha dengan berbagai macam cara untuk meluluhkan hati Diandra. Walau pun Diandra selalu menolaknya tetapi Louis tak putus asa untuk mendapatkan cinta sang gadis pujaannya. Maukah Diandra menerima cinta Louis dan melupakan Robert? Blurb: Diandra adalah gadis desa yang sangat cantik dan manis, gadis tersebut sangat tergila-gila akan kekasihnya yang bernama Robert. Sayangnya, belakangan rasa cinta itu malah membawanya menuju kehancuran. Robert terlalu posesif dan nggak segan melontarkan kata-kata makian kepada Diandra. Mereka pun lalu berpisah. Robert meninggalkan Diandra, tetapi sakit hati dan kenangan tentang Robert masih membekas di hatinya. Malah, Diandra terobsesi mengejar cinta Robert kembali. Dalam pencarian cintanya, Diandra tanpa sengaja berkenalan dengan seorang laki-laki tampan. Laki-laki tampan berkebangsaan Jerman bernama Louis Louis adalah pemuda yang sangat baik dan lembut. Pemuda yang mengajarkan cinta itu lembut. Kekerasan apa pun tak layak bertamengkan cinta. Maukah Diandra melepaskan perasaan cintanya kepada Robert dan jatuh kedalam pelukan laki-laki lembut seperti Louis? Keseluruhan cerita : Diandra adalah gadis yang sangat cantik, Diandra memiliki seorang Bunda yang sangat otoriter, tetapi Ayahnya adalah seorang Ayah yang lembut dan sangat memanjakannya. Jadi jika ada masalah apa-apa Diandra lebih baik bercerita kepada Ayahnya di bandingkan bersama dengan Bundanya. Diandra akhirnya memiliki kekasih yang bernama Robert yang merupakan kawan sekolahnya. Mereka merupakan pasangan yang manis dan romantis. Namun sayangnya mereka berdua harus terpisahkan akibat mereka mau melanjutkan sekolah ke yang lebih tinggi lagi. Tadinya jarak antara Jakarta dan Djogjakarta bukan penghalang bagi mereka berdua. Tetapi lambat laun mereka harus berpisah karena Robert sering berlaku kasar dan selingkuh. Diandra dengan susah payah, tetap berusaha untuk mempertahankan hubungan mereka. Walau pun dengan berpura-pura hamil demi untuk bisa segera di nikahkan oleh Robert. Tetapi usahanya sia-sia Robert tetap memutuskan dan tak mau bertanggung jawab kepada Diandra. Mereka berpisah, Diandra mencoba melanjutkan kehidupannya. Walau pun berat, dia berusaha untuk bangkit melupakan Robert. Walau pun sangat sulit. Diandra berusaha untuk melupakan Robert walau pun sampai depresi hingga di rawat ke rumah sakit. Diandra tetap bangkit, lambat laun dia berkenalan dengan pemuda tampan berkebangsaan Jerman bernama Louis. Louis sangat baik dan sangat lembut, yang mengajarkan jika cinta itu penuh kelembutan tanpa ada kekerasan. Mungkin karena rasa cinta terhadap Robert terlalu besar, Diandra belum bisa menerima cinta dari pemuda tampan tersebut. Di kota lain terlihat Robert sangat menyesal, dia hanya memandangi potret bingkai photo dirinya bersama Diandra terdahulu. Nasib Robert rupanya sangat tragis, dia harus bercerai dan kehilangan anak di dalam kandungan istrinya. Bahkan dia harus di pecat di kesatuannya Angkata Udara yang selama ini selalu di bangga-banggakannya. Mungkin inilah karma yang harus dia perbuat, karena telah menyakiti hati dan perasaan wanita baik seperti Diandra. Kebahagiaan akhirnya mengelilingi Diandra, Diandra akhirnya luluh kepada sosok pemuda tampan yang mau menerima dirinya. Mau berdamai dengan masa lalunya tanpa membahas masa lalunya seperti apa. Diandra dan Louis akhirnya menikah dan hidup bahagia untuk selamanya. The end.

Buku serupa

Cinta yang Tersulut Kembali

Cinta yang Tersulut Kembali

Romantis

4.9

Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku