Bayang Hitam Sang Jenderal Tirani

Bayang Hitam Sang Jenderal Tirani

Biebiefenimmm

5.0
Komentar
1.7K
Penayangan
27
Bab

Pembunuh gila setengah binatang. Itulah julukan orang-orang untuknya.. Zane Alexander Thorn, lahir sebagai bintang jenderal yang memimpin pasukan elit di dunia yang hampir hancur. Semua orang membencinya, termasuk dirinya sendiri. Hidup dibawah bayang-bayang ayahnya demi misi, hingga rela menjadi senjata mematikan yang siap untuk membunuh. Sifatnya dingin dan kejam, hatinya sekeras baja dan tatapan matanya mampu menusuk tulang. Aura keberadaannya sangat kuat dan mengintimidasi, siapapun akan meringkuk ketakutan ketika berhadapan langsung dengannya. Manusia biasa? Tidak. Semua yang dimilikinya nyaris sempurna dan tiada celah hingga dirinya lebih seperti sosok monster yang 'sengaja' dibiarkan hidup. Namun, bukan berarti dirinya tak memiliki hati. Berawal dari menolak perjodohan politik ayahnya, hingga berhasil mengurung seorang gadis aneh berkekuatan super di balik jeruji besi. Tetapi bukannya kembali berperang untuk mempertahankan wilayahnya, Jenderal perang berdarah dingin itu justru menguak rahasia dibalik keanehan yang terus terjadi. Bahkan ia tersihir oleh sentuhan gadis itu! Ini adalah kisah Sang Jenderal. Bagaimana kelanjutan kisahnya?

Bab 1 Perjodohan Keluarga Thorn

Di sebuah ruang pertemuan yang megah dan gelap, seorang anak berlutut di hadapan ayahnya. "Kau memanggilku?" tanyanya, meski anak itu sudah bisa menebak apa yang akan dibicarakan bersama ayahnya.

Momen ini selalu menandakan masalah besar, atau lebih buruk-rencana licik yang melibatkan dirinya.

"Waktunya sudah tiba. Kau harus menikahi Elara, putri Dewan Menteri. Aliansi ini akan memperkuat kekuasaan kita dan menjaga dominasi keluarga Thorn."

Zane Alexander Thorn mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, menahan gejolak perasaan yang membakar di dadanya. "Aku tidak akan melakukannya," jawabnya tegas, suaranya tenang namun penuh tekad.

The Dominion berdiri megah di atas perbukitan, menjulang sebagai simbol kekuasaan dan kendali di tengah kekacauan dunia luar. Dinding dan pintunya terbuat dari batu dengan teknologi tinggi. Gerbangnya tidak dapat ditembus, dan dijaga oleh pasukan bersenjata dengan armor canggih.

Markas ini berada di bawah kekuasaan Marcus Thorn, Panglima Tertinggi yang memerintah dengan tangan besi. Marcus mengontrol setiap aspek kehidupan rakyatnya, termasuk keputusan pernikahan politik untuk putranya, Zane Thorn.

Marcus mengangkat alis, terlihat terkejut dengan penolakan itu. "Ini bukan permintaan, Zane. Ini perintah. Sebagai penerusku, kau harus melakukan apa yang diperlukan untuk kekuatan Dominion."

Ya, disanalah, pria yang mengajarinya segala sesuatu tentang perang dan kekuasaan, menatapnya dari ujung meja panjang itu. Mata sang Panglima Tertinggi menyipit, penuh dengan harapan dingin dan rencana yang sudah ia atur sejak lama.

Zane berdiri di ruang konferensi besar, mengenakan seragam Phantom Vanguard, pasukan elit yang ia pimpin. Wajahnya keras, matanya penuh bayangan kelam dari bertahun-tahun pertempuran. Tidak ada satu pun emosi yang terlihat di balik matanya yang tajam, kecuali amarah yang tersembunyi di balik ketenangan luar biasa.

Zane menatap langsung ke mata ayahnya, tak gentar sedikit pun.

"Aku sudah menjalani hidupku sesuai perintahmu, memerangi musuh-musuhmu, membalas dendam atas kematian yang kau anggap penting. Tapi pernikahan ini?" Zane berhenti sejenak, mengambil napas panjang.

"Aku bersumpah, aku tidak akan menikahi siapapun kecuali orang yang aku cintai."

Marcus berdiri dari kursinya, dia tertawa. Tertawa kecil bahagia, seperti ratusan lonceng, menular sekaligus menakutkan. Namun, wajahnya dengan cepat berubah gelap.

"Cinta?" ejeknya. "Cinta adalah kelemahan, Zane. Tidak ada tempat untuk itu di dunia ini. Kau akan mematuhi, atau kau akan hancur."

Zane mengepalkan tinjunya, merasakan kemarahan yang mendidih di dadanya. Hanya untuk kali ini, Zane menolak dikendalikan.

Marcus tertawa lagi. Kali ini sangat keras. "Ya ampun." Dia tersenyum, cerah, hangat dan sangat tulus. Lalu menggelengkan kepalanya.

"Lihatlah dirimu," katanya berteriak sambil menyeringai.

"Kau seorang pembunuh yang sempurna.. Kau tidak butuh cinta, Zane-kau butuh kekuasaan. Dan pernikahan ini adalah jalan menuju kekuasaan yang lebih besar."

"Aku tidak akan tunduk pada perintah ini," tegas Zane. "Jika kau ingin menikahkan Elara, carilah orang lain. Aku punya takdir sendiri."

Marcus menatap putranya dengan dingin, seolah-olah dia melihat seorang pemberontak, bukan darah dagingnya.

"Jika kau menolak, maka kau akan melawan lebih dari sekadar musuh di luar sana. Kau akan melawan aku."

Zane merasa udara di dalam ruangan menjadi berat, seolah-olah setiap kata yang keluar dari mulut Marcus adalah batu yang menghempaskannya ke dasar laut. Dia tahu bahwa penolakan ini bukan hanya sebuah pernyataan; itu adalah deklarasi perang terhadap ayahnya.

"Aku tidak akan menjadi alatmu lagi," kata Zane, suaranya tegas dan tak terbantahkan. Dia berbalik, bersiap meninggalkan ruangan, tetapi Marcus memanggilnya dengan nada yang penuh ancaman.

"Kau kira kau bisa melarikan diri dari tanggung jawabmu? Setiap langkah yang kau ambil, setiap pertempuran yang kau menangkan, semuanya untukku. Kau tidak akan pernah bisa membebaskan diri dari bayang-bayangku."

Zane berhenti sejenak, menyentuh pintu kayu yang berat sebelum berbalik.

"Mungkin, tapi aku akan berjuang untuk menjadi diriku sendiri. Dan jika itu berarti menentangmu, maka aku akan melakukannya."

Zane melangkah keluar, meninggalkan ruang konferensi. Meninggalkan Marcus yang masih berdiri dengan ekspresi marah dan terkejut. Dia bisa merasakan tatapan ayahnya membakar punggungnya, tetapi dia tidak peduli.

Di luar, seseorang sudah berdiri menunggunya. Seseorang yang sangat disukai Zane. "Mari, Tuan.."

Zane mengangguk singkat dan berkata. "Mantel ku, Reed."

Reed menunduk, tidak berani menatap atasannya alih-alih memberikan mantelnya. Kemudian ia mengikuti Zane dari belakang.

Saat tiba di ruang kerjanya, kepala Zane merasa berat. Ia mengusap tengkuknya yang kaku, beban yang tak tertahankan mendorongnya untuk mencari jalan keluar. Pikirannya pun berputar, lumayan lama, dan tiba-tiba ia terpikirkan sesuatu.

"Siapkan kendaraan."

"Tapi.. Tuan," Reed terlihat panik, hendak mengutarakan sesuatu.

"Kalian tahu apa yang harus dilakukan. Sekarang, pergi!"

"B...baik," katanya ragu-ragu. Reed segera melemparkan hormatnya kemudian melesat pergi.

Hari ini juga Zane memutuskan untuk kembali ke pangkalan militernya. Ia tidak akan membiarkan tubuhnya tidur dibawah atap terkutuk ini. Tidak sebelum ayahnya menangkapnya, mengurungnya dan memberikan siksaan tanpa ampun.

Zane berdiri dari kursi, menatap prajurit-prajurit yang masih tegang.

Begitu mereka melangkah keluar, Zane memutuskan untuk mengambil jalur belakang markas, menghindari jalan utama di mana pengawal ayahnya mungkin berkumpul. Dia bergerak cepat, berusaha menyembunyikan diri di balik bayangan dan sudut-sudut gelap bangunan.

Jantungnya berdegup kencang saat dia berlari, membayangkan wajah marah Marcus ketika dia tahu anaknya telah melarikan diri. Zane menekan pikirannya tentang konsekuensi, hanya fokus pada satu tujuan: keluar.

Sesampainya di pintu belakang, Zane mengintip sekeliling. Tidak ada tanda-tanda pengawal, tapi dia tahu waktu tidak berpihak padanya. Dia melangkah keluar, berlari menyusuri koridor yang sepi.

Begitu dia mencapai gerbang keluar, Zane merasakan getaran dalam dirinya, gelombang otoritas yang tak terhindarkan muncul. Dia bisa merasakan ketegangan di udara, seolah-olah para prajurit yang menjaga gerbang dapat merasakan kehadirannya. "Jangan berhenti," bisiknya pada dirinya sendiri.

Dengan sekali langkah, dia berteriak, "Kau semua akan menghormati keputusanku! Beri aku jalan!"

Seketika, para prajurit yang mengawasi gerbang menundukkan kepala, terpaksa mengikuti perintah yang datang begitu kuat. Mereka terdiam, terperangkap antara rasa hormat dan kebencian. Mengutuk diri mereka sendiri, karena setelah ini akan dihabisi oleh Marcus karena tak becus menangkap Zane.

Zane berlari secepat mungkin, melewati batas markas. Lalu saat ia sampai di pintu belakang, Zane melihat Reed yang sudah menunggu di dekat kendaraan. Wajahnya memancarkan kelegaan.

"Tuan!" seru Reed, menyambut Zane dengan penuh rasa hormat. "Kita harus pergi sebelum mereka kembali menghadangmu."

Zane melangkah ke kendaraan, sambil mendengar bisikan prajurit di belakangnya. Reed membuka pintu, dan Zane melangkah masuk dengan cepat, memeriksa sekelilingnya, memastikan tidak ada ancaman.

"Sekarang!" Zane memerintah, dan Reed segera menginjak gas.

Kendaraan melaju, meninggalkan markas dengan beberapa pengawal yang mengejarnya. Dari dalam mobil, Zane bisa mendengar prajurit-prajurit itu mengumpat.

Sesampainya di pangkalan militer miliknya, Zane disambut oleh prajurit-prajuritnya yang sudah berbaris rapi.

Tubuh mereka tegang namun wajah mereka datar, seolah-olah sudah terbiasa dengan situasi ini. Zane, pemimpin mereka yang tak kenal ampun, berjalan bolak-balik di hadapan mereka dengan langkah berat, tatapan matanya dingin menembus barisan, meneliti setiap wajah. Keheningan yang menakutkan memenuhi udara. Mereka tahu apa yang akan datang.

Zane berhenti tiba-tiba, lalu dengan gerakan tenang, ia mengeluarkan pistol dari sarung di pinggangnya.

"Siapa pun berdiri. Jadilah sasaran." suaranya begitu tenang namun menggema, memecah keheningan.

Tidak ada satu pun yang bergerak. Zane, merasakan kemarahan yang membakar dalam dirinya. Ia sangat lelah, melewati satu hari saja seperti neraka.

"Kalian prajurit pengecut! Tak tahu malu!" teriaknya, suaranya bagaikan petir di langit cerah.

"Tidak ada yang berani?" suaranya rendah. Marah melihat ketidakberanian mereka, Zane mengangkat suaranya lagi.

"Apakah kalian semua ingin mati dalam ketakutan?!" Suaranya menggema, membuat semua orang merinding.

"Siap, tidak. Tuan!"

"Di medan perang, hanya keberanian yang akan membawa kita hidup. Apa kalian ingin mati di tempat tanpa berjuang?!"

"SIAP TIDAK TUAN!"

Akhirnya salah satu prajurit mengangkat tangannya, wajahnya pucat, maju dengan ragu. Zane mengangkat alis, memperhatikan sikapnya dengan tajam.

"Bagus," katanya, senyumnya tidak menjangkau matanya. Zane mengarahkan laras ke arah prajurit yang berdiri kaku.

Suara pelatuk berbunyi, mengisi udara dengan ketegangan yang bisa dipotong dengan pisau.

DUARRRRR

DUARRRRR

DUARRRRRRR

Setiap peluru meleset dengan tepat, menimbulkan suara dentuman yang memekakkan telinga.

Melihat prajurit tersebut berdiri tanpa cedera, Zane merasa sangat puas.

Di saat ia menembak peluru terakhir, seolah waktu berhenti. Dalam keheningan yang menyakitkan, Zane menatap kosong ke depan, menyadari bahwa ia tidak tahu lagi apa yang sebenarnya ia perjuangkan.

Segalanya terasa hampa, dan dengan satu langkah mundur, ia merasakan sesuatu dalam dirinya pecah.

Tiba-tiba kegelapan menyelimutinya, dan seseorang memanggil namanya.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Biebiefenimmm

Selebihnya

Buku serupa

Putra Rahasianya, Aib Publiknya

Putra Rahasianya, Aib Publiknya

Gavin
5.0

Namaku Alina Wijaya, seorang dokter residen yang akhirnya bertemu kembali dengan keluarga kaya raya yang telah kehilangan aku sejak kecil. Aku punya orang tua yang menyayangiku dan tunangan yang tampan dan sukses. Aku aman. Aku dicintai. Semua itu adalah kebohongan yang sempurna dan rapuh. Kebohongan itu hancur berkeping-keping pada hari Selasa, saat aku menemukan tunanganku, Ivan, tidak sedang rapat dewan direksi, melainkan berada di sebuah mansion megah bersama Kiara Anindita, wanita yang katanya mengalami gangguan jiwa lima tahun lalu setelah mencoba menjebakku. Dia tidak terpuruk; dia tampak bersinar, menggendong seorang anak laki-laki, Leo, yang tertawa riang dalam pelukan Ivan. Aku tak sengaja mendengar percakapan mereka: Leo adalah putra mereka, dan aku hanyalah "pengganti sementara", sebuah alat untuk mencapai tujuan sampai Ivan tidak lagi membutuhkan koneksi keluargaku. Orang tuaku, keluarga Wijaya, juga terlibat dalam sandiwara ini, mendanai kehidupan mewah Kiara dan keluarga rahasia mereka. Seluruh realitasku—orang tua yang penuh kasih, tunangan yang setia, keamanan yang kukira telah kutemukan—ternyata adalah sebuah panggung yang dibangun dengan cermat, dan aku adalah si bodoh yang memainkan peran utama. Kebohongan santai yang Ivan kirimkan lewat pesan, "Baru selesai rapat. Capek banget. Kangen kamu. Sampai ketemu di rumah," saat dia berdiri di samping keluarga aslinya, adalah pukulan terakhir. Mereka pikir aku menyedihkan. Mereka pikir aku bodoh. Mereka akan segera tahu betapa salahnya mereka.

Bosku Kenikmatanku

Bosku Kenikmatanku

Juliana
5.0

Aku semakin semangat untuk membuat dia bertekuk lutut, sengaja aku tidak meminta nya untuk membuka pakaian, tanganku masuk kedalam kaosnya dan mencari buah dada yang sering aku curi pandang tetapi aku melepaskan terlebih dulu pengait bh nya Aku elus pelan dari pangkal sampai ujung, aku putar dan sedikit remasan nampak ci jeny mulai menggigit bibir bawahnya.. Terus aku berikan rangsang an dan ketika jari tanganku memilin dan menekan punting nya pelan "Ohhsss... Hemm.. Din.. Desahannya dan kedua kakinya ditekuk dilipat kan dan kedua tangan nya memeluk ku Sekarang sudah terlihat ci jeny terangsang dan nafsu. Tangan kiri ku turun ke bawah melewati perutnya yang masih datar dan halus sampai menemukan bukit yang spertinya lebat ditumbuhi bulu jembut. Jari jariku masih mengelus dan bermain di bulu jembutnya kadang ku tarik Saat aku teruskan kebawah kedalam celah vaginanya.. Yes sudah basah. Aku segera masukan jariku kedalam nya dan kini bibirku sudah menciumi buah dadanya yang montok putih.. " Dinn... Dino... Hhmmm sssttt.. Ohhsss.... Kamu iniii ah sss... Desahannya panjang " Kenapa Ci.. Ga enak ya.. Kataku menghentikan aktifitas tanganku di lobang vaginanya... " Akhhs jangan berhenti begitu katanya dengan mengangkat pinggul nya... " Mau lebih dari ini ga.. Tanyaku " Hemmm.. Terserah kamu saja katanya sepertinya malu " Buka pakaian enci sekarang.. Dan pakaian yang saya pake juga sambil aku kocokan lebih dalam dan aku sedot punting susu nya " Aoww... Dinnnn kamu bikin aku jadi seperti ini.. Sambil bangun ke tika aku udahin aktifitas ku dan dengan cepat dia melepaskan pakaian nya sampai tersisa celana dalamnya Dan setelah itu ci jeny melepaskan pakaian ku dan menyisakan celana dalamnya Aku diam terpaku melihat tubuh nya cantik pasti,putih dan mulus, body nya yang montok.. Aku ga menyangka bisa menikmati tubuh itu " Hai.. Malah diem saja, apa aku cuma jadi bahan tonton nan saja,bukannya ini jadi hayalanmu selama ini. Katanya membuyarkan lamunanku " Pastinya Ci..kenapa celana dalamnya ga di lepas sekalian.. Tanyaku " Kamu saja yang melepaskannya.. Kata dia sambil duduk di sofa bed. Aku lepaskan celana dalamku dan penislku yang sudah berdiri keras mengangguk angguk di depannya. Aku lihat di sempat kagett melihat punyaku untuk ukuran biasa saja dengan panjang 18cm diameter 4cm, setelah aku dekatkan ke wajahnya. Ada rasa ragu ragu " Memang selama ini belum pernah Ci melakukan oral? Tanyaku dan dia menggelengkan kepala

Terjebak Gairah Terlarang

Terjebak Gairah Terlarang

kodav
5.0

WARNING 21+‼️ (Mengandung adegan dewasa) Di balik seragam sekolah menengah dan hobinya bermain basket, Julian menyimpan gejolak hasrat yang tak terduga. Ketertarikannya pada Tante Namira, pemilik rental PlayStation yang menjadi tempat pelariannya, bukan lagi sekadar kekaguman. Aura menggoda Tante Namira, dengan lekuk tubuh yang menantang dan tatapan yang menyimpan misteri, selalu berhasil membuat jantung Julian berdebar kencang. Sebuah siang yang sepi di rental PS menjadi titik balik. Permintaan sederhana dari Tante Namira untuk memijat punggung yang pegal membuka gerbang menuju dunia yang selama ini hanya berani dibayangkannya. Sentuhan pertama yang canggung, desahan pelan yang menggelitik, dan aroma tubuh Tante Namira yang memabukkan, semuanya berpadu menjadi ledakan hasrat yang tak tertahankan. Malam itu, batas usia dan norma sosial runtuh dalam sebuah pertemuan intim yang membakar. Namun, petualangan Julian tidak berhenti di sana. Pengalaman pertamanya dengan Tante Namira bagaikan api yang menyulut dahaga akan sensasi terlarang. Seolah alam semesta berkonspirasi, Julian menemukan dirinya terjerat dalam jaring-jaring kenikmatan terlarang dengan sosok-sosok wanita yang jauh lebih dewasa dan memiliki daya pikatnya masing-masing. Mulai dari sentuhan penuh dominasi di ruang kelas, bisikan menggoda di tengah malam, hingga kehangatan ranjang seorang perawat yang merawatnya, Julian menjelajahi setiap tikungan hasrat dengan keberanian yang mencengangkan. Setiap pertemuan adalah babak baru, menguji batas moral dan membuka tabir rahasia tersembunyi di balik sosok-sosok yang selama ini dianggapnya biasa. Ia terombang-ambing antara rasa bersalah dan kenikmatan yang memabukkan, terperangkap dalam pusaran gairah terlarang yang semakin menghanyutkannya. Lalu, bagaimana Julian akan menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihan beraninya? Akankah ia terus menari di tepi jurang, mempermainkan api hasrat yang bisa membakarnya kapan saja? Dan rahasia apa saja yang akan terungkap seiring berjalannya petualangan cintanya yang penuh dosa ini?

Perhitungan Pahit Seorang Istri

Perhitungan Pahit Seorang Istri

Gavin
5.0

Suamiku, Banyu, dan aku adalah pasangan emas Jakarta. Tapi pernikahan sempurna kami adalah kebohongan, tanpa anak karena kondisi genetik langka yang katanya akan membunuh wanita mana pun yang mengandung bayinya. Ketika ayahnya yang sekarat menuntut seorang ahli waris, Banyu mengusulkan sebuah solusi: seorang ibu pengganti. Wanita yang dipilihnya, Arini, adalah versi diriku yang lebih muda dan lebih bersemangat. Tiba-tiba, Banyu selalu sibuk, menemaninya melalui "siklus bayi tabung yang sulit." Dia melewatkan hari ulang tahunku. Dia melupakan hari jadi pernikahan kami. Aku mencoba memercayainya, sampai aku mendengarnya di sebuah pesta. Dia mengaku kepada teman-temannya bahwa cintanya padaku adalah "koneksi yang dalam," tetapi dengan Arini, itu adalah "gairah" dan "bara api." Dia merencanakan pernikahan rahasia dengannya di Labuan Bajo, di vila yang sama yang dia janjikan padaku untuk hari jadi kami. Dia memberinya pernikahan, keluarga, kehidupan—semua hal yang tidak dia berikan padaku, menggunakan kebohongan tentang kondisi genetik yang mematikan sebagai alasannya. Pengkhianatan itu begitu total hingga terasa seperti sengatan fisik. Ketika dia pulang malam itu, berbohong tentang perjalanan bisnis, aku tersenyum dan memainkan peran sebagai istri yang penuh kasih. Dia tidak tahu aku telah mendengar semuanya. Dia tidak tahu bahwa saat dia merencanakan kehidupan barunya, aku sudah merencanakan pelarianku. Dan dia tentu tidak tahu aku baru saja menelepon sebuah layanan yang berspesialisasi dalam satu hal: membuat orang menghilang.

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku