Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Nikah Siri : Cinta Dibalik Bayang-Bayang

Nikah Siri : Cinta Dibalik Bayang-Bayang

Lukman

5.0
Komentar
Penayangan
5
Bab

Hidupku seperti retak berkeping-keping saat aku mengetahui bahwa suamiku, Dimas, telah berselingkuh dengan sahabat dekatku, Nadia. Kini, aku terperangkap antara hasrat untuk menjaga pernikahanku dan kebutuhan untuk membebaskan diriku dari penderitaan ini. Dimas, yang ternyata telah menikahi Nadia secara diam-diam, telah melanggar segala janji yang pernah diucapkan. Hatinya kini beralih, dan aku merasa terbuang. Ketika aku mulai menggali lebih dalam, semakin banyak rahasia yang terungkap, menambah luka di hati. Dalam perjalanan penuh kepedihan ini, akankah aku mampu mempertahankan cinta yang dulu kuanggap abadi, atau akankah aku menemukan jalan untuk menyembuhkan diriku sendiri?

Bab 1 Langit tampak mendung

Pagi itu, langit tampak mendung, seperti mencerminkan perasaanku. Di ruang tamu yang sunyi, hanya ada suara detak jam dinding yang terdengar begitu keras. Cangkir kopi yang telah lama kupandang, kini sudah hampir dingin, tak ada satu pun yang bisa menghangatkannya. Aku duduk di sofa dengan tubuh kaku, pikiran berputar-putar, terjebak dalam kebingunganku. Dimas, suamiku, sudah hampir 24 jam tak pulang, dan meskipun aku sudah mencoba menghubunginya berkali-kali, teleponnya tidak pernah dijawab. Ada yang aneh. Sesuatu yang tidak beres. Aku bisa merasakannya.

Ponselku bergetar tiba-tiba, dan jantungku berdegup cepat. Nama Dimas muncul di layar. Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengangkatnya. "Dimas?" suaraku bergetar, harapanku semakin tinggi. "Kenapa kamu belum pulang? Kamu di mana?"

Di ujung sana, ada keheningan sejenak, seperti Dimas tengah berusaha mencari kata-kata. "Rina, kita perlu bicara," jawabnya, suaranya terdengar tegang, berbeda dari biasanya. Ada sesuatu yang tidak beres dengan cara dia berbicara. Semakin aku mendengar suaranya, semakin aku merasa cemas.

"Ada apa, Dim? Kamu kenapa?" tanyaku, berusaha menahan kepanikan yang mulai menguasai diri.

"Dengar, aku-" Suaranya terputus, dan aku bisa mendengar bisikan lain di latar belakang, suara lembut yang terasa asing. "Aku akan pulang sebentar lagi. Ada yang harus aku jelaskan."

Dengan perasaan tidak menentu, aku menunggu kedatangannya di ruang tamu. Setiap detik terasa begitu lama, sementara pikiran buruk semakin membebani otakku. Aku tidak tahu mengapa, tapi hatiku sudah bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang sangat salah. Dimas kembali terlambat pulang, dan nada bicara serta sikapnya semakin berbeda. Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Tak lama kemudian, aku mendengar suara pintu depan terbuka. Dimas muncul di ambang pintu, namun ada sesuatu yang terasa aneh. Ada ketegangan yang jelas di wajahnya, dan di sampingnya, berdiri Nadia-sahabatku, yang sejak awal sudah kuanggap sebagai teman dekat, seperti saudara. Matanya tak berani menatapku, dan tubuhnya tampak kaku, seolah terperangkap dalam kebisuan yang tak bisa diungkapkan.

Aku berdiri dari sofa, terkejut melihat mereka berdua berdiri bersama di sana. "Kalian berdua..." aku hampir tak bisa mengucapkan kata-kata itu, merasa cemas dan bingung. "Ada apa ini, Dimas?"

Dimas melangkah maju, wajahnya tampak serius dan penuh penyesalan. "Rina," katanya dengan suara pelan. "Kita harus bicara. Ini bukan hal yang mudah untuk dijelaskan."

Aku merasa jantungku berpacu semakin cepat, tetapi aku mencoba untuk tetap tenang. "Bicara tentang apa?" jawabku, mencoba menyembunyikan ketakutanku di balik suaraku yang tegas. "Kenapa kamu membawa Nadia ke sini? Apa yang sedang terjadi?"

Nadia menundukkan kepala, tak sanggup bertemu mataku. "Rina," suara Nadia mulai terdengar pelan, "aku tahu ini sangat sulit, tapi... aku dan Dimas-kami sudah menikah."

Kalimat itu menghempasku bagaikan badai besar yang mengguncang seluruh tubuhku. Aku merasa dunia tiba-tiba berhenti berputar. "Apa?" aku bergumam, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. "Apa maksudmu menikah? Kalian... kalian berdua?"

Dimas menggigit bibir bawahnya, tampak kesulitan untuk melanjutkan kalimatnya. "Kami menikah, Rina," katanya dengan suara serak. "Secara siri. Kami sudah melakukannya beberapa waktu lalu."

Perasaan campur aduk muncul begitu saja-marah, kecewa, dan tidak percaya. "Kamu... kamu menikah diam-diam dengan sahabatku, Dimas?" Aku merasa tubuhku mulai bergetar, dan mulutku terasa kering. "Bagaimana bisa kamu lakukan ini, setelah semua yang kita bangun bersama?"

Dimas menunduk, seakan tak sanggup menatapku. "Rina, ini... ini bukan apa yang kamu pikirkan. Semua ini... aku terjebak," katanya, suaranya penuh penyesalan. "Aku tak tahu harus bagaimana, tapi yang jelas, ini bukan keputusan yang mudah. Aku masih mencintaimu, Rina. Tapi Nadia... dia hamil, dan kami memutuskan untuk menikah secara siri."

Setiap kata yang keluar dari mulut Dimas terasa seperti sembilu yang menusuk langsung ke hatiku. "Jadi, ini semua demi anak?" ujarku dengan nada kecewa. "Kamu memilih dia, Dimas, memilih untuk menikah diam-diam dengan sahabatku, dan aku harus menerima kenyataan ini?"

Nadia akhirnya mengangkat kepalanya, matanya basah, dan suara yang keluar dari bibirnya terkesan hampir tidak terdengar. "Rina, aku tahu ini salah. Tapi aku-kami tak bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Aku... aku mencintai Dimas, dan dia juga merasa hal yang sama."

Aku menatap mereka berdua, hatiku seakan terbelah. "Jadi selama ini, aku hanya dianggap sebagai pelengkap, bukan?" tanyaku, suaraku bergetar karena menahan emosi yang meluap-luap. "Kalian berdua sudah merencanakan ini, tanpa memberiku kesempatan untuk tahu. Apa yang aku lakukan salah? Apa cinta kita tidak cukup, Dimas?"

Dimas membuka mulutnya, mencoba mencari kata-kata yang bisa menjelaskan semuanya, tapi aku tak bisa lagi mendengarnya. Aku merasa perasaan itu sudah menghilang. Aku tak tahu harus bagaimana lagi. "Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan lagi," jawab Dimas dengan suara lemah, hampir tidak terdengar.

"Jangan katakan apa-apa lagi, Dimas," ujarku tajam. "Aku... aku tidak bisa terus seperti ini. Aku butuh waktu. Waktu untuk memikirkan semua ini."

Tanpa menunggu jawaban, aku berbalik dan berjalan meninggalkan mereka berdua. Setiap langkahku terasa berat, seolah bebannya semakin menekan dada. Aku menutup pintu kamar dan merosot ke lantai, terisak. Aku tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi aku tahu satu hal-hidupku tak akan pernah sama lagi.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Lukman

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku