Dijodohkan dengan pria yang berstatus sebagai suami orang? Bagaimana rasanya? Pasti campuran antara terkejut, bingung, dan tidak percaya. Itulah yang dialami oleh Nadira, seorang gadis berusia 22 tahun, ketika keluarganya memaksanya menikah dengan seorang pria bernama Adrian. Adrian, pria tampan dan berkarisma yang dikenal sebagai pengusaha sukses di kota, ternyata sudah menikah dengan seorang wanita bernama Rania. Namun, perjodohan ini bukan tanpa alasan. Kakek Adrian percaya bahwa hanya Nadira yang bisa menyelamatkan keluarga mereka dari kehancuran akibat rahasia besar yang disembunyikan Rania. Mampukah Nadira menjalani kehidupan pernikahan yang rumit ini? Bagaimana reaksi Rania saat mengetahui keberadaan istri kedua? Akankah Adrian mencintai Nadira atau justru tetap setia pada Rania?
Nadira duduk di ruang keluarga dengan gelisah. Kalimat yang baru saja keluar dari mulut ayahnya membuat kepalanya pening. Dia menatap kedua orang tuanya dengan ekspresi campuran antara marah dan tidak percaya.
"Ayah, tolong katakan ini lelucon," ucap Nadira dengan suara bergetar.
Ayahnya, seorang pria berusia lima puluhan dengan wajah penuh kerutan karena kerja keras, menghela napas panjang. "Nadira, ini keputusan terbaik untukmu. Keluarga Adrian memiliki pengaruh besar, dan Kakeknya meminta perjodohan ini secara langsung."
"Tapi dia sudah menikah, Yah! Bagaimana mungkin aku harus menikah dengan pria yang sudah punya istri?"
Ibunya, yang sejak tadi diam, mencoba menenangkan. "Nak, ini bukan pernikahan seperti yang kau bayangkan. Istri pertama Adrian, Rania, tidak bisa memberikan keturunan. Keluarga mereka membutuhkan seseorang yang bisa menjadi ibu dari anak-anak Adrian. Itulah kenapa mereka memilihmu."
Nadira merasa dikhianati. "Jadi aku hanya dianggap alat? Aku bukan manusia yang punya mimpi, perasaan?"
"Nadira!" Ayahnya menatapnya tajam. "Kakek Adrian sudah menyelamatkan usaha kita dari kebangkrutan. Kalau bukan karena dia, kau mungkin tidak akan punya tempat tinggal sekarang. Ini waktunya kita membalas budi."
Nadira berdiri, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. "Tapi, Ayah, ini bukan caranya. Aku tidak ingin hidup dalam bayang-bayang wanita lain, menjadi istri kedua tanpa cinta."
"Kadang hidup tidak berjalan sesuai keinginan kita, Nak," jawab ibunya lembut, matanya penuh harap. "Tolong pikirkan ini baik-baik. Ini demi keluarga kita."
Nadira tidak menjawab. Dia berlari ke kamarnya, air mata mengalir deras di pipinya.
Hari pertemuan dengan Adrian tiba lebih cepat dari yang Nadira harapkan. Dia dipaksa mengenakan gaun formal dan dibawa ke sebuah restoran mewah tempat keluarga Adrian menunggu.
Ketika dia masuk, tatapan dingin seorang wanita cantik dengan pakaian elegan menyambutnya. Itu Rania, istri pertama Adrian. Di sebelahnya, seorang pria dengan wajah tegas dan postur tinggi berdiri. Itulah Adrian.
"Ini Nadira?" tanya Rania dengan nada sarkastik, matanya menelusuri Nadira dari ujung kepala hingga kaki. "Dia terlihat seperti anak-anak. Kau yakin dia cukup matang untuk peran ini, Kakek?"
"Kau jangan bicara begitu, Rania," Kakek Adrian menyela dengan nada tegas. "Aku tahu apa yang kulakukan. Nadira adalah pilihan yang tepat."
Adrian, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara. Suaranya berat dan penuh otoritas. "Kalau ini keinginan Kakek, aku akan melakukannya. Tapi jangan harap aku akan mencintaimu," katanya, tatapan matanya langsung menusuk ke arah Nadira.
Nadira menelan ludah, mencoba mengendalikan emosinya. "Percayalah, aku tidak ingin berada di sini lebih dari kau menginginkanku di sini."
Rania tertawa kecil, suaranya penuh sindiran. "Bagus. Setidaknya gadis ini tahu tempatnya."
Pernikahan dilangsungkan secara sederhana namun tetap megah sesuai standar keluarga Adrian. Nadira merasa seperti boneka, dipermainkan oleh situasi yang tidak pernah dia minta.
Di hari pertama setelah pernikahan, Nadira mencoba menghindari Adrian. Namun, malam itu, dia mendengar suara langkah kaki mendekat. Adrian berdiri di ambang pintu kamar mereka, wajahnya dingin seperti biasanya.
"Kau bisa tinggal di sini, tapi jangan harap aku akan memperlakukanmu lebih dari seorang tamu," ucap Adrian tajam.
Nadira, yang sedang duduk di tepi ranjang, menatapnya penuh luka. "Aku tidak ingin apa pun darimu, Adrian. Aku hanya menjalankan kewajibanku."
Adrian mendengus, lalu berjalan keluar tanpa sepatah kata lagi.
Hari-hari pertama pernikahan Nadira penuh ketegangan. Rania sering mengawasinya dengan tatapan tajam, seolah mencari celah untuk menyalahkannya.
Suatu hari, Nadira sedang duduk di taman belakang rumah besar mereka ketika Rania mendekatinya.
"Apa yang kau lakukan di sini? Berharap Adrian akan menemanimu?" Rania bertanya, nada suaranya penuh ejekan.
Nadira berdiri, mencoba menjaga ketenangannya. "Aku hanya butuh udara segar."
"Kau pikir aku tidak tahu apa rencanamu?" Rania mendekat, matanya menyala penuh amarah. "Kau ingin merebut Adrian dariku. Tapi dengar ini baik-baik, Nadira. Aku adalah istri pertama, dan aku yang memiliki semua cintanya. Kau tidak lebih dari alat untuk memberikan anak padanya."
Nadira menggeleng, mencoba membela diri. "Aku tidak punya niat seperti itu. Aku tidak pernah ingin berada di sini."
"Bagus. Kalau begitu, tetaplah di tempatmu, jauh dari suamiku!" Rania berkata sebelum pergi, meninggalkan Nadira yang berdiri kaku dengan perasaan hancur.
Konflik baru mulai. Nadira terjebak di antara kewajibannya sebagai istri kedua dan serangan dari Rania yang penuh kecemburuan. Sementara itu, Adrian tetap dingin, mengabaikan keberadaan Nadira meskipun perlahan-lahan mulai melihat ketulusan dalam dirinya. Bagaimana Nadira bertahan? Akankah cinta muncul di tengah kebencian?
Buku lain oleh Lukman
Selebihnya