Udara pagi di SMA Harapan Bangsa terasa dingin dan mencekam. Kabut tipis menyelimuti halaman sekolah yang biasanya ramai dengan aktivitas siswa. Namun, hari ini, suasana di sekolah elit itu terasa berbeda. Keheningan menyelimuti setiap sudut, hanya diiringi oleh kicauan burung yang sesekali terdengar.
Udara pagi di SMA Harapan Bangsa terasa dingin dan mencekam. Kabut tipis menyelimuti halaman sekolah yang biasanya ramai dengan aktivitas siswa. Namun, hari ini, suasana di sekolah elit itu terasa berbeda. Keheningan menyelimuti setiap sudut, hanya diiringi oleh kicauan burung yang sesekali terdengar.
Di ruang belakang perpustakaan, sebuah pemandangan mengerikan terhampar. Dara, siswi kelas XII yang terkenal cerdas dan berprestasi, tergeletak tak bernyawa di lantai. Tubuhnya terkulai lemas, matanya terpejam, dan wajahnya pucat pasi. Di sampingnya, sebuah buku tebal tergeletak terbuka, halamannya terlipat rapi.
"Dara!"
Seorang siswa berteriak histeris. Suara itu menggema di ruangan yang sunyi, memecahkan kesunyian yang mencekam. Seketika, beberapa siswa lain berhamburan masuk, wajah mereka dipenuhi rasa terkejut dan ketakutan. Kabar duka itu dengan cepat menyebar ke seluruh sekolah.
"Ini tidak mungkin!"
"Dara... Dia... Dia..."
Para siswa berbisik-bisik dengan raut wajah penuh kepedihan. Dara, yang dikenal ramah dan ceria, tiba-tiba menghilang dari dunia ini. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam bagi seluruh penghuni SMA Harapan Bangsa.
"Saksi mata mengatakan Dara ditemukan oleh seorang petugas kebersihan yang sedang membersihkan ruangan ini," ujar Pak Hendra, kepala sekolah, dengan suara bergetar. "Segera setelah penemuan ini, kami menghubungi pihak kepolisian untuk melakukan penyelidikan."
Para polisi dengan sigap memasuki ruang belakang perpustakaan. Mereka memeriksa setiap sudut ruangan, mencari petunjuk yang dapat mengungkap penyebab kematian Dara. Sementara itu, para siswa berkumpul di lapangan, berbisik-bisik dan saling bertukar informasi.
"Apakah dia dibunuh?"
"Siapa yang tega melakukan ini?"
"Aku tidak percaya... Dara... Dia... Dia..."
Rasa penasaran dan ketakutan bercampur aduk dalam hati para siswa. Kematian Dara menjadi misteri yang menggantung di udara, menghantui setiap sudut SMA Harapan Bangsa.
Di tengah suasana mencekam itu, seorang siswa bernama Rian, sahabat Dara, merasa ada yang tidak beres. Dia mengenal Dara dengan baik, dan dia yakin ada sesuatu yang janggal dalam kematian sahabatnya itu. Rian memutuskan untuk menyelidiki sendiri, mencari kebenaran di balik kematian Dara.
"Aku tidak akan membiarkan kematian Dara menjadi misteri," gumam Rian dalam hati. "Aku harus mencari tahu siapa yang bertanggung jawab atas ini."
Rian mulai mengumpulkan informasi dari para siswa, mencari petunjuk yang mungkin terlewatkan oleh polisi. Dia mengunjungi tempat-tempat yang sering dikunjungi Dara, mencari jejak yang mungkin tertinggal.
Saat Rian sedang asyik mencari petunjuk, dia menemukan sebuah catatan kecil di meja Dara. Catatan itu berisi nama-nama siswa dan beberapa simbol aneh. Rian mengerutkan kening, mencoba memahami makna di balik catatan itu.
"Apa ini? Kenapa Dara menulis ini?"
Rian merasa semakin yakin bahwa kematian Dara bukan sekadar kecelakaan. Dia harus mengungkap misteri di balik kematian sahabatnya itu, sebelum terlambat.
Rian mengamati catatan kecil itu dengan saksama. Huruf-hurufnya rapi, seperti biasa, namun simbol-simbol aneh yang menyertainya membuatnya mengernyit. Dia mencoba menghubungkan simbol-simbol itu dengan sesuatu yang dia kenal, namun pikirannya kosong.
"Apa artinya ini, Dara?" gumam Rian pelan. "Kenapa kamu menulis ini?"
Rian memutuskan untuk mencari tahu siapa nama-nama yang tertulis di catatan itu. Dia membuka buku tahunan sekolah dan mencocokkan nama-nama di catatan dengan foto siswa.
"Ardi, Maya, Kevin, dan... siapa ini?" Rian mengerutkan kening. Nama terakhir di catatan itu ditulis dengan tulisan yang samar, sulit dibaca.
"Sepertinya ada yang salah dengan nama ini," pikir Rian. "Huruf terakhirnya seperti 'a', tapi sebelumnya... aku tidak yakin."
Rian mencoba mengingat apakah ada siswa di sekolah yang namanya mengandung huruf 'a' di akhir. Namun, pikirannya masih dipenuhi dengan rasa kehilangan dan kebingungan.
"Mungkin aku harus bertanya pada teman-teman Dara," pikir Rian. "Mungkin mereka tahu siapa orang ini."
Rian memutuskan untuk mencari teman-teman Dara yang lain. Dia mencari mereka di kelas, di kantin, dan di lapangan. Namun, semua teman Dara tampak terpuruk dalam kesedihan, sulit untuk diajak bicara.
"Maaf, Rian," kata Maya, salah satu teman Dara, dengan suara bergetar. "Aku masih belum bisa percaya ini terjadi."
"Aku tahu," jawab Rian. "Tapi kita harus kuat. Kita harus mencari tahu siapa yang bertanggung jawab atas ini."
"Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan," jawab Maya. "Aku hanya merasa... kosong."
Rian mencoba menghibur Maya dengan kata-kata yang lembut. Dia tahu bahwa Maya sangat dekat dengan Dara, dan kehilangan sahabatnya pasti sangat menyakitkan.
"Aku akan berusaha mencari tahu siapa yang melakukan ini," kata Rian. "Demi Dara."
Maya mengangguk pelan. Dia masih terlalu sedih untuk berbicara. Rian memutuskan untuk mencari teman Dara yang lain. Dia berharap mereka dapat memberinya informasi yang lebih berguna.
Saat Rian sedang mencari teman-teman Dara yang lain, dia melihat Pak Hendra, kepala sekolah, sedang berbicara dengan seorang polisi. Mereka tampak serius, wajah mereka dipenuhi dengan kekhawatiran.
"Apa yang mereka bicarakan?" pikir Rian. "Apakah mereka sudah menemukan petunjuk?"
Rian penasaran, namun dia memutuskan untuk tidak mendekati mereka. Dia tidak ingin mengganggu penyelidikan polisi. Dia masih harus mencari tahu siapa nama terakhir di catatan Dara dan apa artinya simbol-simbol aneh itu.
Rian memutuskan untuk kembali ke ruang belakang perpustakaan. Dia berharap dapat menemukan petunjuk lain yang dapat membantunya mengungkap misteri kematian Dara.
Rian kembali ke ruang belakang perpustakaan. Suasana di sana masih terasa dingin dan mencekam. Polisi masih sibuk memeriksa setiap sudut ruangan, mencari petunjuk yang mungkin terlewatkan.
Rian melihat buku tebal yang tergeletak di samping tubuh Dara. Buku itu masih terbuka di halaman yang sama, seperti saat Dara ditemukan. Rian penasaran dengan buku itu.
"Mungkin buku ini ada hubungannya dengan kematian Dara," pikir Rian. "Aku harus melihatnya."
Rian mengambil buku itu dengan hati-hati. Buku itu terasa berat dan tebal. Sampulnya terbuat dari kulit berwarna cokelat tua, dengan judul yang tercetak dengan huruf emas: "Sejarah Misteri di SMA Harapan Bangsa."
Rian membuka buku itu dan membaca halaman pertama. Buku itu berisi catatan tentang berbagai kejadian aneh yang pernah terjadi di SMA Harapan Bangsa. Ada cerita tentang hantu yang bergentayangan di lorong-lorong sekolah, tentang siswa yang menghilang tanpa jejak, dan tentang benda-benda yang bergerak sendiri.
Rian membaca dengan saksama, mencoba menemukan hubungan antara cerita-cerita di buku itu dengan kematian Dara. Namun, dia tidak menemukan petunjuk yang jelas.
"Mungkin buku ini hanya kumpulan cerita rakyat," pikir Rian. "Tapi kenapa Dara membacanya?"
Rian terus membaca buku itu, berharap menemukan sesuatu yang dapat membantu mengungkap misteri kematian Dara. Dia membaca tentang legenda sekolah yang menceritakan tentang sebuah artefak kuno yang tersembunyi di dalam sekolah. Artefak itu konon memiliki kekuatan magis yang dapat mengendalikan pikiran manusia.
"Artefak kuno?" pikir Rian. "Apakah ini ada hubungannya dengan Dara?"
Rian merasa semakin yakin bahwa kematian Dara bukanlah kecelakaan biasa. Dia harus mencari tahu lebih banyak tentang artefak kuno itu.
"Aku harus menemukan artefak itu," tekad Rian. "Mungkin artefak itu dapat memberikan jawaban atas misteri kematian Dara."
Rian menutup buku itu dan menyimpannya di tasnya. Dia memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang artefak kuno itu. Dia akan bertanya kepada guru sejarah dan kepala perpustakaan.
"Aku harus mengungkap misteri ini," tekad Rian. "Demi Dara."
Rian meninggalkan ruang belakang perpustakaan dan menuju ruang guru. Dia harus mencari tahu lebih banyak tentang artefak kuno itu dan apa hubungannya dengan kematian Dara.
Bersambung...
Buku lain oleh EMBUN ABADI
Selebihnya