Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
LUKA HATI SEORANG IBU TIRI

LUKA HATI SEORANG IBU TIRI

Jejak Lestari

5.0
Komentar
Penayangan
5
Bab

Sedih dan terluka hati Raisa saat suami yang dicintainya meninggal dunia, ditambah lagi dengan adanya seorang bayi mungil yang ternyata anak kandung suaminya.

Bab 1 Bayi Mungil Anak Siapa

"Kenapa ayah selalu bohongi kita Bu," tanya Wilma, mukanya ditekuk dan tampak kesal, gadis kecil berusia lima tahun itu kecewa karena ayahnya gagal pulang.

Raisa, wanita berusia 23 tahun itu menatap iba wajah putrinya. Azizur, suami Raisa semalam mengabarkan bahwa hari ini akan pulang dan berjanji akan mengajak mereka jalan-jalan, setelah seminggu suaminya itu keluar kota karena urusan pekerjaan dari kantornya.

Wilma yang ceria membayangkan berbagai macam mainan baru, pagi sudah bersiap menunggu kepulangan ayahnya harus kecewa untuk kesekian kalinya setelah mendengar obrolan orang tuanya yang mengabarkan bahwa ayahnya gagal pulang.

"Pekerjaan ayah belum selesai Nak, nanti kalau sudah selesai ayah pasti pulang," Raisa berusaha menjelaskan kepada Wilma.

"Ayah bohong! Ayah nggak sayang sama Wilma!" seru Wilma sambil menangis terisak-isak, gadis kecil itu berlari masuk kembali ke kamarnya tanpa memperdulikan ibunya yang sedang berusaha membujuknya.

"Sabar sayang, ayah pasti pulang kok, kita keluar jalan- jalan berdua yuk?" Raisa membujuk Wilma yang semakin keras tangisnya.

Ddrrtt-ddrrrttt.

Deringan telepon mengurungkan gerakan tangan Raisa untuk memeluk putrinya. Dalam hatinya berharap panggilan itu dari suaminya dan memberi kabar baik untuk dirinya dan Wilma.

"Hallo, selamat pagi, apakah benar ini keluarga pak Azizur?" sebuah panggilan yang ternyata dari salah satu rumah sakit di kotanya membuat seluruh sendi Raisa seakan terlepas, badannya lemas ketika mendengar kabar bahwa suaminya mengalami kecelakaan.

Raisa baru saja sampai di depan ruang UGD ketika pintu ruangan tersebut dibuka.

"Ada keluarga bapak Azizur di sini?" tanya suster yang baru saja keluar dari ruangan tersebut.

" Ya, saya Sus,saya ist..."

" Silakan masuk Bu, beliau ingin ketemu keluarganya, dan mengenai istrinya, satu jam yang lalu sudah melahirkan bayinya dengan selamat," ujar suster bernama Diva itu memotong kalimat Raisa.

"Mma-maksud suster, istrinya?" tanya Raisa terbata-bata, dia menatap suster itu dengan tatapan tajam dan minta penjelasan.

"Benar Bu, bapak Azizur mengalami kecelakaan karena terlalu laju mengemudikan mobilnya, mungkin setelah menerima panggilan dari kami, karena istrinya meminta kami untuk menghubunginya," jelas suster Diva, dan kemudian pamit pergi karena ada tugas lain.

Tubuh Raisa lemas mendengar penjelasan suster Diva, lantai yang dipijaknya seolah berputar, tubuhnya oleng dan untung saja ada seseorang dengan sigap menangkap tubuh kurus Raisa, lalu menuntun dan mendudukkannya di salah satu kursi yang berada di dekatnya.

"Minum dulu Mbak," ujar wanita paruh baya yang duduk di sebelah Raisa sambil menyodorkan sebuah botol kecil yang berisi air mineral. Raisa tak bergeming, pandangannya kosong.

"Mbak?" Raisa tersentak ketika wanita itu memegang pundaknya dengan lembut.

"Mbak kenapa, siapa yang sakit?" tanya wanita itu dengan ramah dan lembut.

"Su-suami saya Bu," jawab Raisa lirih, tangisnya pecah saat itu juga.

"Keluarga bapak Azizur, silakan masuk!" mendengar nama suaminya disebut Raisa baru sadar kalau dari tadi suaminya sudah menunggunya di dalam.

Raisa menghela nafas dalam-dalam, lalu berdiri dan beranjak dari tempat duduknya, dan sebelum pergi Raisa tak lupa mengucapkan terima kasih kepada wanita paruh baya berjilbab biru yang menolongnya tadi.

Raisa terpaku di dekat tempat tidur, di mana suaminya terbaring tak berdaya. Kepalanya diperban, wajah penuh luka dan lebam membuat Raisa hampir tak mengenalinya.

Amarah yang meluap mendadak sirna, beberapa pertanyaan yang hendak dilontarkan dia singkirkan karena iba melihat keadaannya.

"Mas Aziz," Raisa memanggil suaminya dengan lirih. Air matanya tak terbendung lagi. Dia meraih tangan suaminya, diusapnya telapak tangan lelaki yang sudah menemani hidupnya selama enam tahun itu dengan lembut.

"Ic-Ica," Raisa tersentak mendengar suara suaminya. Ica adalah nama panggilannya sejak kecil.

"Iya Mas, ini aku di sini," sahut Raisa pelan, dia mendekatkan wajahnya ke wajah suaminya.

"Wil-Wilmma ma-na?" tanya Azizur terbata-bata. Tampak gurat kesedihan dan penyesalan di wajahnya karena rasa bersalah.

"Wilma aku titipkan di rumah mbak Salina," jawab Raisa, Salina adalah kakak sulung Azizur yang rumahnya tak jauh dari rumah sakit.

"Mma-maafkan maaass," ucap Azizur tersendat-sendat, air matanya mengalir membasahi pipinya.

"Kata dokter jangan banyak bicara dulu, mas harus istirahat biar cepat pulih," tutur Raisa dengan lembut, diusapnya air mata yang mengalir di pipi suaminya dengan pelan.

"Tol- tolong ambil, am-mbil," dengan bibir bergetar Azizur berkata sambil menunjuk sesuatu di atas meja kecil yang terletak di sebelah tempatnya berbaring. Mata Raisa mengikuti arah yang ditunjuk suaminya, ada ponsel suaminya di atas meja kecil tersebut.

Dengan tangan gemetar Azizur memegang benda pipih berwarna hitam miliknya, dan gemetar jari-jemari tangannya semakin ketara ketika membuka sebuah aplikasi di benda pipihnya itu.

"Hes-Hesti," Azizur menunjukkan sebuah foto pernikahan dirinya dan seorang wanita dengan tangannya yang semakin gemetar. Bibirnya bergerak-gerak seperti hendak mengatakan sesuatu, dan hanya kata HESTI yang mampu terkeluar dari bibirnya.

Raisa menatap foto-foto yang tersimpan di ponsel suaminya dengan pandangan nanar. Karena tak sanggup lagi untuk melihatnya, dia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Rasanya tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Beberapa saat Raisa menyembunyikan tangisnya di balik kedua telapak tangannya. Suasana hening, tak ada suara atau hembusan nafas Azizur, Raisa menurunkan telapak tangan yang tadi ia gunakan untuk menutupi wajahnya dengan perlahan.

Raisa terkesiap!

Suaminya diam, kedua matanya terpejam, ponsel yang tadi dalam genggamannya tergeletak di atas perut suaminya.

Raisa memegang tangan suaminya, terasa dingin, lalu digoncang-goncangkan tubuh suaminya sambil memanggil-manggil namanya, suaminya tetap diam dan tak bergeming. Dengan panik ditekannya tombol yang berada di dekatnya.

"Innalillahiwainalilahi roji'un," ucap dokter yang baru saja memeriksa kondisi Azizur, yang disahuti oleh dua suster yang menyertainya.

"Maafkan kami Bu, kami sudah berusaha semampu kami, tapi Allah lebih sayang terhadap pak Azizur, kami turut berduka cita," ujar dokter itu dengan pelan, lalu mengarahkan apa-apa yang harus dilakukan oleh kedua suster tadi.

Dengan sigap dan cekatan kedua suster itu mengurus jenazah Azizur, mereka menutup seluruh tubuh Azizur dengan selimut.

Raisa diam terpaku, bergeming dari tempatnya berdiri. Pandangannya kosong. Dan ketika tempat tidur di mana jasad suaminya terbaring bergerak keluar, Raisa baru tersadar, ditatapnya jasad suaminya yang ditutup selimut itu semakin

menjauh dibawa oleh kedua suster dan petugas rumah sakit.

"Mas Aziiizz!" Raisa menangis dan menjerit memanggil suaminya. Dia tak peduli dengan orang-orang di sekitarnya, dia ingin berlari mengejar mereka yang membawa jasad suaminya, tapi kedua kakinya seolah terkunci di tempatnya berdiri.

"Ibu," seorang suster datang menghampiri Raisa, dalam dekapannya ada bayi perempuan mungil yang dibedong warna biru muda.

Raisa bergeming, pandangannya kosong menatap keluar ruangan. Lalu suster itu menyentuh pundaknya, hingga membuat Raisa terperanjat.

"Maaf Bu, kami turut berduka cita atas meninggalnya bapak Azizur, dan ini anaknya pak Azizur," ujar suster yang tag namanya bertuliskan Yulia.

Raisa mundur selangkah ketika suster Yulia mengangsurkan bayi mungil itu padanya. Dia menggelengkan kepalanya. Suster Yulia menatap bingung melihat sikap Raisa.

"Saya nggak mau, itu bukan anak saya," tolak Raisa, diliriknya bayi mungil itu. Mengingat pengkhianatan yang telah dilakukan suaminya, timbul rasa benci melihat wajah mungil yang tak berdosa itu.

"Tolong kerja samanya Bu, ibu bayi ini pergi setelah melahirkan tanpa memberi tahu kami, beliau meninggalkan bayinya dan ini," ujar suster Yulia sambil menyodorkan selembar kertas berwarna putih.

Raisa menerima kertas itu dan membacanya dalam hati.

"Assallamualaikum Mas, maafkan saya karena tak bisa mewujudkan keinginanmu dan ibumu. Lahirnya Ziana mungkin mengecewakanmu, terutama ibumu. Oleh itu terpaksa saya pergi, tolong jaga dan sayangi Ziana walaupun kehadirannya tak di harapkan. Ziana darah dagingmu Mas. Saya doakan semoga mbak Raisa secepatnya hamil dan bisa menghadirkan seorang putra untukmu, dan membuat bahagia ibumu.

Terima kasih atas segalanya."

HESTI

Raisa menelan saliva setelah membaca surat tersebut. Kedua sudut matanya mengembun.

"Jadi perempuan bernama Hesti itu nggak tahu kalau mas Aziz meninggal," gumam Raisa sambil melipat kembali kertas itu dan memasukkannya dalam tas kecilnya.

"Ini bayinya Bu, dia cantik loh," ucap suster Yulia sambil menyerahkan balutan kain bedong berisi bayi mungil tersebut.

"Saya bilang nggak mau, ya nggak mau Sus! Ini bukan anak saya!" Raisa menolaknya dengan kasar.

Suster Yulia terkesiap, wanita yang dikenal orang sebagai suster cantik yang sabar itu tampak menghela nafas panjang, dia merasa kesal tapi berusaha mengendalikan emosinya.

"Baiklah Bu, kalau memang ibu nggak mau menerima dan merawat bayi cantik tak berdosa ini..." suster Yulia sengaja menggantung kalimatnya, dia sengaja menunggu reaksi dari Raisa.

Raisa melirik sekilas ke arah bayi mungil yang sudah diberi nama Ziana itu, dalam hatinya timbul perasaan iba, tapi di sisi lain hatinya merasa sangat sakit hati karena dikhianati oleh suami yang selama ini sangat dipercayai kesetiaannya.

"Kami, pihak rumah sakit akan menyerahkan bayi cantik tak berdosa ini ke panti asuhan," ucap suster Yulia dengan nada tegas, karena Raisa diam tak bergeming dan tak menanggapi apa yang disampaikannya.

"Terserah, itu bukan urusan saya Sus, karena itu bukan anak saya," sahut Raisa pelan, dalam diam dia mencuri pandang ke arah bayi mungil itu, dan saat itu juga kedua mata bayi itu terbuka seolah menatapnya dengan tatapan sayu.

Mendengar ucapan Raisa, suster Yulia merasa geram, bergegas dia pergi dari hadapan Raisa tanpa sepatah kata pun, sambil berjalan didekapnya bayi mungil itu dengan erat, tanpa sadar air matanya mengalir di pipinya.

"Kalau memang nggak ada yang mau merawatmu, biar ibu yang menjaga dan merawatmu Nak," ucap suster Yulia lirih sambil mencium pipi bayi mungil itu.

"Suster! Tunggu!"

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Jejak Lestari

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku