Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
KIRANI SI WANITA MALAM

KIRANI SI WANITA MALAM

Jejak Lestari

5.0
Komentar
45
Penayangan
19
Bab

Tentang Kirani, wanita muda yang bergelar istri yang terpaksa menjadi wanita malam demi memenuhi kebutuhan hidup keluarga suaminya.

Bab 1 Awal Kisah Kirani

"Ini kuncinya Tuan," ucap Tina, salah satu pekerja yang bertugas di bagian resepsionis sambil melirik ke arah wanita muda yang berdiri di sebelah Prasna, anak pemilik hotel di mana Tina bekerja.

Prasna mengambil kunci tersebut tanpa bersuara, lalu menarik pelan tangan Kirani, wanita muda yang bersamanya.

"Wajah sih polos dan lugu, tapi bawah salome, idih amit-amit," cebik Nita sambil mengikuti langkah Prasna dan Kirani dengan ekor matanya.

"Kalau Non Nelsa tahu, pasti perang dunia ke empat." Sambil mengunyah permen karet mata Nita terus mengikuti ke mana anak pemilik hotel tadi membawa Kirani.

"Sstt ... ada Non Nelsa, diam! Pura-pura nggak tahu!" bisik Wanda, tangannya menyiku lengan Nita.

Mendengar ucapan Wanda, bergegas Nita mengambil tong sampah kecil dan pura-pura ke belakang untuk membuang sampah.

"Hai, kenapa diam saja?" tanya Prasna, pria tampan yang membawanya dari warung remang-remang tadi.

"Engg-enggak apa-apa Om, eh Tuan," Kirani menjawab dengan gugup, dia ingat tadi saat Nita memanggil pria itu dengan sebutan Tuan.

"Namamu siapa?" tanya Prasna sambil mengangkat dagu Kirani dengan tangan gemetar.

"Kir-Kir...."

"Kikir? Ha ha ha, nama yang unik!" Prasna tertawa untuk menutupi perasaan groginya.

"Ma-maaf Tuan, sebelum jam sembilan saya harus pulang," ucap Kirani pelan, Prasna mengerutkan dahinya heran, lalu matanya beralih ke pergelangan tangannya. Dua puluh delapan menit lagi tepat jam sembilan.

"Cepat lakukan sekarang Tuan!" Lirih, Kirani berucap, tangannya mulai melepas kancing bajunya.

"Apa yang kamu lakukan?" tanya Prasna sambil menarik tangan Kirani.

"Sudah nggak ada waktu lagi Tuan, lakukan sekarang!" Kirani mendesak Prasna dengan suara lirih dan dengan nafas yang memburu.

Prasna menelisik wajah Kirani, dalam hatinya merasa heran dan aneh dengan sikap wanita yang berada di depannya.

Ingatan Prasna melayang pada kejadian sekitar satu jam yang lalu. Pikirannya sedang kacau karena habis bertengkar dengan tunangannya yang bernama Nelsa.

Prasna tak mau mengemudi dalam keadaan pikiran kacau, dan dia menghentikan mobilnya di depan sebuah warung.

Niat Prasna untuk membeli air mineral di sebuah warung berubah ketika melihat Kirani yang sedang duduk dengan gelisah, dan ketika pemilik warung itu membisikkan sesuatu di telinganya, tanpa berpikir panjang Prasna mengangguk dan langsung mengulurkan beberapa lembar uang merah kepada pemilik warung tersebut.

Kirani beranjak dan mengikuti langkah Prasna setelah pemilik warung itu mencolek bahunya, sambil menunjuk ke arah mobil Prasna.

"Tu-Tuan, hampir jam sembilan," Ucapan Kirani membuyarkan lamunan Prasna.

"Memang kenapa kalau jam sembilan, terserah saya mau pakai kamu sampai jam berapa!" jawab Prasna santai dan tanpa ekspresi.

"Nggak bisa Tuan, saya harus sampai rumah sebelum jam sepuluh, kalau tidak..."

"Kalau tidak kenapa?" tanya Prasna memotong ucapan Kirani, dia penasaran dan ingin tahu apa alasannya.

"Atau kamu punya janji dengan orang lain?" tanya Prasna lagi sambil menatap Kirani dengan tatapan tajam.

"Enggak ada Tuan, cepat lakukan sekarang, saya harus pulang dan harus membawa uang untuk kebutuhan keluarga saya!" jawab Kirani dengan cepat, lalu dengan cepat pula wanita itu membuka kancing-kancing bajunya.

"Jangan, bukan itu yang saya inginkan!" Prasna mengambil bantal untuk menutupi tubuh Kirani yang setengah terbuka.

"Lalu apa maksud Tuan membawa saya ke sini? Tuan sudah membuang waktu saya!" ucap Kirani dengan emosi yang ditahan, terbayang wajah suami dan ibu mertuanya kalau nanti pulang tanpa membawa uang sepeserpun.

Prasna tersentak mendengar ucapan Kirani. Rasa penasarannya semakin kuat terhadap wanita yang berwajah teduh dan polos itu. Ada gurat kesedihan yang terlihat oleh Prasna dalam tatapan Kirani.

"Tunggu! Jangan pergi!" Prasna berseru memanggil Kirani yang sudah siap membuka pintu.

Kirani menoleh dan menatap Prasna dengan tatapan sengit.

"Apa lagi yang Tuan inginkan? Mau mempermainkan saya?" setelah berkata seperti itu Kirani langsung pergi dengan membanting pintu kamar dengan keras.

Prasna terperanjat, bergegas dia lari mengejar Kirani. Timbul rasa sesal dan bersalah di hatinya.

"Sayang, apa yang kau lakukan dengan perempuan tadi?" Langkah Prasna terhenti karena dicegat oleh Nelsa yang dari tadi mencarinya di sekitar hotel tersebut.

"Bukan urusanmu!" sentak Prasna sambil menepis tangan Nelsa. Prasna terus berlari dan mencari Kirani, tapi lelaki itu harus menelan kekecewaan saat melihat Kirani masuk ke dalam sebuah taksi, Prasna hanya bisa pasrah saat taksi itu bergerak pergi.

Di sebuah lorong sempit, Kirani melangkah dengan gontai, jantungnya berdegup kencang membayangkan apa yang bakal terjadi sebentar lagi.

Tok tok tok!

Kirani mengetuk pintu rumahnya pelan, dia pasrah walau apa pun yang akan dilakukan oleh keluarga suaminya.

"Nah, itu yang kita tunggu pulang!" ucap Bu Uli sambil beranjak bangun untuk membukakan pintu. Hani, kakak ipar Kirani menyambut ucapan ibunya dengan senyum sumringah, terbayang uang yang akan didapat dari Kirani.

"Vin, Davin, istrimu pulang!" Hani memanggil Davin, adiknya yang sedang menikmati makan malamnya.

Mendengar suara kakaknya, Davin meninggalkan makanannya yang masih banyak tersisa.

"Hhmmmm, istri cantikku sudah pulang rupanya!" ucap Davin sambil merangkul Kirani yang berniat masuk ke kamarnya.

"Saya capek Bang, mau istirahat dulu," balas Kirani dengan suara lirih, badannya terasa lemas karena perutnya hanya terisi sepotong roti tadi pagi ketika bekerja di pasar.

Ya, dari pagi sampai menjelang sore Kirani bekerja di sebuah pasar besar. Bersama para pejuang keluarga yang lain, demi mendapatkan uang Kirani menawarkan jasa tenaganya membantu pengunjung pasar untuk mengangkat barang-barang, atau lebih tepatnya Kirani bekerja sebagai kuli angkut barang.

Membawa hasil yang tak seberapa akan menjadi malapetaka bagi Kirani, suami dan ibu mertuanya pasti akan menghadiahi lebam dan lukisan luka di sekujur badannya, dan karena tak mau itu terjadi Kirani mengambil jalan pintas untuk mendapatkan uang, yaitu menjadi penjaja cinta di warung remang-remang setiap habis pekerjaannya di pasar besar.

"Oh ... nggak masalah Sayang, istirahatlah, tapi ... itunya jangan dibawa dooong!" ucap Davin sambil menunjuk tas kulit yang tersangkut di badan Kirani.

Kirani hanya diam dan membiarkan ketika Davin menarik tas kulitnya dengan kasar, dia hanya melirik sekilas saat suaminya melonjak gembira dan berlari ke arah ibu dan kakaknya.

"Cihuuiiiyyy, kita pesta malam ini," Davin sambil membuka tas itu dan mengobrak-abrik isi di dalamnya.

Merasa tak puas karena tak mendapat apa yang dicarinya, Davin menumpahkan seluruh isi tas tersebut, Bu Uli dan Hani dengan antusias ikut mencari dan memporak porandakan isi tas milik Kirani.

Darah Davin mendidih, hanya uang recehan dan kertas-kertas lusuh yang berada di dalam tas Kinanti. Bu Uli dan Hani saling bertukar pandang, wajah mereka terlihat bengis karena marah.

"Kiraniiiiiii!"

Suara Davin menggelegar, di dalam kamarnya yang sempit Kirani bersiap-siap, dia pasrah memasang badannya, mau dihajar atau dibunuh sekali pun.

"Sini kau sialan! Aku bilang mau uang malam ini, tapi apa yang kau bawa, hah!" Davin menyeret Kirani dan mendorongnya keras, hingga istrinya itu jatuh terduduk tepat di kaki Bu Uli yang sedang berdiri sambil berkacak pinggang.

"Heh mantu sialan, sudah ku bilang besok waktunya arisan, mau ditaruh mana mukaku ini kalau nggak ada uang!" pekik Bu Uli sambil menjambak rambut panjang Kirani.

"Dan aku besok mau ke salon, mau ketemu mas Feri, pokoknya aku nggak mau tahu, malam ini harus ada uang!" Hani tak mau ketinggalan, dia mengikuti jejak ibunya menjambak rambut Kirani.

"Cepat berikan uang itu sekarang! Pasti kau sembunyikan!" hardik Davin sambil menendang punggung Kirani.

"Nggak ada Bang, sumpah saya nggak dapat uang hari ini," ucap Kirani sambil menahan sakit. Tak ada tangisan atau air mata Kirani.

Plak!

Plak!

"Aku nggak mau tahu, aku mau uang malam ini juga!" hardik Hani dengan keras, dia memukul wajah Kirani dengan remot TV secara membabi buta.

"Cukup! Hentikan!"

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Jejak Lestari

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku