Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
PESUGIHAN BERUJUNG PETAKA

PESUGIHAN BERUJUNG PETAKA

Jejak Lestari

5.0
Komentar
3K
Penayangan
15
Bab

Tentang Farah, ibu rumah tangga muda yang terpaksa menumbalkan putrinya karena terjerat hutang rentenir.

Bab 1 1. Pusing Karena Banyak Penagih Hutang

.

"Bu, ada orang datang!" seru Galang memanggil Farah, ibunya.

Farah bergegas ke depan, wanita berusia dua puluh delapan tahun itu mengintip dari jendela, untuk melihat siapa yang datang mencarinya. Di depan pintu tampak dua orang lelaki berjaket kulit hitam.

"Bu Farah, keluar cepat! Kami tahu ibu ada di dalam," ucap salah satu lelaki tersebut.

Tubuh Farah gemetar, dia tak berani keluar menemui mereka, karena belum ada uang yang harus diberikan kepada mereka. Mereka adalah para penagih angsuran koperasi mingguan di mana Farah meminjam uang untuk menutupi hutangnya di tempat lain.

"Bu Farah! Jangan main-main dengan kami! Mau keluar atau saya ambil motor ini!" teriak lelaki itu tadi. Farah tak ada pilihan, dia harus berani menghadapi mereka, karena Farah tahu mereka tak main-main dengan ancamannya.

Ceklek!

Farah membuka pintu,dia menyembulkan kepalanya keluar dengan badan masih di dalam. Dengan gemetar dia minta tempo untuk membayar angsuran.

"Maaf_maaf Pak, saya belum ada uang, dagangan sepi, minggu depan saya bayar dobel," ucap Farah dengan perasaan takut .

"Jangan banyak alasan Bu Farah, sudah dua minggu sampean nggak bayar angsuran!" bentak Sardi, nama salah seorang penagih yang berbadan gemuk tinggi itu.

"Tapi saya benar-benar belum ada uang Pak, minggu depan saya janji bayar dobel," ucap Farah meyakinkan mereka.

Sardi dan temannya yang bernama Andri bertukar pandang, lalu keduanya berbisik-bisik.

"Baiklah bu Farah, minggu depan kami datang harus siap uang dobel untuk angsuran, kalau ingkar lagi, nggak segan-segan kami masuk rumah dan ambil barang yang ada!" ancam Andri dengan nada garang.

"Ba-baik Pak, saya janji," ucap Farah pelan.

Dua jam kemudian.

"Permisi, ibunya ada Dik?" tanya seorang lelaki yang baru datang dengan motor maticnya.

"Buuuuu, ada orang lagi!" Galang berteriak memanggil ibunya.

"Ada apa sih teriak-teriak!" Farah menghardik Galang.

"Itu ada orang," ucap Galang sambil menunjuk Wisnu, penagih koperasi harian.

Wisnu yang sedang sibuk menerima panggilan telefon tak menyadari kalau Farah sudah keluar.

Melihat Wisnu sedang asyik dengan HPnya, Farah menggunakan kesempatan yang ada untuk lari sembunyi.

"Mbak, mbak Farah mau ke mana? Jangan lari Mbak!" Wisnu berteriak memanggil Farah yang sedang berlari ke belakang rumah.

"Mau ke mana kau?" bentak Wisnu setelah berhasil menangkap tangan Farah.

"Maaf Mas, anu...anu," Farah gelagapan nggak bisa menjawab. Wajahnya ketakutan.

"Anu, anu apa? Mana uangnya? Sudah tiga hari kamu nggak ngasih angsuran!" bentak Wisnu dengan kasar.

"Maaf Mas,saya belum ada uang, besok saya bayar dobel!" ucap Farah dengan nada memohon.

"Besok dobel, besok dobel, gitu terus. Mbok ingat pas mau ngutang to Mbak, kalau begini caranya saya yang susah Mbak!" Wisnu menghardik lalu pergi begitu saja.

Farah menghela nafas lega, walau habis dicaci maki dia tak peduli. Baginya cacian dari para penagih hutang itu hal biasa. Dia tak menyadari di balik pagar sebelah rumahnya ada beberapa ibu yang mengintip kejadian tadi.

Farah bersenandung kecil, hari ini dia terselamat dari dua penagih koperasi, masih ada dua lagi yang sebentar lagi pasti datang.

"Selamat siang Mbak." Sapaan seorang lelaki mengejutkan Farah yang baru saja mau keluar dari rumahnya. Ya, dia harus keluar untuk menghindari penagih koperasi yang sebentar lagi akan datang.

"Maaf Mas, saya buru-buru, ada perlu apa ya?" tanya Farah sambil menelisik lelaki berpakaian rapi itu, dalam hatinya berdebar-debar, takut salah seorang penagih koperasi datang.

"Saya dari koperasi Tunas Indah, ingin menawarkan pinjaman, mbak punya usaha kan?" tanya lelaki yang mengaku bernama Basir itu.

Terbersit rasa senang dan lega di hati Farah, dia mengurungkan niatnya untuk pergi.

"Ya Mas, suami saya jualan perabotan keliling. Ini pinjaman syaratnya apa saja dan sistem harian apa mingguan?" tanya Farah penuh semangat.

"Syaratnya seperti biasa Mbak, foto copy KTP dan KK. Bayarnya mingguan ya Mbak," Basir menjelaskan.

Tak memakan waktu lama, sejumlah uang sudah berada di tangan Farah, dan satu lubang tergali lagi oleh Farah untuk menutupi lubang yang lain.

"Buuuu, adik banguun!" seru Galang memanggil Farah yang sedang mengangkat jemuran di pagar depan rumah. Dia tak merasa takut atau khawatir ada penagih koperasi yang akan datang, karena dia baru saja mendapat pinjaman uang dari Basir, petugas koperasi yang datang tadi. Pinjaman yang didapatkan tadi cukup untuk membayar angsuran-angsuran sampai dua hari ke depan.

Seminggu kemudian.

"Mana Bu uangnya, minggu lalu sudah janji mau bayar dobel hari ini!" Sardi membentak Sarah yang ketahuan mau pergi saat mereka datang. Sarah ketakutan, dia tak menyangka dua orang penagih ini datang lebih awal dari biasanya.

"Maaf, maaf Pak," ucap Farah gugup.

"Maaf lagi, kami ke sini tiap minggu bukan hanya untuk dengar kata maaf, kami minta uang angsuran, uang yang sudah Ibu pinjam!" Sardi membentak lagi lebih keras.

"Tapi uangnya belum ada Pak," kata Farah, dia berharap dua lelaki itu memberi kelonggaran seperti biasanya.

"Kami nggak main-main dengan ucapan kami seminggu yang lalu, kami nggak akan pergi sebelum mendapatkan uang!" Sardi mengingatkan ancamannya yang akan mengambil barang apa daja sebagai ganti uang angsuran.

"Ada apa sih ribut-ribut?" tanya Yulia, tetangga yang rumahnya tepat di depan rumah Farah. Di komplek itu Yulia terkenal dengan julukan kompor julid, karena sifatnya yang suka mencampuri urusan orang lain.

Melihat Yulia datang, Farah merasa gengsinya naik. Tanpa membuang waktu dia masuk ke dalam rumah dan mengambil uang yang sebenarnya untuk membayar sewa kios, kios itu untuk menyimpan barang dagangannya.

"Saya harus bayar berapa Pak?" tanya Farah kepada Sardi yang masih memasang wajah garang.

"Tiga minggu jadi 720 ribu!" jawab Sardi dengan suara lantang.

"Ini 960 ribu, jadi minggu depan nggak usah ke sini," kata Farah sambil menyerahkan uang berwarna merah sepuluh lembar, Farah melirik ke arah Yulia yang dari tadi memperhatikannya.

Sardi dan Andri saling pandang, wajah yang tadi sangar berubah cerah ketika melihat lembaran uang merah yang diterima dari Farah. Mereka merasa lega karena terbebas dari omelan atasannya.

"Nah, gini dong Bu, jadi kan sama-sama enak," ucap Sardi sambil menghitung uang tersebut.

"Jadi uang ibu sisa empat puluh ribu ya," ucap Sardi sambil mencari -cari uang pecahan untuk dikembalikan kepada Farah.

"Nggak, nggak usah Pak, kembaliannya buat beli rokok kalian saja," tolak Farah sambil melirik ke arah Yulia.

"Wah, yang bener bu Farah?" tanya Andri seolah tak percaya. Farah yang selalu menghindar kalau ditagih kok bisa-ibisanya ngasih uang rokok.

"Bener lah Pak, ingat ya minggu depan nggak usah ke sini," cetus Farah tegas.

"Yang baru banyak duit sombong!" celetuk Yulia setelah Sardi dan Andri pergi.

"Memang ada masalah dengan kamu Yul?" tanya Farah sinis.

"Paling juga duit dapat dari utangan, gali lobang tutup lobang gituuu!" sindir Yulia sambil mencibir.

"Memang kenapa kalau aku utang? Kamu rugi gitu? Enggak kan?" Farah mulai emosi.

"Nggak rugi sih, cuma risih aja tiap hari ada orang mondar-mandir datang NAGIH UTANG!" kata Yulia dengan menegaskan ucapan kata yang terakhir.

"Kenapa kamu yang risih? Mereka datang ke rumahku, nggak ke rumahmu!" Farah terus saja membalas kata-kata Yulia.

"Memang susah ya ngomong sama orang yang hobby utang," ucap Yulia tak mau kalah.

"Lebih susah ngomong sama orang yang suka ikut campur urusan orang. Sekarang aku mau tanya, aku bayar utang, memang minta kamu untuk bayarkan? Enggak kan? Terus apa urusanmu sama aku? Jawab Yul!" bentak Farah dengan sengit.

Melihat Farah naik pitam, wajah Yulia berubah pucat, dia tak berani menjawab dan bergegas pergi dari halaman rumah Farah.

"Dik, mas mau ke rumah Bayu, sini uang sewa kios yang Mas kasih tadi malam, biar nanti Mas sekalian mampir ke rumah pak Murshid dan membayarkan uang itu," kata Herman, suami Farah.

Farah terkejut mendengar ucapan suaminya. Dia bingung harus bilang apa, uang yang seharusnya untuk bayar sewa kios sudah dipakai untuk membayar angsuran koperasi.

"Kan belum jatuh tempo Mas?" kilah Farah, dia memutar otaknya untuk mencari alasan.

"Besok jatuh tempo, dari pada nanti pak Murshid menagih ke sini, kan lebih baik kita yang ke sana," ucap Herman sambil menghidupkan motor maticnya.

"Anu-anu Mas, uangnya dipakai mbak Aminah, tapi besok pasti dikembalikan," ucap Farah dengan gugup, Aminah adalah teman akrab Farah yang rumahnya di gang sebelah.

"Mbak Aminah? Kamu nggak salah? Dia kan kaya raya masa pinjam sama kita?" tanya Herman, dahinya berkerut karena heran, dan sesaat kemudian Herman menyambung ucapannya.

"Kalau begitu ayo Mas antar ke rumah mbak Aminah, kita harus segera membayar sewa kiosnya sebelum pak Murshid marah, sudah tiga bulan kita nunggak, untung motor butut Mas itu laku dijual."

"Jangan sekaranglah Mas," Farah berusaha menolak dan mencari alasan.

"Kapan lagi, ayo cepat naik, kamu mau diusir oleh pak Murshid?"

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Jejak Lestari

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku