TULPA (Permainan Cinta)

TULPA (Permainan Cinta)

Kynara

5.0
Komentar
858
Penayangan
94
Bab

"Gadis gila!" Itulah panggilanku di sekolah, hanya karena aku sering berimajinasi, mereka menganggapku demikian. Tetapi, aku tidak peduli. Imajinasi adalah hidupku! Hingga suatu hari, salah satu rangkaian imajinasi yang kubuat menjadi nyata! Sang pangeran telah datang untuk menemani sang putri yang kesepian. Dia ... Kelabu, pangeranku.

Bab 1 Lilin

TULPA

1. Lilin

Aku tersenyum tipis, terharu akan kejutan dari sang mama yang kini berdiri di depanku seraya membawa sebuah roti ulang tahun. Ya, hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke-lima belas tahun.

"Ayo tiup lilinnya, sebelum itu mintalah permohonan," ujar mamaku.

Kupejamkan kedua mataku. Menyatukan kedua tangan, terkepal kuat di depan dada. Hanya satu yang kuinginkan. Aku hanya ingin sosok pangeran untuk hadir di kehidupanku. Setelahnya, membuka mata dan meniup lilin berbentuk angka itu. Aku tersenyum, melihat mama yang bertepuk tangan senang. Bukan seperti ulang tahun pada anak-anak lainnya yang ramai akan kehadiran sosok teman, kado, lalu perhiasan di mana-mana. Ulang tahunku sederhana, hanya satu buah roti ulang tahun dan lilin. Selebihnya tidak ada. Teman? Ya, aku memang tidak memiliki seorang teman. Ditambah lagi dengan sifatku yang tidak peduli sekaligus pendiam, membuatku susah mendapatkan seorang teman. Dan malam ini, aku meminta seseorang datang dalam kehidupanku. Seperti pada ulang tahun yang sebelum-sebelumnya.

***

"Kejora, sepertinya nanti malam mama akan pulang terlambat. Kamu di rumah, jaga diri baik-baik."

Aku menghela napas. Lagi-lagi, mamaku harus bekerja lembur untuk menafkahi hidup kami. Setelah lima tahun ditinggal pergi almarhum ayah, mama begitu sibuk mengurusi perusahaan mendiang sang ayah. Pagi hari sudah berangkat, pulang malam hari. Jujur saja, aku mencemaskan kesehatan mama.

"Jangan lupa istirahat, Ma," ucapku. Mama hanya tersenyum. Lalu, kembali sibuk mengolesi roti lapis dengan selai kacang untukku.

Setelahnya keheningan melanda. Kami sama-sama sibuk menikmati menu sarapan kami. Beberapa menit kemudian, mama bangkit dari tempat duduknya disusul olehku.

"Ayo, mama antar ke sekolah." Aku hanya mengangguk dan mulai memakai tas sekolahku.

Sembari menunggu mama yang tengah memanggil Bi Sum–pembantu rumah kami, aku memilih masuk terlebih dahulu ke dalam mobil seraya mendengarkan musik menggunakan earphones. Suara pintu mobil yang ditutup, menyadarkanku dari larutan melodi indah yang tengah kudengarkan. Menoleh, mendapati mama yang mulai menyalakan mesin mobil. Tidak ada obrolan yang kami lakukan. Aku sendiiri, tidak tahu harus memulai obrolan dari mana. Sehingga akhirnya, aku memilih menatap keluar jendela, masih dengan mendengarkan musik dari earphones. Mobil kami mulai memelan, hingga akhirnya berhenti tepat di depan gerbang sekolahku. Menghela napas pelan, sebelum akhirnya melepaskan tali pengaman. Mencium punggung tangan mama.

"Hati-hati di jalan, Ma."

Setelahnya, mobil mama melenggang pergi. Menyisakan diriku yang masih berdiri di depan gerbang sekolah dengan wajah kusut. Bukan tanpa alasan, jika diberi pilihan antara sekolah dan rumah, lebih baik aku berada di rumah. Membaca novel atau bahkan menonton film. Daripada harus meladeni beribu tatapan yang selalu dia dapatkan. Dan yah, semua itu kini mulai terjadi. Saat langkahku baru saja menginjak di halaman sekolah, semua mata menatapku takut, mengejek, kasihan, dan masih banyak lagi. Menghela napas kasar. Ini belum apa-apa, karena ....

"Hei lihat! Gadis gila itu masih saja berani menginjakkan kaki di sini. Kenapa pihak sekolah tidak membawanya ke rumah sakit jiwa saja sih?"

Hah, baru saja akan dibicarakan, gunjingan itu meluncur bebas dari mulut Diana yang notabenenya adalah teman sekelasku. Aku hanya memasang wajah datar, mencengkeram erat tali tasku, mencoba untuk bersabar.

Duk!

Memejamkan kedua mata, lalu menghela napas lagi. Dahiku berdenyut hebat. Bahkan, bisa kupastikan benjolan besar akan bertengger di sana. Suara tawa seketika menggema ketika melihat tubuhku terjerembab mencium lantai koridor kelas. Rendy–kekasih Diana baru saja menjulurkan kakinya saat diriku akan melewatinya. Oh bagus, sepasang kekasih itu sepertinya senang membullyku.

"Sorry sengaja," ucapnya tanpa merasa bersalah.

Aku bangkit dalam diam. Melirik ke arah Diana yang kini mulai bergelayut manja di lengan kekar Rendy. Mendesis pelan. Ingin sekali aku membalas perbuatan kalian, tetapi mengingat bahwa catatanku di dalam buku BK sudah banyak, aku memilih melenggang pergi tanpa memperdulikan ejekan mereka. Jangan sampai, mama yang merasakan dampaknya lagi hanya gara-gara perbuatanku.

Sesampainya di dalam kelas pun, sama. Kelas yang semula ramai, kini hening saat aku berdiri di ambang pintu. Mereka menatapku sinis. Memutar bola mata jengah, melangkah menuju ke bangku. Terdiam sejenak, mencoba menelisik bangkuku. Aku tidak mau kejadian beberapa hari yang lalu, di mana aku terjatuh dengan mengenaskah karena ulah teman-teman sekelasku yang dengan biadabnya membuat bangkuku rusak. Setelah dirasa aman, aku mulai mendudukinya dengan tenang. Berpuluh mata tajam di kelasku, masih bisa kurasakan menghunus ke arahku.

"Mata kalian mau gue colok?" tanyaku dengan nada pelan tetapi tegas. Membuat mereka mendengus lalu kembali ke aktivitas mereka masing-masing. Aku tidak peduli, kupilih mengambil buku bersampul hitam lalu mulai menuangkan tinta hitam berupa kalimat ke dalamnya.

Imajinasiku mulai berkeliaran liar. Dengan semangat aku menuliskan sebuah kisah berisikan bajak laut dengan monster gurita. Terdengar mengerikan, tetapi itu memang cukup seru bagiku. Ketenanganku hilang, saat salah satu teman sekelasku menyerobot paksa bukuku. Dia memicingkan matanya, sebelum akhirnya berteriak.

"Hei kawan! Lihat, gadis gila ini mulai berhalusinasi lagi!" Sambil mengangkat tinggi-tinggi bukuku. Selanjutnya, dia berlari menuju ke gerombolan anak-anak. Disusul dengan tawa mengejek.

"Memangnya ada monster laut heh?"

"Apa-apaan ini, masa bajak laut memiliki kekuatan? Pengendali air lagi? Hahaha!"

"Wah makin hari, makin menjadi aja tuh!"

Dan ejekan lainnya. Hei! Itu kan imajinasiku, kenapa mereka harus repot-repot menilainya? Dengan kesal, aku merebut kembali bukuku lalu duduk dengan kasar. Tidak memperdulikan tawa dan ejekan teman-temanku. Aku memilih memasang earphones kembali dan menyetel musik sekeras yang kubisa agar suara ejekan dan tawa menyebalkan itu tidak lagi terdengar di gendang telingaku.

Hei, aku tidak salah bukan? Aku bebas berimajinasi yang kumau. Memangnya salah? Awas saja jika suatu hari nanti aku menjadi penulis terkenal, kubungkam bibir kalian. Tunggu saja nanti!

Bersambung ....

"Aku tidak peduli dengan omongan mereka. Ini tentang aku, bukan mereka. Ini tentang takdir yang ingin kupijak."

_Kejora Amara_

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Kynara

Selebihnya

Buku serupa

Balas Dendam Kejam Sang Mantan

Balas Dendam Kejam Sang Mantan

Gavin
5.0

Perusahaanku, CiptaKarya, adalah mahakarya dalam hidupku. Kubangun dari nol bersama kekasihku, Baskara, selama sepuluh tahun. Kami adalah cinta sejak zaman kuliah, pasangan emas yang dikagumi semua orang. Dan kesepakatan terbesar kami, kontrak senilai 800 miliar Rupiah dengan Nusantara Capital, akhirnya akan segera terwujud. Lalu, gelombang mual yang hebat tiba-tiba menghantamku. Aku pingsan, dan saat sadar, aku sudah berada di rumah sakit. Ketika aku kembali ke kantor, kartu aksesku ditolak. Semua aksesku dicabut. Fotoku, yang dicoret dengan tanda 'X' tebal, teronggok di tempat sampah. Saskia Putri, seorang anak magang yang direkrut Baskara, duduk di mejaku, berlagak seperti Direktur Operasional yang baru. Dengan suara lantang, dia mengumumkan bahwa "personel yang tidak berkepentingan" dilarang mendekat, sambil menatap lurus ke arahku. Baskara, pria yang pernah menjanjikanku seluruh dunia, hanya berdiri di sampingnya, wajahnya dingin dan acuh tak acuh. Dia mengabaikan kehamilanku, menyebutnya sebagai gangguan, dan memaksaku mengambil cuti wajib. Aku melihat sebatang lipstik merah menyala milik Saskia di meja Baskara, warna yang sama dengan yang kulihat di kerah kemejanya. Kepingan-kepingan teka-teki itu akhirnya menyatu: malam-malam yang larut, "makan malam bisnis", obsesinya yang tiba-tiba pada ponselnya—semua itu bohong. Mereka telah merencanakan ini selama berbulan-bulan. Pria yang kucintai telah lenyap, digantikan oleh orang asing. Tapi aku tidak akan membiarkan mereka mengambil segalanya dariku. Aku berkata pada Baskara bahwa aku akan pergi, tetapi tidak tanpa bagianku sepenuhnya dari perusahaan, yang dinilai berdasarkan harga pasca-pendanaan dari Nusantara Capital. Aku juga mengingatkannya bahwa algoritma inti, yang menjadi alasan Nusantara Capital berinvestasi, dipatenkan atas namaku seorang. Aku melangkah keluar, mengeluarkan ponselku untuk menelepon satu-satunya orang yang tidak pernah kusangka akan kuhubungi: Revan Adriansyah, saingan terberatku.

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku