Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
485
Penayangan
16
Bab

Anak salah seorang ustadz di Pesantren Ruqyah Karang Pandan hilang. Di dalam kamar sanga anak terdapat bercak darah yang tampak mencurigakan. Ah, apa yang sebebnarnya terjadi?

Bab 1 Bagian 1 : Benang Merah Takdir

"Kenapa kamu memilih mendatangiku dan menceritakan semuanya kepadaku?" Terdengar suara wanita tua di balik tirai, membuat sang wanita di balik tirai itu menjengit ketakutan. Dia merinding mendengar suara serak wanita tua itu, tanpa bisa melihat siluet wanita itu.

"Kamu tahu aku sudah tidak jadi dukun lagi, kan?" tanya wanita tua itu lagi. Masih belum ada jawaban. Hanya terdengar bunyi jengkerik dan serangga yang lain di luar rumah itu.

"Mara! Jawab aku! Kenapa kamu menemuiku? Sudah kubilang aku tidak menjadi dukun lagi, aku sudah menutup masa laluku!" teriak wanita tua itu.

Wanita muda yang bernama Mara itu terlonjak kaget, karena wanita tua di balik tirai sudah mengetahui siapa dirinya. Mara mulai gelisah, dan beberapa kali mengubah posisi duduknya. Mara tahu bahwa dia berhadapan dengan orang yang sakti.

"Mara? Jawab aku! Kalau tidak maka aku tidak akan membantumu!"

"Berarti nenek mau membantuku, kan?" potong Mara cepat. Terdengar embusan napas panjang.

"Huh! Semua karena bapakmu, kan? Anak durhaka itu!" Wanita tua itu menggerutu.

"Bapakku kan, anak nenek," jawab Mara asal. Nada suara Mara terdengar geli. Wanita tua itu mendengkus.

"Kamu sangat kurang aj*ar. Persis seperti bapakmu. Apa yang dikatakan bapakmu sehingga kamu ke sini?" tanya wanita tua itu. Mara diam saja. Dia belum menjawab pertanyaan wanita tua yang adalah neneknya itu.

"Mara!" teriak wanita tua itu lagi, mengingatkan Mara agar bertingkah sopan kepadanya.

"Bapak bilang nenek adalah wanita abadi. Wanita yang bisa membuat siapa saja jatuh cinta pada nenek. Karena itulah aku ke sini. Aku ingin mencari tahu ilmu atau ajian apa yang sekiranya membuat nenek bisa sehebat itu," jawab Mara dengan suara yang jelas dan tegas.

Terdengar suara terkesiap dari balik tirai dan perlahan tirai itu terbuka. Mara yang duduk bersimpuh terlonjak kaget melihat wanita di depannya. Dia beringsut mundur perlahan.

Nenek Mara tertawa terbahak-bahak melihat wajah Mara yang ketakutan melihat dirinya dan mencoba menjauhinya.

"Kamu ingin seperti aku?" tanya nenek Mara sambil masih tertawa.

Mara menutupi wajahnya dengan telapak tangannya. Tubuhnya lemas melihat pemandangan yang sangat mengerikan di depannya. Mara melihat kepala wanita muda yang sangat cantik jelita, bersanggul besar dan ber-make up tebal, tetapi ... tetapi badan wanita itu tidak ada dan digantikan oleh tubuh ular yang sangat besar berwarna hitam. Sisik ular itu nampak basah dan berkilat ketika terkena cahaya lampu.

"Kamu ingin jadi ular juga, Ndhuk?" tanya nenek Mara lagi. Mara menggigit bibirnya menahan mual, ketika melihat tubuh ular milik neneknya bergerak meliuk-liuk gelisah di depannya. Mara menelan ludah ketakutan. Dia masih berusaha beringsut menjauh dan keluar dari ruangan itu.

"Kamu sudah pernah melihat wujud asli bapakmu, Ndhuk?" tanya nenek Mara dengan kepala yang ditelengkan ke kanan dan ke kiri, membuat Mara semakin ngeri.

Mara menggeleng samar. Dia tidak tahu kalau bapaknya memiliki wujud yang lain. Jawaban Mara membuat sang nenek terkekeh-kekeh geli.

"Bagaskara memang licik. Bapakmu sebenarnya ingin membuatmu menjadi seperti aku, maka dia memintamu mendatangiku ke sini. Dia ingin melestarikan bangsa kita, Ndhuk," jawab sang nenek dengan terus meliukkkan tubuhnya, seakan nenek Mara resah.

"Bangsa kita?" tanya Mara ketakutan. Sang nenek mengangguk.

"Kamu tahu aku apa, kan, Ndhuk?" tanya sang nenek yang kemudian tertawa terkikik panjang, membuat bulu kuduk Mara berdiri tegak. Mara menggeleng lagi, dia benar-benar tidak tahu sebenarnya nenek itu manusia atau bukan.

"Aku bukan manusia, Ndhuk. Aku ratu jin di sungai Pandan Wangi. Kakekmu dulu menikah denganku dan lahirlah bapakmu, Bagaskara. Lalu ... lalu ... Bagaskara memulai petualangan cintanya dan lahirlah kamu, Mara. Jadi, bisa dibilang kamu bukan manusia murni," bisik sang nenek disertai desisan-desisan mengerikan dari mulutnya.

Mara membeliak tak percaya mendengar jawaban neneknya. Dia tidak menyangka dan tidak terima dengan jawaban neneknya. Wajah Mara sangat pucat, seakan tak ada darah yang mengaliri wajah Mara.

"Kamu adalah keturunanku, Dewi Nagagini, penjaga Sungai Pandan Wangi, Mara, dan karena kamu anak tunggal, maka semua kesaktianku, semua bala tentaraku, semua kerajaanku akan kuwariskan kepadamu," bisik sang nenek. Perlahan tubuh ularnya mendekati Mara.

Mara menjerit ketakutan ketika tiba-tiba sang nenek berada di sampingnya. Lidah nenek Mara menjulur-julur seperti lidah ular. Mara beringsut menjauh.

"Ah, kamu cantik sekali, Mara. Kamu sangat cocok menggantikanku menjadi ratu di Sungai Pandan Wangi. Kamu pasti akan disukai banyak dedemit di lembah Sungai Pandan Wangi. Oh, aku bangga padamu!" bisik sang nenek dengan lidah yang menjulur-julur tiada henti. Mara bergidik ngeri.

"Kamu harus menurut padaku agar tubuh ularmu muncul, ya, Ndhuk? Lebih cepat lebih baik. Aku juga harus mengajakmu ke istanaku. Kamu harus mengenal tempat yang kelak akan menjadi istanamu, Ndhuk," bisik nenek Mara.

Mara merinding ketika tiba-tiba ada tangan yang melingkari bahunya. Mara bertanya-tanya dalam hati, tangan siapa gerangan yang hendak memeluknya? Bukankah neneknya tidak memiliki tangan karena tubuhnya adalah tubuh ular? Pertanyaan Mara menguap ketika tangan itu memeluknya dan membuat tubuhnya melekat erat dengan tubuh neneknya. Seketika Mara merasa sangat mual ketika menyadari bahwa tubuh ular sang nenek sangat bau amis dan berlendir. Mara nyaris muntah.

"Sepertinya aku sangat beruntung hari ini, karena kamu datang sendiri ke sini dan aku tidak perlu mencarimu lagi. Ayo, sekarang kita lihat istana kita!" ajak sang nenek dan tangan yang memeluk Mara seakan mengangkat tubuh Mara perlahan dan membawa pergi.

"Aaahhh! Jangan! Aku tidak mau!" teriak Mara histeris. Mara memberontak liar, tetapi sepertinya dia tidak kuasa melawan kekuatan gaib milik sang nenek. Nenek Mara tertawa keras.

"Kamu sendiri yang mengatakan kamu ingin seperti aku, ingin dicintai banyak orang. Salah satu caranya adalah dengan menumbuhkan tubuh ularmu, Ndhuk," kata sang nenek bijak.

Mara terus berteriak dan memberontak mencoba melepaskan diri. Dia tidak ingin menjadi manusia ular seperti neneknya.

Akhirnya perjuangan Mara berhasil. Entah dengan kekuatan dari mana, Mara berhasil melonggarkan pelukan tangan gaib itu dan dengan menggunakan licinnya sisik ular milik sang nenek, dia berhasil melepaskan diri neneknya. Napas Mara memburu dan dengan penuh kemarahan dia berjalan maju ke arah neneknya. Tanpa basa basi Mara merenggut tubuh ular neneknya dan menarik tubuh itu kuat-kuat. Mara mencengkeram tubuh ular itu dan langsung membanting tubuh ular itu berkali-kali ke lantai dengan keras, sangat keras bahkan, sampai dia melihat darah berceceran dan mulai mengalir deras dari tubuh ular itu.

Napas Mara tersengal. Dia nampak sangat marah.

"Aku tidak ingin menjadi seperti dirimu! Aku hanya ingin menjadi Mara yang disukai banyak pria! Bukan Mara yang menjadi ratu ular! Aku tidak butuh itu!" teriak Mara dengan penuh emosi dan dengan membabi buta dia menginjak-injak tubuh ular yang sudah nampak ma*ti itu sambil terus berteriak-teriak histeris.

Setelah puas dan emosinya mereda, Mara berhenti dan terdiam. Dia melihat tubuh ular yang sudah terluka dan sobek di sana sini. Darah dan otot ular itu nampak berserakan ke segala penjuru ruangan itu, membuat Mara sendiri terkejut, takut dan juga mual.

Mara baru menyadari bahwa kepala neneknya tidak ada di leher ular itu. Kepala neneknya menghilang! Mara membeliak tak percaya. Dia mulai merasa panik. Dengan tergesa, Mara mencari kepala neneknya di ruangan itu, tetapi tidak menemukannya. Mara segera keluar dari ruangan itu dan mencari kepala sang nenek di seluruh bagian rumah itu, tetapi tetap saja dia tidak menemukannya.

Mara terengah di dapur rumah neneknya yang gelap. Napasnya tersengal dan tak beraturan. Lamat-lamat Mara mendengar dengkusan napas di dapur itu. Napasnya seperti orang yang baru saja berlari, terengah seperti halnya Mara. Kemudian Mara melihat nyala api dari salah satu tungku di dapur itu. Mara mundur ketakutan, karena nyala api itu semakin lama semakin terang dan semakin besar dan Mara melihat kepala neneknya muncul dari tungku itu.

Aneh sekali, sanggul neneknya masih utuh dan bagus, walaupun kepala sang nenek dilingkupi api yang menyala terang, membuat dapur yang semula gelap menjadi terlihat jelas sekarang. Mara mundur beberapa langkah melihat kepala sang nenek yang melayang ke arahnya dengan kikikan tawa yang membuat merinding orang yang mendengarnya.

"Mara, kita memang berjodoh! Bagaskara sudah tahu kalau kita sudah diikat oleh benang merah takdir. Dia menyuruhmu ke sini agar kita bertemu dan bersatu," kata sang nenek dengan suara yang melengking tinggi.

Mara berdebar tak menentu, dia tidak paham benar apa maksud neneknya. Mara hanya merasa takut dan ingin pergi dari tempat itu. Mara mundur terus dan kemudian berlari meninggalkan dapur yang kini mulai terbakar oleh api dari kepala neneknya. Mara tidak peduli lagi, dia berlari sekencang-kencangnya meninggalkan rumah neneknya. Mara tidak bisa berlari jauh, dengan cepat kepala sang nenek bisa menyusulnya dan kepala itu langsung masuk ke dalam tubuh Mara, membuat Mara terjatuh dan terbakar sesaat.

Kemudian hening menyusul semua keributan itu. Beberapa saat kemudian Mara bangkit dan berdiri. Dia mengibaskan bajunya yang kotor karena terjatuh tadi.

"Huh, merepotkan saja!" gerutu Mara sambil masuk lagi ke dalam rumah neneknya.

****

"Hakim ke mana?" tanya Salma kebingungan. Fiki hanya tertawa.

"Paling main di sungai dengan Husna atau Huda. Biar saja, Ma," jawab Fiki ringan. Salma mencebik

"Ustadz, lo! Sekarang, kan, Nur Faidah , kakaknya Hakim sedang menikah, apa, ya pantas Hakim malah bermain-main sendiri? Seharusnya dia memperlihatkan diri pada keluarga kita, atau paling tidak membantu kita," kata Salma bersungut-sungut. Bibirnya mencebik.

Fiki tambah tertawa.

"Biarlah sebentar, Ndhuk. Nanti aku suruh santri untuk mencarinya," jawab Fiki, membuat Salma semakin jengkel dan meninggalkan Fiki sendirian. Fiki semakin geli melihat tingkah istrinya yang uring-uringan sejak kemarin karena mempersiapkan pernikahan --salah satu dari kembar tiga-- anak pertama mereka. Fiki membiarkan Salma marah-marah dan mencebik sambil berteriak ke sana ke mari. Fiki lebih memilih menyingkir dan melakukan hal lain daripada harus menenangkan istrinya yang sedang panas hatinya.

Fiki melihat ketiga anaknya berlari masuk ke dalam rumah dengan baju yang basah. Ah, sempurna sekali! Sebentar lagi pasti terdengar teriakan Salma memarahi mereka. Fiki pura-pura tidak peduli. Dia memilih membantu bapak dan ibu mertuanya masuk ke dalam mobil untuk pulang ke Karang Pandan.

"Titip Salma, njih, Ust?" kata bapak mertua Fiki, yang bernama Fadli. Fiki tersenyum geli dan mengangguk.

"Njih, Pak. Insya Allah," jawab Fiki.

"Dia memang anak yang beda sendiri, Ust, tetapi saya percaya panjenengan baik-baik saja dengan Salma, kan, Ust?" Fiki tertawa dan mengangguk.

"Alhamdulillah, jazakallah, Ustadz," kata Fadli. Fiki mengangguk dan melepas kepergian kedua mertuanya yang sudah sangat sepuh itu. Ah, Fiki sangat ingin seperti mereka. Memiliki kehidupan yang anteng dan damai, menyatu dengan ketenangan batin dan semangat untuk beribadah kepada Allah.

Fiki melihat seseorang mendekatinya dengan agak tergesa. Fiki agak terkejut melihat Malik, asistennya, mendekatinya dengan wajah yang risau dan agak takut.

"Ustadz, mohon maaf mengganggu. Mohon maaf sekali saya terpaksa harus mencari ustadz," kata Malik, asisten Fiki, dengan napas memburu.

Fiki tertawa geli.

"Tidak apa-apa, Mas Malik. Ada apa?" tanya Fiki. Malik berusaha mengatur napasnya sejenak.

"Ada seorang wanita mencari ustadz. Namanya Tini. Dia kerasukan, Ust. Dia mengaku pernah bertemu ustadz di sungai Pandan Wangi," kata Malik dengan masih terengah.

Fiki menggigit bibirnya. Dia mengangguk dan segera menuju ke ruang terapi ruqyah, dari kejauhan dia mendengar teriakan Salma memarahi ketiga anaknya yang baru pulang dari sungai tadi.

****

"Fiki? Nurul Fikri? Kamu sekarang tampan sekali!" teriak seorang wanita sambil berlari ke arah Fiki dan hendak memeluk Fiki. Fiki langsung menghindar dengan setengah tertawa.

"Jangan! Kita bukan mahram," kata Fiki, "duduklah yang tenang! Ceritakan pada saya tentang panjenengan dan kenapa panjenengan ingin menemui saya," lanjut Fiki.

Wanita itu mencebik, tetapi dia tetap mematuhi Fiki dan duduk bersimpuh di depan Fiki.

"Aku Siti Ambarwati. Aku penghuni lembah Pandan Wangi dan ke sini karena disuruh menyampaikan pesan Nyai Nagagini padamu," kata wanita yang kerakusan jin itu.

Fiki mencibir dan mencoba menahan tawanya.

"Baiklah, aku siap menerima pesan Nyai Nagagini. Apa pesannya?" tanya Fiki.

Siti Ambarwati yang berada di dalam tubuh wanita bernama Tini berdeham.

"Nyai Nagagini ingin minta tolong padamu untuk mengunjungi lembah Pandan Wangi, karena dia butuh bantuanmu," kata Siti Ambarwati.

"Halah, mau minta bantuanku apa mau mencari mataku, Nyai?" tanya Fiki geli.

Wajah Tini merah padam, dia nampak terkejut dan juga marah karena Fiki tahu rencananya. Dia mencebik dan membuang muka dari Fiki. Dia memandang ke arah luar dan tiba-tiba Siti Ambarwati berdiri, matanya nyalang memandang pintu.

"Kalau kamu tidak mau ya, sudah! Sudah ada gantinya di balik pintu itu!" teriak Tini. Dia berlari ke arah pintu. Sepertinya ada seseorang yang mengintip di sana ....

****

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Endah Wahyuningtyas

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku