WINIH TRESNA
ngkatnya untuk bergerak dengan leluasa. Tetapi selain itu dia baik-baik saja, menurutnya. Paling tidak dia masih di dunia ini, dia masih sehat, pendengarannya
a untuk selalu sendirian. Dulu Pak Sapto meninggalkannya sendirian, dan dia merasa begitu merana karena waktu itu bapaknya juga sudah
terapi ruqyah yang sudah terang, tetapi karena Fadli tidak memakai kacamata dia tidak benar-benar bisa melihat apapun yang ada di depannya. Fadl
at yang masih muda yang berpelukan erat dan menurut Fadli mereka sedang berciuman, dan ketika mereka menyadari Fadli su
siapa mereka? Fadli hanya yakin mereka a
*
a Naim. Fadli menga
kan, Pak?"
terang sekali. Rasanya tidak mungkin akan ada yang berpelukan di sana
an akhwat, bukan ikhwan dan ikhwan atau a
uat Naim dan Faza te
yang akhwat memakai mukena dan yang ikhwan memakai koko warna hitam dengan peci u
angat sepuh. Sudah sembilan puluh empat tahun. Sudah sangat sepuh dan kadang sering lupa, walaupun untuk
ahu mana baju ustadz, mana baju santri, Nak
ter
emakai baju ustadz dan menggunakan kesempatan itu untuk melakukan hal yang
malah akan semakin rumit, ya? Sepertinya menyenangkan sekali ketika harus m
n Naim
" kata Naim. Fadli tertawa. Dia t
minuman untuk mereka bertiga. Gadis itu kemudian men
" tanya
s itu. Fadli menoleh ke a
aim pada Fadli. Naim paham, Fadli heran
is yang manis dan nampak pemalu itu mengangguk
nya dengan heran, karena setiap bertemu kakeknya selalu menanyakan hal itu. Naim
tu. Dia ingat Yusuf --kakaknya-- dulu juga kuliah di MIT. Fadli ters
kuliah di sana?"
fshah dan Si Dul,
ya, dia memandang Naim de
lan yang buruk, Im!" seru Fadli. Nai
imah," kata Naim. Fadli memandang Naim tak perca
ggilan yang baik," kata Fadli akhirnya. Faza tertawa g
awab Naim geli.
kan?" tanya Fadli pada kedua anaknya. Faza
nya tahu kalau mereka sebenarnya ragu dengan apa yang diceritakan bapa
enyadari bapaknya sudah tua. Dia harus menyiapk
*
pa yang diperbincangkan santri akhwat itu. Mereka membicakaran tentang Ustadz Salam. Ustadz Salam. Dan hal itu membuat Hakim membara. Dan akhirnya
enci harus menga
dengar sendiri, kan,
uaranya lem
ya A
nar lelak
ihafalnya juga
Benar-benar
tubuhnya atleti
! Dia, kan pun
ata setelah melihat beliau mengajar, setelah mendengar beliau bertilawah dan mengisi kajian, se
nnya. Berarti memang bukan hanya di kelasnya tadi saja yang meributkan tentang Ustadz Sa
adz Salam dan nampak mendengarkan penjelasan Ustadz Salam tentang sesuatu. Dan Hakim hanya bisa beristighfar perlahan. Kenapa tidak hanya akhwat yang ter
n sebenarnya perutnya berkeriut lapar. Hakim menyesal kenapa dia tadi tidak mampir ke ruang makan dan sekedar mencicip sedikit makanan
im terlonjak dan me
lam tersenyum manis pada Hakim. Hakim membalas senyum itu sekenanya. Dia merasa sangat insecure be
a Salam basa basi.
iket," jawab Hakim
tadi Mas Huda berpesan pada Ustadz Faiz kalau Usta
au kakak kembarnya akan berkunjung ke sini sebelum ke Karang L
sya Allah nanti saya akan segera m
Reza juga," kata Salam. Hakim mengangguk dan nampak berpikir kenapa Salam tahu semua de
*
ma sampai Nurul Ikhlash keluar dan menemuinya. Kemudian mereka membahas tentang pelatihan ruqyah yang ak
Ikhlash, mereka berdua mendongak. Faza tersenyum ketika melihat Alik
a, ya? Tunggu sebentar, njih? Silahkan duduk dulu, saya langgilka
ika menurut dan dia duduk
ma, Ndhuk? Dua bula
a?" Anggukan lagi. Ah, be
nnya yang hanya mengangguk dan tersenyum malu itu, dan kemudian disusul kerib
ak Alika?" tanya entah siapa, Faz
Tadi sudah ketem
emu sama bulik Rosalina
lika merah padam karena malu ketika harus menjawab pertanyaan mereka, padahal
ti epik sekali. Faza sendiri merasakan keributan di rumahnya dengan lima orang dewasa dan satu remaja kalau anak-anaknya pulang semua dan kadang dia
utkan pembicaraan mereka dan Faza segera menemukan Nurul Ikhlash yang sedang berdiri di balik jendela
ngan apa yang terjadi setelah melihat siapa yang dili
oga Faz
*
udara-saudaranya mentert
cembur
ganteng sek
k. Ganten
ik. Hanya dia, Huda dan Hamzah yang kebagian mendeng
tadi juga duduk dengan Hakim dan kedua adik laki-lakinya. Hakim agak
Ustadz Reza? Te
rsama, walaupun jurusan kami berbeda. Kami sering bersilatur
n membicarakan kehidup
ak yang suka, Ust?" tanya Haki
ud Us
pesantren ruqyah Karang Pandan ini. Reza mendengarkan cerita Faza dengan wajah
tidak ada kejadian seperti yang Ustadz Hakim ceritakan barusan. Sama sekali tidak ada," jawab Reza, dia nampak berpikir lagi, "tetapi memang say
dan mencondongkan tubuhnya ke tubuh Reza.
lah ganteng tidak usah menyebar fitnah, Kim!)" seru Nufa --kakak Hakim yang juga adalah istri Reza-- dengan keras. Dia memukul bahu
ra-pura
da. Nufa tambah mengamuk, membuat suasan semakin ramai. Reza tertawa. Dia
*
ta Hakim tanpa menyela atau mengejek sedikitpun. Dan setela
lam seperti itu?" tanya Nuha untuk memastikan deduksi Hakim. Hakim mengangguk. Dia suka
perhatian orang, kan?" Hakim terkesiap mendengar pertanyaan Nuha, dia tidak siap kalau dia dibilang menuduh. Apalagi
berpa
an itu nggak, Mbak?" tan
dianggap tersaingi oleh keberadaan beliau di sini, kan? Nah, sekarang ketika kutanya apa kamu menuduh
mengirim sihir itu
*
teras malam itu, mereka berb
im?" tanya Maya. Naim memandang
Naim sambil melirik ke arah Maya dengan genit, "apakah ini berhubun
henti dulu karena ada seorang ustadz yang bertamu ke rumah mereka. Naim menyambut ustadz itu dengan
mpak ters
beratan, saya ingin me
*
lip cahaya kecil itu datang kembali. Dengan sukacita Salam menempelkan telapa
kai teman k
menc
awab Salam d
kamu
rus bermain-main dengan
*
tadz! Tungg
tinya yang bersiap hendak memakai alas kakinya di tang
yah dan menjadi tim ruqyah d
ersenyum samar, pipinya bersemu dadu dan Naim mulai curiga dengan apa yang akan dik
dang Naim d
, apa Mbak Alika sudah
*
dan keluar rumahnya. Ternyata di luar sudah cukup banyak ustadz ustadzah yan
an Naim di a
Mas? (Ada
za dengan wajah r
ihat bapak kemarin p
*