Menjadi sepasang kekasih saat masih remaja. Dan kemudian terpisah tanpa ada kata berpisah. Membuat takdir mempertemukan mereka kembali setelah 15 tahun tak pernah bertemu. Apakah momen bertemunya Maya dan Erik kembali menjadi sarana mereka untuk saling mengucap kata perpisahan? Atau mungkin mereka akan mempertegas hubungan mereka lagi Walaupun mereka sudah sama-sama berkeluarga?
Maya mempercepat langkahnya melewati kerumunan wali murid yang menghadiri acara pentas seni di Sekolah Dasar Mentari. Telepon genggamnya terus bergetar di sakunya, menunjukkan panggilan masuk yang tak henti-hentinya mencoba menghubunginya. Wanita itu sangat yakin siapa orang yang begitu bersikeras untuk meneleponnya disaat seperti ini.
Dengan langkah cepat, Maya mencari jalan ke toilet sekolah, mencari tempat yang tenang agar dapat mengangkat telepon tanpa gangguan.
Saat akhirnya dia menemukan toilet yang sepi, Maya masuk dengan hati-hati, memastikan tidak ada orang di sekitarnya. Dia mencari sudut yang paling tersembunyi, mencoba menenangkan diri sejenak sebelum mengambil telepon dari sakunya. Dalam keheningan toilet yang sunyi, dia mengangkat panggilan dengan hati-hati, siap untuk mendengarkan apapun yang akan dikatakan oleh penelepon itu.
Dengan tatapan ketus, Maya memandang layar ponselnya yang terus berdering dengan tulisan "Papa tersayang."
"Sudah kuduga pasti dia yang menelepon," ucapnya lirih.
Meskipun enggan untuk menerima panggilan dari suaminya tersebut, namun aliran panggilan yang tak henti-hentinya membuatnya tak memiliki pilihan lain selain mengangkatnya.
Dengan nafas yang tertahan, Maya menekan tombol hijau pada layar ponselnya dan mendekatkan telepon ke telinganya.
"Halo," sapanya dengan suara datar.
"Ma, apa kamu sudah berada di sekolah Anti sekarang?" Tanya Yanto dari balik telepon.
Maya hanya terdiam. Iya tahu jika suami meneleponnya hanya untuk meminta maaf. Dengan hati yang berat, Ia mencoba menahan tangisnya saat berbicara dengan suaminya melalui telepon. Ia begitu kecewa karena suaminya tidak bisa datang ke acara penting anak bungsunya itu.
"Ma, tolong sampaikan maafku kepada Anti jika Papa tidak bisa menemaninya lagi kali ini," pintanya dengan suara parau.
"Iya. Anti pasti ngerti kok. Dan dia sudah biasa begitu," jawab Maya mencoba memberikan dukungan palsu padahal ia sangat kecewa.
Kata "kali ini" yang diucapkan suaminya itu bagaikan sebuah lelucon yang sama sekali tidak lucu. Padahal mereka sama-sama tahu jika Yanto selalu absen di setiap momen penting keluarganya.
Namun, suara lelaki di seberang telepon terdengar terhenti sejenak, mencerminkan beban yang ia rasakan. Sepertinya ia menyadari jawaban singkat istrinya itu menandakan bahwa Maya sedang tidak baik-baik saja.
"Bukan begitu Ma, papa juga ingin sekali pulang. Siapa sih orang tua yang tidak ingin melihat anaknya beradu bakat? Tapi, mama tahu kan ongkos pesawat dari Papua ke rumah berapa? Mending uangnya papa kirim buat tambahan belanja mama."
"Sebenarnya papa sudah mengajukan cuti jauh-jauh hari. Tapi ada pekerjaan yang datang tiba-tiba. Jadi papa tidak bisa meninggalkannya." imbuh Yanto lagi. Ia berusaha meyakinkan Maya jika semuanya terjadi diluar kehendaknya.
"Iya, aku tahu," kata Maya dengan suara pelan, mencoba menyembunyikan rasa sedihnya. Dalam hatinya, Maya terus menerus mempertanyakan apa arti keluarganya di mata suaminya. Karena selama ini pekerjaan selalu menjadi prioritas utama bagi ayah dua anak itu.
"Lagi pula bulan depan papa pulang kok. Bulan depan kan kurang beberapa Minggu lagi. Nanti kita jalan-jalan sekeluarga ya. Papa janji."
Maya menanggapi dengan sinis, "Nggak usah pakai janji. Nanti malah nggak jadi. Kasihan anak-anak sudah sering dikecewakan karena janji palsu yang papa buat."
Omongan Maya mulai pedas. Sepertinya ia sudah tidak mempan lagi dirayu oleh Yanto.
"Papa tahu, mama sama Anti pasti kecewa karena papa tidak bisa melihat pertunjukan balet pertama Anti. Tapi papa kerja, bukan jalan-jalan sendiri. Lagi pula inikan demi keluarga. Mama tolong ya, bantu papa menjelaskan semua ini kepada Anti."
"Mama. Asal mama tahu, papa juga ingin setiap hari bertemu dengan keluarga. Tapi kalau papa tidak kerja bagaimana caranya papa bisa menghidupi keluarga?" Terang Yanto lagi.
"Iya iya. Mama tahu. Ya sudah. Acara mau mulai. Mama masuk dulu. Aku takut Anti mencariku" Kata Maya, lalu mematikan ponselnya tanpa kata penutup yang manis.
Tangis Maya pecah begitu ponsel dimatikan. Air mata bercucuran membasahi pipinya yang telah penuh riasan. Dadanya sesak, dan dia merasakan beban hidup yang begitu berat. Meskipun berusaha menjaga ketenangan di hadapan anak-anaknya, di toilet sekolah ini, Maya merasa sendirian dan lelah.
Sebenarnya banyak hal yang ingin diutarakan oleh Maya. Tapi ia sudah jenuh berkomunikasi dengan Yanto yang dianggapnya susah tidak peduli dengan keluarga.
Maya berdiri di depan cermin yang besar, memandang refleksi dirinya dengan tatapan penuh emosi. Dia melihat sosok wanita yang berusaha tampil sempurna, walaupun bergelut dengan sejuta pekerjaan sebagai ibu rumah tangga yang juga harus mengurus dua anaknya sendirian. Meski hari-harinya penuh dengan kesibukan, Maya selalu menyempatkan waktu untuk merawat dirinya sendiri, memastikan penampilannya tetap terjaga.
Saat melihat lagi bayangannya di cermin, pikiran Maya melayang ke suaminya, Yanto, yang selalu sibuk dengan pekerjaannya di Papua. Kerinduan pada kehadiran Yanto mulai memenuhi hatinya. Tapi bersamaan dengan rindu itu, timbul pertanyaan-pertanyaan yang mengganggunya.
"Apakah salah jika aku merindukan suamiku sendiri? Apakah aku egois jika aku ingin selalu didampingi oleh suamiku sendiri? Apakah aku terlalu naif jika aku berharap suamiku selalu hadir dalam momen-momen penting keluargaku?" Tanyanya kepada cermin yang bisu.
Maya merenung sejenak, mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dia tahu bahwa Yanto meninggalkannya untuk bekerja di Papua. Bukan untuk rekreasi.
Pekerjaannya memang mengharuskannya untuk berada jauh dari keluarganya, dan Maya memahami betul akan hal itu. Namun, kekosongan yang ditinggalkan oleh kepergian Yanto terasa begitu besar, terutama dalam momen-momen penting.
"Tapi ini semua salahku. Aku selalu mengeluh tentang situasi yang tidak bisa diubah seperti ini. Dan bodohnya aku selalu saja berharap dia akan merubahnya. Dia akan lebih memilih keluarga daripada pekerjaannya."
Maya kembali memperhatikan sosok wanita yang terpantul di depan cermin besar di hadapannya. Dia memandang wajahnya dengan penuh perhatian, memperhatikan setiap detail yang terpantul di dalamnya. Mata coklatnya yang hangat, bibir merahnya yang terlukis dengan lembut, dan senyum tipis yang terukir di wajahnya.
Tapi di balik kecantikan fisiknya, Maya merasa ada sesuatu yang kurang dalam dirinya. Tidak dalam arti fisik, tapi dalam arti perasaan dan kebahagiaan. Meskipun dia tidak melihat ada kekurangan apapun dalam penampilannya, namun ada kekosongan yang terasa di dalam hatinya.
"Kamu cantik, Maya," ia mengucapkan pujian pada dirinya sendiri dengan suara lirih. "Bagaimana aku tidak cantik, disela-sela kesibukanku yang padat, Aku masih berusaha menyempatkan diri untuk merawat semua ini. Untuk siapa?"
Pertanyaan itu bergema di dalam kepalanya, memantik rasa frustrasi dan kekecewaan yang telah lama terpendam. Maya merasa seperti dia melakukan segalanya untuk menjaga penampilannya tetap terjaga, tetapi untuk apa? Untuk Yanto, suaminya yang bahkan tidak pernah memujinya?
"Seandainya saja aku punya suami yang selalu ada untukku," gumam Maya dalam hati. "Pasti semua ini akan terasa sempurna."