Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Cinderella Tanpa Sepatu Kaca

Cinderella Tanpa Sepatu Kaca

Purple Rain

5.0
Komentar
185
Penayangan
5
Bab

Misha Rachel Barera (25 tahun) tidak pernah menyangka, jika ia mendapatkan surat wasiat dari mendiang kekek buyutnya, Jacob Barera. Dimana isi dari surat wasiat tersebut menyatakan, jika dirinya telah dijodohkan dengan putra sulung seorang bangsawan ternama, Julian Maxim Leonardo (27 tahun). Sedangkan saat ini, Julian telah memiliki seorang kekasih. Julian dan Hana Calista Ramona (25tahun) berencana untuk melanjutkan hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius yaitu, pernikahan. Julian harus bersiap untuk kehilangan semua hak warisnya, andai saja ia menolak perjodohan ini. Ia akan dicoret dari daftar kartu keluarga dan diasingkan ke tempat dimana semua orang tidak mengenalnya. Mampukah Julian dan Misha melewati masa sulit mereka? Sedangkan di lain pihak, banyak yang ingin melengserkan jabatan Julian di dalam perusahaan manufaktur yang tengah dipimpinnya.

Bab 1 GADIS RUBAH

"Jangan menangis! Berdirilah!"

Julian Maxim Leonard, bocah berusia tujuh belas tahun itu mengulurkan tangannya di hadapan, Misha Rachel Barera. Ia melihat putri dari keluarga Barera tersebut, sedang bersimpuh di bawah tanah. Seragam kebesaran sekolah Harvard England yang dikenakan, tampak sudah terkoyak. Bahkan tubuhnya kini penuh dengan lumpur dan keringat.

Misha, gadis berambut ikal itu biasa dipanggil. Wajahnya terangkat ke atas, ia melihat sosok Julian di hadapannya. Butiran air mata yang menggenang, membuat penglihatannya sedikit buram. Misha, tidak langsung menyambut uluran tangan tersebut. Wajahnya kini berpaling, pundaknya berguncang dan akhirnya ia pun kembali menangis.

"Aku tidak akan menyakitimu, mari aku antar pulang!" Julian menunggu, tapi Misha tak kunjung menyambut uluran tangannya.

"Pergilah! Aku tidak ingin mengotori tanganmu. Temanmu pasti akan menghukumku, jika mereka tahu Kamu telah menolongku,"

Niat baik yang ditawarkan oleh Julian telah diabaikan begitu saja. Perlahan tangan pejantan tanggung itu mengepal, ada sesuatu yang membuat dadanya sakit hanya karena sebuah ucapan.

"Dasar rubah betina!" gumam Julian yang sampai di telinga, Misha.

Gadis itu merespon, ia bangkit dengan susah payah. Ada luka lebam di beberapa bagian tubuhnya, bahkan Julian melihat di sudut bibir gadis itu telah mengeluarkan cairan berwarna merah kental.

"Apa Kamu puas melihatku seperti ini? Apa Kamu, puas?!" teriaknya dengan urat leher yang menonjol.

Lagi-lagi, perundungan yang didapatkan kali ini mempermasalahkan soal status. Misha yang terlahir dari keluarga biasa saja, dirasa tidak pantas untuk menjejakkan kaki ke dalam lingkungan seorang bangsawan. Seharusnya, gadis bermata coklat itu merasa sangat beruntung. Karena dia bisa masuk ke Harvard England dengan beasiswa yang didapat. Akan tetapi, realita tidak seindah dengan apa yang dibayangkan. Kehadiran gadis itu tidak diterima oleh beberapa golongan.

BUG!

Dari arah belakang, ada yang menghantam kepalanya. Saat ia hendak menoleh, sebuah balok sudah melayang kembali tepat di wajah, Misha.

"Hei! Apa yang sudah Kalian lakukan, hah?" Julian menatap kedua teman sekelasnya dengan nyalang.

Terlambat, tubuh Misha terpelanting. Gadis itu tersungkur ke bawah tanah. Dia, meraba tengkuknya. Ada darah segar mengalir dari sana.

"Apa Kamu baik-baik saja, Julian? Dia tidak menyakitimu kan?" salah satu temannya mendekat, ia lebih mengkhawatirkan kondisi tuan muda daripada gadis gembel itu.

"Sial! Kenapa Kalian memukulnya? Kalau dia kenapa-napa, bagaimana? Dia tidak jahat seperti yang Kalian bilang selama ini," ujar Julian sambil melihat ke arah Misha yang tidak bergerak.

"Sudahlah. Jangan pedulikan gadis aneh itu! Ayo cepat pergi dari sini!" tarik kedua temannya yang memaksa agar Julian mau ikut dengan mereka.

"T-Tapi, ...." Julian menengok ke belakang, dimana mereka telah meninggalkan Misha begitu saja. Seolah teman-temannya tengah menghalangi Julian agar tidak kembali.

'M-Maafkan aku ....' (ucap Julian dalam hati).

Perlahan pandangan Misha mulai mengabur. Tangannya, mencoba meraih sesuatu. Ia berusaha untuk meminta pertolongan. Entah kenapa pita suaranya mendadak menghilang. Misha kembali jatuh terjerembab, seiring bayangan Julian yang menghilang. Gadis berkulit pucat itupun tidak sadarkan diri.

***

Misha Rachel Barera, perempuan lajang berusia 25 tahun itu memasuki sebuah lobi gedung yang bertuliskan King Construction dengan sedikit tergesa. Rambutnya yang tergerai mengikuti pergerakan langkah kakinya yang berayun. Misha menawarkan sebuah senyuman saat bertemu dengan rekan kerja dan resepsionis yang sedang berjaga.

"Selamat pagi! Apakah laporan untuk proyek ruko sudah selesai disusun?" tanya Misha setelah mendekat pada salah satu staf yang sudah bersiap di meja kerjanya.

"Emh, b-belum, Bu." jawabnya dengan gugup. Staf yang baru bergabung dengannya seminggu lalu itu mendadak wajahnya menjadi pucat pasi.

"Hem, ya sudah. Selesaikan nanti sebelum jam makan siang. Saya ingin laporan ini sudah berada di atas meja saya tanpa revisi apapun, bisa kan?" tunjuk Misha ke atas dokumen yang berada di atas meja kubikel staf nya tersebut.

"B-Baik, Bu," jawab staf perempuan itu sambil mengangguk patuh. Ia harus bisa mengerjakan sesuai jadwal deadline yang ditentukan oleh atasannya.

Misha, gadis cengeng itu lambat laun tumbuh menjadi seorang wanita yang sukses dalam berkarir. Kecakapannya dalam bidang arsitektur membuat dirinya menjadi kepala divisi di salah satu perusahaan konstruksi ternama. Sifatnya yang tegas membuat relasi dan klien merasa betah untuk terus bekerja sama dengannya, tapi tidak bagi segelintir orang.

"Ck, dasar perawan tua! Pantas saja sampai sekarang tidak ada yang mau kawin sama dia," gumam salah satu staf setelah Misha pergi dari hadapannya.

Bagi sebagian orang, perempuan sukses tak hanya diukur dari jabatan atau pekerjaan yang kini sudah diraih. Ada tolak ukur yang lebih dari sekedar materi dan kekuasaan yaitu-menikah!

"Huft, awal hari yang berat, ya!" Misha bermonolog, ia meletakkan komputer jinjingnya di atas meja kerja yang telah disediakan. Sepagi ini, ia harus menahan emosi karena beberapa laporan yang belum siap.

"Nona, bersiaplah!" tanpa permisi, salah satu kepala divisi pemasaran sudah masuk ke dalam ruangannya.

Misha mengurungkan niatnya ketika hendak membuka jadwal kerja hari ini, "Selamat pagi, Edward? Kau membuat jantungku terlihat sehat pagi ini," sebuah sindiran dilontarkan pada rekan kerjanya. Misha sedikit terkejut dengan kedatangan Edward yang secara tiba-tiba.

"Ups, sorry!" Edward menutup mulutnya sendiri. Lelaki tersebut bertingkah kemayu, membuat bibir Misha menyunggingkan senyuman.

"Ada perlu apa, Ed? Tumben sepagi ini Kau sudah menyambangi kantorku?" tanya gadis itu yang kini berdiri sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

"Satu jam lagi Kita akan rapat, manis. Jadi, siapkan dirimu." Tunjuk Edward tepat di ujung hidung Misha yang mancung.

"Apa?! Jangan mengada-ngada, Ed! Laporanku saja belum selesai," gadis lajang itu membuka kedua telapak tangannya dengan bebas.

"Masih ada waktu, bukan?" Edward menunjuk jam tangannya, seakan ia memberi semangat pada Misha untuk bergerak cepat mengejar ketertinggalannya.

"Aku pergi dulu, bye!" Edward berpamitan, ia melambaikan tangannya sebelum menutup kembali pintu berbahan kayu tersebut.

"Sial!" umpat Misha yang kembali berbalik ke meja kerjanya. Lekas ia menyiapkan beberapa dokumen yang diperlukan. Dilihatnya jarum jam yang kini mengarah ke angka 10 pagi, Misha harus bergegas.

***

Kejadian delapan tahun yang lalu, masih membekas dalam ingatan, Julian. Ia selalu bermimpi tentang perlakuan buruk teman-temannya yang telah melakukan bullying victim pada, Misha. Yang paling membuatnya menyesal adalah, Julian tidak bisa melakukan apapun untuk menolongnya. Entah bagaimana nasib gadis itu saat ini.

Pria muda berusia 27 tahun itu memutar pulpen di tangan kanannya. Ia duduk termangu sambil menatap layar laptop yang masih menyala. Sebuah ketukan di pintu tiba-tiba membuyarkan lamunannya. Julian menghembuskan napas dengan kasar untuk membuang rasa kesal.

"Masuk!" suaranya yang terdengar mengintimidasi tersebut, telah berhasil membuat seluruh karyawan begitu menghormatinya sebagai seorang CEO.

"Selamat pagi, Pak! Saya sudah menyampaikan pada seluruh bagian divisi, jika rapat telah dimajukan untuk memperkenalkan Bapak sebagai pimpinan baru di perusahaan ini." Edward berdiri dengan sopan, ia telah menjalankan perintah Julian dengan baik.

"Baik, terima kasih atas kerja kerasmu, emh ...." Julian menggantung kalimatnya.

"Edward Goldy, Pak. Panggil saja, Edward." Edward pun memperkenalkan dirinya secara resmi. Ia mengulurkan tangannya, tak lama kemudian Julian menyambut tangan itu dengan sebuah jabatan.

"Rapat nanti akan dipimpin oleh rekan saya, Ibu Misha Rachel Barera. Kebetulan beliau adalah salah satu arsitektur senior di perusahaan ini, Pak." Edward sedikit menjelaskan situasi rapat yang akan dijalankan sebentar lagi.

"A-Apa? M-Misha ....?" Julian membuka kelopak matanya lebar-lebar.

"Benar, Pak. Apa Bapak mengenalnya?" selidik Edward yang selalu saja ingin tahu urusan orang.

"T-Tidak, tidak, saya tidak mengenalnya." Julian gugup, ia mengibaskan tangan beberapa kali.

"Oh, baik kalau begitu. Saya permisi dulu, Pak. Sampai bertemu di ruangan rapat nanti," pamit Edward dengan senyuman tipis.

"Y-Ya, silahkan!" ucap Julian yang kini terpaku di samping meja kerjanya.

"Misha, panjang umur Kau gadis rubah!" gumam Julian selepas kepergian Edward dari dalam kantornya.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku