Cinta yang Tak Tertahankan
Penulis:Gorgeous Killer
GenreRomantis
Cinta yang Tak Tertahankan
Sudut Pandang Fransiska:
Setelah seharian bekerja, aku kemudian berjalan pulang di bawah sinar matahari yang sedang terbenam. Aku merasa lelah baik secara fisik maupun mental. Yang kuinginkan saat ini hanyalah pulang, mandi air hangat, dan juga tidur.
Ketika aku berada dalam perjalanan pulang, ada sebuah mobil Bentley yang menepi di sebelahku. Seorang pria paruh baya dengan perut gemuk kemudian keluar dari mobil tersebut dan mendekatiku.
"Halo, Nona Jollyn," sapanya dengan senyum ramah.
"Halo. Eh... Anda siapa?" Aku memeras otakku untuk mencoba mencari tahu siapa sesungguhnya pria ini.
"Tidak masalah saya ini siapa. Yang paling penting sekarang Anda, Nona Jollyn, sudah selesai kerja. Bos kami ingin mengundang Anda untuk makan malam," pria itu menjelaskan.
Aku hanya menatap mobil Bentley hitam itu dengan bingung.
Kaca mobil itu lalu diturunkan. Di dalam mobil, terlihat ada seorang pria tampan yang berusia sekitar 30 tahun sedang menatapku sambil tersenyum lembut.
Sepertinya pria ini adalah pria yang berkuasa serta berasal dari latar belakang yang kuat. Aku hanya bisa bertanya-tanya, kenapa tiba-tiba pria ini mendatangi orang rendahan sepertiku? Dia pasti punya alasan sendiri untuk melakukan hal ini.
"Halo," aku balas menyapanya. Tepat saat aku hendak menolak undangan tersebut, aku mendengar suara akrab yang datang dari belakangku.
"Halo, Tuan Junaidi."
Aku berbalik dan melihat Fera yang bersama dengan William sedang berdiri beberapa meter dariku. Fera mengenakan gaun dengan potongan leher V berwarna kuning sambil memegang lengan kanan William. Sejujurnya, dia tampak seperti wanita yang sedang jatuh cinta.
Sementara itu, William mengenakan setelan berwarna hitam, yang memancarkan kemuliaan serta keanggunan. Seperti biasa, sikapnya begitu mengesankan sementara raut wajahnya yang dingin tampak seolah menyuruh semua orang untuk menjauh darinya. Saat aku menatapnya, dia ternyata juga balas menatapku.
Aku tidak bisa merasakan apa-apa saat aku melihatnya, bahkan tidak sedikit pun rasa rindu ataupun sesal. Mungkin karena aku sudah menyerah akan dirinya.
Tuan Junaidi menatap Fera dan William. "Kebetulan sekali, Nona Suryadi. Aku tidak menyangka akan melihatmu di sini." Dilihat dari kata-katanya, dia dan Fera sepertinya sudah sangat mengenal satu sama lain.
"Tuan Junaidi, ini William, tunanganku. Sebenarnya, kami baru saja akan mengundang Fransiska untuk ikut makan malam. Apakah kamu tidak keberatan?"
Meskipun pria itu tampak enggan, namun dia menjawab, "Tentu saja tidak." Kemudian dia pun memberi isyarat kepada pengemudi untuk masuk kembali ke dalam mobil dan pergi dari situ.
Aku menyaksikan dengan perasaan kagum saat mobil Bentley hitam itu melesat pergi. Aku hanya bisa berpikir betapa sialnya diriku karena terjerat dengan orang-orang ini pada hari pertamaku bekerja.
Aku hanya ingin bekerja keras. Mengapa begitu sulit?
Tiba-tiba, Fera langsung melepaskan tangan William dan kemudian memegang tanganku. "Hai, Fransiska! Hari ini adalah hari pertamamu bekerja, bukan? Nah, aku dan William ingin merayakan acara yang luar biasa ini. Mari kita pergi sekarang?"
"Tidak, terima kasih. Aku ingin segera pulang sekarang. Sebagai gantinya kamu bisa pergi dengan William." Aku menolak dengan sopan sambil menyingkirkan tangannya. Aku bahkan tidak ingin melihat pertunjukan kasih sayang mereka. Itu sangat menyakitkan mataku.
"Fransiska, orang-orang harus makan sesuatu. Lagipula nanti kamu akan makan juga. Kenapa tidak ikut dengan kami sekarang?" Fera masih belum mau menyerah.
"Tidak, aku-"
Hendro Mustafa, pemimpin departemen di stasiun TV, berjalan ke arahku tepat saat aku akan menolak undangan Fera lagi. "Hai, Fransiska. Pantas saja aku tidak melihatmu di kantor. Kamu pasti sedang buru-buru pergi."
"Aku ingin pulang lebih awal, jadi aku pergi secepat mungkin," jelasku sambil tersenyum. Aku tidak ingin menunjukkan emosiku yang sebenarnya dengan terang-terangan di depan orang lain, terutama mereka.
"Oh begitu." Hendro lalu menatap William dan Fera, kemudian menambahkan, "Apakah mereka adalah teman-temanmu?"
"Perkenalkan, ini adalah Fera Suryadi, dan ini tunangannya, William Lusman. Ini adalah Tuan Hendro Mustafa, rekan kerjaku di stasiun TV." Aku memperkenalkan mereka satu sama lain.
Begitu aku selesai berbicara, Fera langsung melangkah maju dan berjabat tangan dengan Hendro. "Senang bertemu denganmu, Tuan Mustafa. Omong-omong, apakah Fransiska bekerja dengan baik di kantor? Aku berharap agar dia tidak menyulitkan kalian."
"Sebenarnya Fransiska merupakan pembawa acara yang luar biasa. Semua orang di departemen sangat menyukainya. Begitu dia datang ke kantor, dia lalu melakukan tugas yang sulit sendirian. Dia sangat membantu. Bagaimana bisa dia menyulitkan kami?"
"Baguslah. Aku sangat khawatir dia belum dapat beradaptasi di kantornya. Tuan Mustafa, dia baru di industri ini dan mohon maafkan dia jika dia membuat kesalahan suatu hari nanti." Fera berpura-pura merasa khawatir bahwa aku akan menyebabkan masalah di kantorku pada hari pertamaku bekerja. Dasar wanita penuh laga.
Orang yang tidak mengenal kami akan mengira bahwa kami ini berhubungan baik.
"Fransiska, aku iri padamu karena memiliki teman yang begitu perhatian," kata Hendro kepadaku sambil tersenyum. Tiba-tiba, wajah Hendro tampak bersinar seolah-olah dia baru saja mengingat sesuatu. "Omong-omong, karena hari ini adalah hari pertamamu bekerja, maka sebagai pemimpin departemen kita, malam ini aku ingin mengundangmu untuk makan malam sebagai ucapan selamat. Apakah kamu bersedia datang?"
"Terima kasih sekali atas kebaikan hatimu, tapi aku tidak ingin menyita waktumu dengan keluargamu," tolakku dengan sopan.
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Lagipula aku ini masih lajang dan tidak begitu punya keluarga untuk menghabiskan waktu saat ini."
Suasana berubah menjadi cukup aneh saat Hendro menyatakan bahwa dia masih lajang.
Seorang pria lajang mengajak seorang wanita keluar untuk makan malam. Sungguh topik yang luar biasa untuk percakapan setelah makan malam. Nanti pastinya rumor mengenai diriku yang berhubungan dengan bosku setelah aku datang ke stasiun TV akan langsung menyebar seperti api. Yah, aku tidak ingin membuat masalah, jadi aku harus menolak undangan Hendro.
Namun, sayangnya aku tidak bisa menemukan alasan yang tepat untuk menolak undangannya.
"Fransiska, apakah kamu akan ikut makan dengan kami atau dengannya?" William bertanya tanpa disangka-sangka. Nada suaranya terdengar mengatur dan seolah memaksaku untuk segera mengambil sebuah keputusan.
Di detik itu aku menurunkan mataku dan berpikir keras untuk menolak kedua belah pihak.
"Kalau begitu, kenapa kita tidak makan bersama saja? Bagaimanapun juga, kita semua ingin merayakan hari pertama Fransiska di tempat kerja," saran Fera dengan tatapan licik di matanya.
Apakah wanita ini memainkan suatu trik lagi?
Yah, tidak masalah. Entah dia memainkan trik atau tidak, tetap saja aku tidak bisa menolak lagi. Jika aku menyinggung pemimpin stasiun TV, maka nanti aku pasti akan kesulitan bekerja di sana.
Jadi, pada akhirnya, kami berempat pergi untuk makan malam bersama.
Kami pergi ke suatu restoran mewah. Fera dan William duduk bersebelahan sementara aku dan Hendro duduk di seberang mereka. Dari luar jendela Prancis matahari tampak sedang terbenam dan mewarnai pemandangan sekitarnya menjadi merah. Sungguh menakjubkan.
Tidak lama setelah kami duduk, Fera mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sebuah foto kepadaku.
"Fransiska, bagaimana menurutmu tentang gaun pengantin ini?" dia bertanya dengan napas terengah-engah.
Aku melirik foto itu dan menjawab dengan santai, "Lumayan."
"Lumayan? Gaunnya terlalu mahal, bukan? Jujur saja, menurutku tidak ada gunanya menghabiskan Satu Milyar Rupiah hanya untuk gaun pengantin yang bisa dipakai sekali seumur hidupku," kata Fera dengan ragu-ragu.
Aku menatap William dan meyakinkannya, "Selama kamu suka, William pasti akan membelikannya untukmu."
Begitu aku mengatakan hal itu, William menatapku tanpa menunjukan setitik emosi pun di wajahnya.
Fera melingkarkan lengannya di leher William seperti ular dan mencium pipi pria itu. "Yang benar, William? Bolehkah aku membeli gaun pengantin ini?" dia bertanya dengan mata memelas.
William hanya mengangguk padanya sambil tersenyum.
Saat itu Fera diam-diam langsung tersenyum penuh kemenangan kepadaku.
Pernikahanku dengan William hanya kecil-kecilan dan personal. Sementara itu, gaun pengantin Fera saja berharga ratusan juta rupiah. Tentu saja, dia merasa harus memamerkan ini di hadapanku.
Tidak heran dia bersikeras mengundangku untuk makan malam. Dia hanya ingin memamerkan ini semua di hadapanku.
Beberapa menit kemudian hidangan pun disajikan. Aku dan Hendro fokus pada makanan kami dan mengabaikan Fera, yang sepanjang waktu begitu sensitif.
Saat aku mengambil pisau dan garpuku, Hendro menoleh padaku dan bertanya, "Fransiska, bagaimana menurutmu pekerjaan barumu ini?"
Aku mengangguk sambil tersenyum. "Baik-baik saja."
"Jika kamu merasa kebingungan, jangan ragu untuk meminta bantuan dariku. Aku akan membantumu kapan saja, kalau tidak, orang lain akan bilang bahwa aku tidak peduli dengan bawahanku."
"Kalau begitu, aku akan selalu mematuhi aturan," aku meyakinkannya.
Hendro Mustafa adalah seorang pemimpin yang hebat. Tidak seperti bos lainnya, dia sangat peduli dengan bawahannya dan bersedia membantu. Oleh karena itu aku pun langsung akrab dengannya. Selama makan kami mengobrol seru tentang pekerjaan kami.
Sungguh sajian makanan yang sangat sempurna, kecuali dengan adanya tatapan membunuh William.
Setelah beberapa lama makan malam ini pun berakhir. Tepat ketika Hendro hendak menawarkan tumpangan pulang, William segera berdiri dan dengan dingin berkata kepadaku, "Fransiska, aku ingin bicara denganmu di luar."
Aku melihat dari sudut mataku Fera langsung memegang ponselnya lebih erat dan menatap tajam ke arahku. Dia pasti sudah gila.
Tapi aku tidak bisa menyalahkannya. William ingin berbicara denganku secara pribadi. Kurasa dia sudah lama curiga bahwa kami telah menyembunyikan sesuatu darinya.
Jika William tidak ingin melibatkan Fera dalam percakapan ini, maka dia akan terus mencurigai kami, dan akhirnya mungkin hubungan mereka terancam bahaya.
Awalnya aku tidak ingin pergi. Namun aku juga sadar, jika aku menyetujui permintaan William, maka itu hanya akan membuat Fera menjadi tidak senang.
"Fransiska..." Hendro memanggil dengan cemas ketika dia baru saja melihat William keluar dengan ekspresi muram yang terpampang di wajahnya.
Aku tersenyum untuk meyakinkannya. "Jangan khawatir. Aku akan segera kembali."
William berdiri di bawah pohon beringin di luar restoran. Cahaya sisa matahari terbenam menimpanya melalui dedaunan, dan ini membuatnya tampak lebih misterius. Aku tidak yakin saat ini ada orang yang dapat membaca pikirannya.
Wajahnya yang tampan bisa memikat hati wanita manapun. Tidak heran bahwa dulu aku jatuh cinta padanya. Sayangnya, dia hanya menghancurkan hatiku tanpa adanya penyesalan.
Aku berhenti beberapa meter darinya dan bertanya, "Ada apa?"
"Berhenti bekerja." William berbalik dan menatapku dengan tatapan tajam. Raut wajahnya seolah mengatakan bahwa dia tidak akan menerima tolakan sebagai jawaban.