Sudut pandang William:

Aku berdiri sendirian di depan lift untuk waktu yang cukup lama. Aku masih bisa merasakan kehangatan bibir Fransiska yang melekat di bibirku. Menciumnya di kenyataan ternyata terasa lebih baik dari yang kubayangkan di pikiranku.

Aku menatap kosong ke arah pintu lift yang tertutup dan terus menerus mengulang kejadian tadi di dalam pikiranku.

Aku bukan orang yang memiliki hasrat yang kuat. Aku tidak pernah merasakan dorongan untuk menyentuh Fera meskipun aku telah bersama dengannya selama bertahun-tahun. Namun, hal itu berbeda dengan Fransiska.

Aku benar-benar tidak bisa menjelaskan apa yang kurasakan ini.

Ketika Fransiska menamparku setelah aku menciumnya, aku bahkan tidak merasakan sakitnya tamparan itu. Rasa sakit itu hanya muncul padaku ketika dia mulai menangis di hadapanku. Melihat pemandangan itu membuat hatiku hancur berkeping-keping.

"William?" suara Fera yang memanggilku dari belakang terdengar. Aku membalikkan badanku dan melihatnya berdiri di sana.

Aku mengalihkan pandanganku darinya. Raut wajahku pasti akan membuatku ketahuan dan aku tidak ingin dia mencurigai apa pun. "Ayo kita kembali ke apartemen."

Aku berjalan ke arah ruang tamu dan Fera berjalan dekat denganku dan mengikutiku dari belakang, dia lalu berkata, "Aku sangat senang akhirnya kamu bercerai, William. Sekarang, apa yang kuinginkan akhirnya akan terpenuhi sebelum aku mati."

"Berhenti mengutuk dirimu sendiri, Fera," aku berteriak tanpa memandangnya. Aku merasa kesal dengan ucapannya. Kenapa dia suka sekali berbicara tentang kematian?

"Apa kamu sudah berbicara dengan dokterku? Kamu pasti tahu kondisi kesehatanku lebih baik dibanding siapa pun." Fera mulai terisak setelah selesai mengeluarkan kata-kata itu.