Cinta yang Tak Tertahankan
Penulis:Gorgeous Killer
GenreRomantis
Cinta yang Tak Tertahankan
Sudut Pandang Fransiska:
"Ada apa lagi?" tanyaku dengan tidak percaya.
"Kita harus bangun pagi untuk menemui Fera besok," jawab William dengan dingin.
"Baik."
Aku merasa bingung. Aku hanya bisa bertanya-tanya apakah dia kembali cuma untuk mengatakan hal ini.
"Aku akan tidur di sini malam ini," tambahnya.
Aku tersadar begitu aku mendengar apa yang sedang dia katakan. Aku ingin bertanya kepadanya apakah dia sungguh tidak apa-apa jika tidur di sini, tapi sebagai gantinya aku malah menelan pertanyaanku tersebut.
"Aku takut kamu akan bangun kesiangan karena masih jetlag," jelasnya. Dia pasti sudah melihat kebingungan yang tampak di wajahku.
"Ah. Baik. Kalau begitu sekarang aku bersihkan kamar tamu terlebih dahulu."
Begitu aku selesai berbicara, aku langsung berbalik dan berjalan mendekati koperku, siap untuk pergi meninggalkan William.
Tapi kemudian, William berjalan ke arahku dan menghalangi jalanku.
"Kenapa kamu malah menghindariku?"
Aku menatap kembali matanya yang dingin dan mengingatkannya, "Aku hanya melakukan apa yang kamu inginkan. Bukannya tiga tahun yang lalu kamu memintaku untuk menjaga jarak darimu?"
Begitu aku mengucapkan kata-kata itu, perlahan dia melangkah mendekatiku, terdapat sedikit amarah yang muncul di matanya.
"Kamu tinggal di sini."
Ucapan tersebut membuatku kehilangan pegangan pada koperku hingga jatuh ke lantai. Lalu dia berjalan mendekat dan jantungku berdetak lebih cepat dan semakin cepat...
Tapi aku terkejut karena dia hanya berjalan melewatiku dan kemudian duduk di sofa. Di sofa dia membuka kancing kemejanya agar dia merasa nyaman.
"Aku akan tidur di sofa," katanya dengan datar.
Aku tidak bisa menahan diri untuk memukul kepalaku dan memarahi diriku sendiri karena imajinasiku yang berlebihan. Barusan sebuah pikiran yang kotor terlintas di benakku! Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, aku langsung mengambil koperku dan meletakkannya di samping.
Aku memunggungi William dan mendengarnya melepas pakaian serta membuka lemari untuk mengambil pakaian baru. Sesaat kemudian, dia akhirnya masuk ke kamar mandi.
Sudah tiga tahun berlalu sejak kami menikah. Pria impianku, suami sahku, yang sekarang hanya berjarak beberapa meter dariku. Meskipun dia telah pergi ke kamar mandi, namun aroma tubuhnya masih tercium di udara. Baunya sangat enak dan ini membuatku gugup.
Aku kemudian berjalan ke sisi tempat tidur dan berbaring di atasnya. Aku berbaring miring dengan tubuh meringkuk dan mendengarkan suara air yang mengalir dari kamar mandi.
Begitu suara tersebut akhirnya berhenti, aku segera memejamkan mata dan berpura-pura tidur lelap. Aku bahkan memperlambat napasku, agar dia tidak menyadari bahwa aku hanya sedang berpura-pura tidur.
Ada begitu banyak kamar tamu di rumah ini. Kenapa dia malah bersikeras berbagi kamar denganku? Mungkin karena kami sudah tidak bertemu selama tiga tahun. Namun demikian, tindak-tanduk pria ini semakin tidak dapat diprediksi.
Setelah beberapa saat terdapat keheningan yang memekakkan telinga memenuhi udara. Diam-diam aku membuka mataku dan menatap William. Dia berbaring di sofa dengan punggung membelakangiku. Tubuhku akhirnya merasa santai saat aku menatap sosok pria itu. Aku juga sudah tahu bahwa tidak akan terjadi apa-apa malam ini. Meskipun begitu, aku tetap tidak bisa menahan kekecewaan yang ada jauh di lubuk hati.
******
William sudah pergi ketika aku bangun keesokan paginya. Aku memeriksa jam di ponselku dan mataku terbelalak kaget. Sudah jam sepuluh pagi!
Aku melompat dari tempat tidur dan mandi secepat mungkin. Saat aku berjalan keluar dari kamar, aku telah melihat William sedang membaca buku di sofa ruang tamu.
"Kenapa kamu tidak membangunkanku?" tanyaku, suaraku terdengar sedikit lebih kencang karena perasaan panik.
"Aku telah membangunkanmu. Hanya saja aku belum mengguyurmu dengan air dingin untuk membangunkanmu." William bahkan tidak mengalihkan pandangannya dari buku ketika dia berbicara. Dalam nada suaranya juga tidak terdengar emosi.
"Maaf. Aku hanya sedikit lelah kemarin. Ayo pergi sekarang," kataku canggung dengan pandangan menatap lantai. Sepertinya tadi malam aku tidur sangat nyenyak.
"Makanlah sesuatu dulu."
"Apa? Lalu Fe—"
"Tidak perlu terburu-buru. Kita akan bertemu dengannya nanti saat makan siang."
Aku terkejut ketika mendengar ucapannya. Bukannya dia bilang aku harus bangun pagi? Apakah aku salah dengar? Mungkin dia bilang itu hanya untuk menipuku.
Bagaimanapun, aku pasti akan melakukan perintahnya tersebut. Aku sarapan sedikit dan sesudah itu aku mendesaknya untuk pergi. Bukan karena aku terburu-buru mau menemui Fera. Tapi aku hanya ingin menyelesaikan semua ini secepat mungkin.
Aku hanya terdiam dalam perjalanan menuju restoran. William juga tidak mengatakan sepatah kata pun. Kami telah menikah selama tiga tahun. Tapi entah bagaimana, kami masih seperti orang asing satu sama lain. Lebih parah lagi, saat ini aku sedang menemani suamiku menemui tunangannya.
Mobil berhenti di depan Mimpi Pelangi, sebuah restoran bintang tiga Michelin. Ini adalah restoran yang paling mewah di kota ini. Jujur saja aku belum pernah ke sini sebelumnya. Bahkan setelah menjadi Nyonya Lusman, William tidak pernah membawaku ke tempat ini.
Begitu kami memasuki restoran, seorang pelayan mendekati dan menyambut kami. "Tuan Lusman, Nona Suryadi menunggumu di lantai dua." Dilihat dari sapaan pelayan, sepertinya William sering datang ke sini.
Tanpa mengucapakan sepatah kata pun, aku lalu mengikuti William ke dalam lift.
"Kamu harus tersenyum saat melihat Fera dan jangan memasang wajah sedih," perintah William dengan dingin.
Aku hanya memaksakan sebuah senyum dan meyakinkannya, "Iya."
"Fransiska, sudah lama tidak bertemu!" Fera menyambut kami dengan senyum lebar saat kami memasuki ruang pribadi itu. Tampaknya setelah bertahun-tahun wajahnya belum menua sedikit pun. Dia harus membayar sekian banyak uang untuk mempertahankan wajahnya agar tetap tampak awet muda. Sungguh mengesankan, wajahnya tampak persis seperti di film-film. Dia bahkan tidak terlihat seperti pasien yang sudah lama sakit.
"Lama tidak bertemu," sapaku kembali dengan senyum lembut.
"Apa jetlag-mu sudah hilang? Aku khawatir kamu tidak bisa bangun pagi, jadi aku atur waktu di siang hari."
"Iya, terima kasih. Aku tidur dengan nyenyak tadi malam. Bagaimanapun juga, ini adalah kampung halamanku."
"Dalam tiga tahun terakhir ini kamu sudah begitu menderita. Ini semua adalah salahku. Untung William ada di sini. Sekarang aku merasa jauh lebih baik dibanding dulu." Fera langsung batuk begitu dia selesai berbicara. Seolah diberi isyarat, William langsung memberinya segelas air.
Saat William melihat Fera hari ini, dalam sekejap seakan es di tubuhnya langsung mencair dan dia berubah menjadi orang yang sama sekali berbeda. Sikapnya pada Fera amat berbeda dengan sikapnya padaku.
Hidangan utama hari ini adalah steak. William memotong steak di piring Fera dengan hati-hati. Tidak biasa melihat William seperti ini—begitu lembut dan perhatian.
"Aku tidak apa-apa. Jangan khawatir. Aku baik-baik saja. Sebenarnya aku baru saja menerima ijazahku." Aku tersenyum pada Fera sambil berjuang untuk memotong steak dengan pisau dan garpu.
"Kamu tinggal di Prancis selama tiga tahun. Apa kamu sudah punya pacar? Kami akan pergi bulan madu ke Prancis selama Festival Film Cannes tahun ini."
Pacar? Sebagai Nyonya Lusman aku tidak pernah mempertimbangkan untuk berkencan dengan pria lain selama aku masih menikah. Entah bagaimana aku seperti masih memiliki secercah harapan untuk William.
"Eh... ya, sebenarnya. Aku telah bertemu seorang pria di sana. Dia itu seorang seniman." Aku langsung memikirkan sosok pria yang bisa aku pamerkan padanya. Seperti yang William bilang kemarin, aku harus berusaha untuk meyakini Fera.
Aku melihat William dari sudut mataku. Dia sedang memotong steak. Untuk sesaat tubuhnya menjadi kaku.
"Apa kamu punya fotonya?" tanya Fera dengan penasaran.
Rasa penasarannya membuatku lengah. Aku hanya menatap William dengan harapan agar dia membantuku. Sayangnya, dia bahkan tidak melirikku.
"Yah, kami belum resmi pacaran jadi aku tidak menyimpan fotonya di ponselku," aku beralasan dan kemudian melanjutkan memotong steakku.
"Apa dia punya Facebook? Mungkin dia juga telah memposting fotonya di sana. Aku ingin melihatnya," desak Fera. Sepertinya dia tidak berencana untuk berhenti menanyakan topik ini hingga dia melihat pria itu sendiri.
"Coba aku lihat dulu." Sambil berbicara, aku lalu mengeluarkan ponselku dan memikirkan teman sekelas mana yang harus aku gunakan sebagai pria bohongan untuk sementara waktu. Orang pertama yang muncul di benakku adalah Fredi. Aku dan Fredi berhubungan dekat, jadi rencanaku bisa berhasil. Aku memeriksa akun Facebook-nya dan langsung melihat fotonya di depan menara Eiffel. Rambut Fredi panjang berantakan, wajahnya tampak muda dan juga tampan. Fredi dan William sangat bertolak belakang. Yang pertama adalah pria artistik dan santai, sementara yang kedua adalah pria dingin dan pendiam. Aku memberikan ponselku pada Fera dengan foto Fredi di layar.
Matanya berseri-seri gembira pada saat melihat foto tersebut. "Astaga! Dia kelihatan seperti pria Paris yang artistik dan juga berjiwa bebas. Aku senang sekali, Fransiska. Bagaimanapun juga, aku dan William... Maafkan aku." Dia kemudian menunjukkan foto itu kepada William.
Dia hanya meliriknya sebentar. "Kalian berdua tampak sangat cocok," komentarnya dengan dingin.
Akhirnya Fera mengembalikan ponselku. "Apakah dia akan datang ke Amerika untuk mengunjungimu?" tanya Fera dengan penuh semangat.
"Dia sekarang masih berada di Eropa. Dia harus segera mengadakan pameran seni di Lyon. Tapi dia akan datang ke sini bulan depan untuk membangun karirnya." Aku berbohong. Semua yang keluar dari mulutku hanyalah fiksi belaka. Tapi itu bukan masalah. Saat ini yang terpenting bagiku adalah membuat Fera tampak bahagia. Selain itu, aku mungkin tidak akan melihatnya lagi setelah aku menandatangani perjanjian perceraian. Kalau tidak, aku harus memikirkan cara untuk membawa Fredi ke sini.
"Apa kamu mencintainya?" tanya Fera dengan mata berbinar penuh antisipasi.
Aku hanya tercengang.
"Tentu saja." Aku berusaha keras untuk tetap tenang dan santai agar dia tidak bisa melihat kebohonganku.
"Baguslah! William, sepertinya kita tidak perlu mengkhawatirkan keadaan Fransiska sama sekali. Ayo kita doakan kebahagiaan untuk Fransiska!" Fera lalu mengangkat gelasnya dengan bersemangat.
William juga mengangkat gelasnya.
"Fransiska, berjanjilah padaku bahwa kamu akan berbahagia." Fera menatap mataku saat dia berbicara. Tapi kemudian, aku tahu sekali kalau ini hanyalah akting semata. Di bawah topeng lembut Fera terdapat suatu hati keji.
"Tentu saja. Kamu juga."
Kami meminum anggur di gelas kami sebagai tanda janji.
Tiba-tiba tanganku gemetar saat aku meletakkan gelasku. Tidak hanya itu, perutku juga terasa mual. Aku berharap agar makanan ini bisa segera habis. Aku tidak mau melihat wanita munafik ini lagi.
"Maaf, aku harus ke kamar mandi." Aku langsung pamit karena sudah tidak tahan lagi. Aku ingin segera keluar dan menghirup udara segar untuk meredakan rasa mual di perutku.
Beberapa saat kemudian saat aku kembali ke meja makan, William sedang membantu Fera mengenakan mantelnya.
"Fera tidak enak badan. Aku akan mengantarnya pulang. Nanti aku akan-"
"Tidak apa-apa. Aku bisa pulang sendiri," aku meyakinkannya.
Dengan pasrah aku melihat William berjalan keluar dari restoran sambil memeluk Fera. Tiba-tiba, otot-otot tegang di sekujur tubuhku langsung mengendur.