Cinta yang Tak Tertahankan
Penulis:Gorgeous Killer
GenreRomantis
Cinta yang Tak Tertahankan
Sudut Pandang Fransiska:
Aku melihat diriku di cermin. Aku mengenakan gaun malam panjang yang berwarna putih, sepasang sepatu hak tinggi Prada, dan sepasang anting mutiara. Aku menyanggul rambutku dengan ketat dan rapi.
Tapi aku masih merasa seakan ada sesuatu yang hilang.
Kemudian aku memakai kalung choker hitamku dengan pirus kecil di atasnya dan tersenyum. Ayahku telah memberikan kalung ini sebagai hadiah untuk ibuku, dan ibuku memberikannya padaku.
"Apakah kamu sudah selesai? Ayolah Fransiska, biarkan aku melihatnya. Apakah kamu tidak bisa mengangkat ponselmu agar aku bisa melihatmu?" Sambil berpakaian aku juga sedang berada dalam panggilan video dengan Susanna. Sementara aku bersiap-siap untuk pesta, dia berteriak kencang di ujung telepon.
"Susanna, aku hanya memiliki dua tangan. Tenang saja. Aku hampir selesai."
Akhirnya, aku memakai lipstik merah muda favoritku dan mengerucutkan kedua bibirku untuk memeriksa warnanya.
"Cobalah berputar. Aku mau lihat."
Aku melihat diriku di cermin dan masih merasa tidak nyaman.
Aku mengambil ponselku dan mengarahkan kamera depan ke arah diriku sendiri. Susanna menutup mulutnya dan berhenti bergerak.
Gambar di layar tiba-tiba membeku. Apakah itu karena sinyalnya jelek?
"Susanna, apakah kamu masih di sana?"
"Astaga, sis! Kamu terlihat luar biasa menakjubkan! Ah, William pasti akan tercengang melihat betapa cantiknya penampilanmu malam ini! Sebenarnya semua pria yang hadir di pesta itu pasti akan tercengang!"
"Nyonya Lusman, jika kita tidak berangkat sekarang, maka nanti kita harus naik helikopter," panggil James, sang pengemudi, yang memanggilku dari jalan masuk.
"Terima kasih atas pujiannya yang berlebihan seperti biasanya, Susanna. Aku harus segera pergi. Aku sudah terlambat." Kemudian aku menutup telepon.
Aku mengangkat gaunku dan turun dengan hati-hati.
"Anda terlihat sangat cantik, Nyonya Lusman. Anda akan menjadi sensasi di pesta malam ini." James kemudian membuka pintu untukku.
"Terima kasih, James. Ayo pergi." Aku tidak begitu suka menghadiri acara formal, tapi aku sudah tidak sabar dengan pesta ini.
"Apakah kita bisa tiba tepat waktu?"
"Kita pasti bisa, Nyonya Lusman. Percayalah pada saya." Setelah mengatakan itu, James lalu menginjak pedal gas dan melaju menuju Hotel Puncak Agung.
Tanpa sadar aku sudah tiba di depan hotel.
Aku turun dari mobil dan merasakan angin malam yang dingin menerpa lengan dan wajahku. Untungnya, di dalam ruangan terasa hangat.
Aku memasuki ruang perjamuan, dan banyak kepala yang menoleh padaku. Semua perhatian itu membuatku merasa sedikit tegang dan bertanya-tanya apakah aku telah berlebihan dengan pakaianku.
"Fransiska! Kamu akhirnya datang." Aku menghela napas lega ketika Lufita datang mendekatiku.
"Hai, Nenek. Maaf aku terlambat."
"Putri kecil kita akhirnya datang."
Aku berseri-seri saat Hestia dan juga suaminya, Hartono, berjalan ke arahku.
"Ayah, Ibu. Ah, aku senang sekali berjumpa lagi dengan Ayah dan Ibu. Aku sungguh minta maaf karena datang terlambat."
"Jangan khawatir tentang hal itu, Sayang. Yang terbaik itu akan selalu tiba terakhir," Hestia meyakinkanku sambil tersenyum.
Saat ini ada banyak orang di ruang perjamuan yang sedang memperhatikanku. Salah satu dari mereka adalah seorang pemuda yang melambai padaku dan tersenyum. Pria itu adalah Gunawan.
Mataku menyapu kerumunan yang ramai dan akhirnya bertemu dengan sepasang mata yang dingin dan gelap. Itu adalah William, dan dia balas menatapku. Selain tatapan cuek yang biasa, juga ada sesuatu yang lain di matanya malam ini yang tidak bisa kupahami.
"Siapa dia?"
"Aku rasa itu adalah gadis yang diadopsi oleh Hartono dan Lufita. Tidakkah menurutmu dia luar biasa?"
"Iya, dia tampak begitu memesona. Dia bahkan lebih menarik daripada Fera."
……
Semua orang mulai saling berbisik.
"Lihat, Fransiska kecil kita telah menjadi seorang wanita muda yang menawan!" Gunawan datang dengan senyum yang terpampang di wajahnya. Antoni berada tepat di belakangnya.
"Lama tidak bertemu." Aku mengulurkan tanganku ke arah mereka, dan mereka menciumnya.
Aku melihat William sekilas saat Gunawan memelukku. Dia berdiri di dekat panggung dan memperhatikanku. Dia masih menatapku dengan matanya yang dingin dan tak terbaca itu. Kali ini, aku melihat sekilas kemarahan yang tergambar di wajahnya.
"Hadirin sekalian, sebelum kita merayakan ulang tahun ke-60 Grup Lusman malam ini, mari kita sambut CEO kita yang terhormat, Tuan William Lusman, untuk sambutan pembukaannya."
William naik ke atas panggung, tersenyum pada pembawa acara, dan berjabat tangan dengannya. Raut wajahnya yang dingin hilang, dia pun memulai pidatonya dengan nada hangat yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Terkadang dia melirikku dan aku membalas tatapannya.
Beberapa wartawan diundang ke acara pesta malam ini. Setelah William berpidato, mereka diizinkan untuk mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya.
"Tuan Lusman, terdapat kabar yang beredar mengatakan bahwa Anda dan Nona Fera Suryadi telah bertunangan. Apakah itu benar?"
"Apakah Anda bersamanya ketika dia difoto sedang mencoba gaun pengantin?"
……
Aku tidak terkejut ketika mendengar pertanyaan yang mereka ajukan kepada William. Grup Lusman selalu menjadi sorotan, dan Fera adalah seorang aktris yang karirnya kerap memicu gosip. Wartawan keuangan pun terkadang bisa bergosip.
Aku menoleh untuk melihat Hestia, Lufita, dan Hartono. Mereka juga tidak suka dengan apa yang terjadi.
"Saya pikir bahwa kehidupan pribadi saya seharusnya tidak menjadi sorotan orang-orang malam ini. Dan dengan itu, izinkan saya untuk menyambut Anda ke perayaan malam ini. Atas nama Grup Lusman, terima kasih telah bergabung dengan kami dan selamat menikmati malam yang indah."
Sudah diduga bahwa William akan menanggapi pertanyaan itu dengan baik. Dia sudah berada cukup lama dalam dunia ini untuk mempelajari cara menghadapi orang yang usil.
Setelah William mengakhiri pidatonya, band melanjutkan musik dan menenggelamkan pertanyaan lanjutan para wartawan.
Tidak lama kemudian, para tamu mulai memenuhi lantai dansa.
"Fransiska, apakah kamu bersedia menari denganku?" Gunawan berjalan ke arahku dan menawariku tangannya. Aku berseri-seri ketika dia dengan anggun membungkuk padaku seperti seorang pria sejati.
Menurutku ini agak lucu, karena dulu pada saat SMA Gunawan adalah seorang pria hidung belang. Tidak ada sikap sopan yang bisa menutupi jejak patah hati yang ditinggalkannya.
"Yah, kenapa tidak?" Aku meraih tangannya dan membiarkannya menarikku ke lantai dansa.
Dia meletakkan satu tangan di pinggangku dan memegang tanganku di udara dengan tangan lainnya. Aku meletakkan tanganku yang satu lagi di bahunya.
"Peluk aku lebih erat, dasar pengecut. Apakah kamu takut dipukuli oleh William atau bagaimana?" bisikku pada Gunawan.
Gunawan menyeringai dan menggelengkan kepalanya sedikit. Kemudian, dia memelukku lebih dekat.
Kami pun mulai menari. Setelah beberapa saat, tiba-tiba aku merasa tidak nyaman. Aku merasa sepertinya ada seseorang yang sedang memperhatikanku. Aku langsung menepis perasaan itu. Mungkin aku hanya terlalu banyak berpikir atau mungkin choker yang aku kenakan terlalu kencang.
"Lepaskan tanganmu darinya." Sebuah suara yang familiar tiba-tiba menginterupsi jalan pikiranku.
Seseorang telah menarik tangan Gunawan dari pinggangku.
Aku tidak punya pilihan selain berhenti. Aku berbalik dengan cemberut dan melihat William yang berdiri tepat di belakangku dengan raut wajah membingungkan. Aku tidak tahu apakah dia marah atau kesakitan.
"Ada apa, William? Aku hanya berdansa dengan teman kita," bentakku.
Dia tampak tercengang. Jelas saja dia tidak menyangka bahwa aku akan bereaksi seperti itu. Tapi dia tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya berbalik dan melangkah pergi seperti anak kecil yang tidak diizinkan orang tuanya bermain di luar.
Pada saat ini, seorang pelayan lewat, dan aku mengambil segelas sampanye dari nampannya dan menenggak habis dalam satu tegukan. Suasana hatiku tidak lagi bagus untuk menari.
"Kenapa dia selalu saja ikut campur dan merusak kesenangan semua orang?" Aku mengeluh pada Gunawan.
"Namanya juga kebiasaan. Jangan khawatir, Fransiska. Hari-hari baikmu sedang dalam perjalanan."
Hari yang baik? Apa maksudnya adalah hari-hari setelah perceraian?
Aku tidak begitu yakin akan hal itu. Tidak lama kemudian, pesta pora di aula perjamuan terbukti terlalu berat bagiku, dan aku harus keluar untuk mencari udara segar. Aku melepaskan kalungku sambil berjalan ke balkon. Udara malam yang dingin terasa begitu nyaman di wajahku.
Aku berterimakasih karena Gunawan dan Antoni tidak mengikutiku keluar. Aku butuh waktu sendirian untuk menenangkan diri dan mengatur kembali diriku sendiri.
Los Angeles merupakan kota dengan keindahan yang berbeda jika dibandingkan dengan Paris, tempat di mana aku menghabiskan tiga tahun terakhir untuk belajar. Tetapi meskipun Paris akan selalu memiliki tempat khusus di hatiku, namun Los Angeles akan selalu menjadi rumahku.
Tapi sejak aku pulang, aku merasa sedikit kesepian. Aku kangen dengan Susanna. Aku sudah tidak sabar untuk menunggu dia kembali dari perjalanan bisnisnya. Sekarang tiba-tiba terpikir olehku bahwa aku telah menghabiskan tiga tahun terakhir hidupku hanya dengan teman-teman di Eropa. Sekarang aku semakin merindukan Susanna.
Angin sepoi-sepoi bertiup dan lenganku merinding. Aku menarik napas dalam-dalam dan menyambut rasa tidak nyaman itu. Entah bagaimana, hal ini membantu meredakan gelisahku.
Hal berikutnya yang aku tahu, ada seseorang menutupiku dengan jas. Aku langsung mengenali aroma dari bahan tersebut.
Aku pun berbalik. Dalam cahaya redup, aku dapat melihat kontur wajah yang tampan. Pandanganku bertemu dengan tatapan pria yang berdiri di belakangku, dan sungai emosi di dalam diriku yang baru saja aku tenangkan mengalir deras sekali lagi.
"Di sini sangat dingin. Nanti kamu masuk angin."
Terkadang aku heran bagaimana suamiku bisa berubah dari pria yang tidak peduli menjadi pria yang peduli. Sepertinya dia memiliki tombol di suatu tempat yang bisa diaktifkan kapan pun dia mau.
Tapi kenapa? Kenapa dia melakukan semua itu? Kenapa dia selalu bersikap dingin padaku kemudian berbalik dan mengacaukan pikiranku? Aku sudah setuju untuk bercerai. Dia tidak lagi berkewajiban untuk peduli padaku.
"Apakah kamu tidak kedinginan?" Aku menatap William.
"Tidak, aku baik-baik saja."
Pada saat ini, ponselku berbunyi. Itu adalah pesan dari Susanna. Dia mengatakan bahwa dia sudah menemukan tempat tinggal untukku.
"Aku akan pindah dalam beberapa hari."
"Kenapa?"
"Karena pasangan yang bercerai biasanya tidak tinggal di bawah satu atap."
"Aku belum menandatangani surat-surat itu."
"Tempatnya dekat dengan kantor tempatku akan bekerja. Bagiku ini jauh lebih nyaman."
"Kamu akan bekerja di mana? Apakah kamu sudah menemukan pekerjaan? Aku bisa mengaturnya untukmu."
Mendengar hal itu, aku tersenyum pahit dalam hatiku. Tiba-tiba aku sadar kalau William sudah mengatur banyak hal untukku, yang paling jelas adalah aturannya agar aku tumbuh menjadi wanita dewasa yang layak untuk menyandang namanya. Aku sudah menjalani kehidupan yang dia arahkan, dan aku telah mengalir dalam arusnya seperti ikan mati.
"Tidak, terima kasih. Aku baik-baik saja. Aku sudah berbicara dengan HRD mereka."
"Dengar, Fransiska..."
"Kenapa aku masih harus mendengarkanmu lagi?" Aku membentaknya sekali lagi.
Aku mulai melepas jas itu, tapi William menghentikanku.
"Apakah kamu berusaha agar jatuh sakit dan membuatku harus merawatmu? Atau kamu mau aku masuk ke dalam sekarang dan mencari Nenek untuk memarahimu?" katanya sambil setengah tersenyum.
Aku memutar mataku dan memakai jas itu kembali.
"Ambil ini." William meletakkan kartu bank di tanganku dan kemudian berbalik untuk pergi.
"Kapan kita akan menjalani formalitas perceraian?" tanyaku.
"Kenapa kamu begitu buru-buru menceraikanku? Apakah karena artis Prancis itu? Siapa namanya? Feri? Fredi?" dia bertanya dengan tajam.
Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku menatap matanya untuk beberapa saat. Kemudian aku berbalik dan pergi.
Jika menurutnya aku sudah menjawab ya untuk pertanyaannya, maka aku rasa dia baru saja salah paham.