Cinta yang Tak Tertahankan
Penulis:Gorgeous Killer
GenreRomantis
Cinta yang Tak Tertahankan
Sudut Pandang Fransiska:
Aku pulih dengan cepat dari flu, dan akhirnya, hari pertamaku bekerja di stasiun TV pun tiba.
Pada pukul sepuluh pagi, aku masuk ke studio dan melapor untuk bekerja. Aku tampak gugup berada di depan kamera, tapi tidak lama kemudian, kami mulai syuting.
Tamu acara hari ini adalah seorang pengusaha yang sangat lincah dan bersemangat. William juga seorang pengusaha, tapi tidak seperti orang yang aku wawancarai, dia adalah pria yang selalu dingin dan pendiam.
Sialan! Kenapa aku malah memikirkan William pada saat aku sedang bekerja? Menyadari bahwa aku bersikap tidak profesional, aku menyingkirkan William dari pikiranku dan berkonsentrasi untuk melakukan pekerjaanku dengan baik.
Setengah jam kemudian, syuting pun selesai. Sutradara dan para staf senang dengan kinerjaku. Mereka bahkan bilang bahwa aku adalah pembawa acara yang sangat menjanjikan untuk saluran mereka dan selama aku bekerja keras, maka masa depanku akan cerah.
Kemudian, mereka mengundangku untuk makan siang sebagai cara mereka menyambutku di kantor ini. Tapi aku menolak undangan itu dengan halus. Itu baru hari pertamaku bekerja di stasiun TV, dan aku tidak ingin rekan-rekanku berpikir bahwa aku diperlakukan dengan khusus.
Jadi saat jam makan siang, aku memutuskan untuk makan sendiri di restoran terdekat. Beberapa menit setelah aku duduk, aku melihat Fera yang memasuki tempat itu.
Ada beberapa pengawal yang mengikutinya masuk.
Aku sangat terkejut sekaligus kesal karena dia mengambil tempat duduk di seberangku tanpa meminta izinku terlebih dahulu.
"Fransiska! Senang melihatmu di sini!"
"Hai, Fera. Apakah kamu di sini sendirian? William di mana?" Aku tidak ingin berbasa-basi dengannya, tapi aku juga tidak punya pilihan lain. Aku tidak ingin bersikap kasar padanya di depan umum.
"Ah, William ingin menemaniku, tapi aku menolaknya. Ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikannya. Aku tidak ingin mengganggunya dan membuatnya lelah," kata Fera seolah dia adalah wanita paling bahagia yang pernah ada.
Aku hanya mengertakkan gigi dan memaksakan sebuah senyum. Terakhir kali aku mendengar mereka berdua berbicara di telepon, dia seperti memohon pada William untuk datang menemaninya. Sekarang dia malah mengatakan yang sebaliknya dengan dalih peduli. Jelas saja wanita ini hanya berusaha untuk membuatku berpikir kalau William lebih peduli dengannya dibanding dengan diriku.
Aku bisa saja bilang bahwa aku tahu dia berbohong, tapi aku merasa tidak ada gunanya mempermalukannya. William tidak tahu bahwa Fera sedang memanipulasinya, dan kalau aku bilang padanya nanti dia hanya akan menuduhku cemburu. Jadi aku rasa lebih baik diam saja.
Sejujurnya, aku pikir satu-satunya alasan William percaya dengan Fera ketika wanita itu bertingkah lemah dan rapuh adalah karena William sangat sayang padanya. Sementara itu, karena aku sama sekali tidak peduli pada Fera, menurutku ketika dia bertingkah seperti gadis yang sedang kesusahan, dia hanya mencoba untuk mendapatkan perhatian, dan ini tampak sangat menjijikan.
Tepat setelah Fera menyelesaikan kalimatnya, seorang pelayan mendekati kami dan menerima pesanan kami. Aku lanjut berkata, "Tolong filet mignon dengan tingkat matang sedang dan segelas jus jeruk. Terima kasih."
"Aku juga sama," ucap Fera setelah aku selesai memesan.
"Baiklah. Segera datang."
Kemudian pelayan tersebut mengambil menu kami dan berjalan pergi. Aku mengarahkan pandanganku ke luar untuk menyaksikan pemandangan kota yang ramai saat makan siang karena aku tidak ingin memulai obrolan ringan dengan Fera. Namun, Fera sepertinya tidak tahu cara membaca bahasa tubuh seseorang.
"William itu penuh perhatian. Aku hanya ingin keluar rumah sakit sebentar dan pergi untuk mencari udara segar, tapi dia malah menolak untuk membiarkanku pergi tanpa pengawal yang melindungiku. Dia juga selalu menyuruhku untuk meneleponnya begitu aku merasa tidak nyaman atau kapan pun aku membutuhkannya."
"Baguslah." Dia mulai membuatku kesal, tapi aku memutuskan untuk tetap bersikap tenang. Aku memikirkan apa yang dia katakan. Rumah sakit itu jauh dari sini dan dia bisa saja memilih restoran yang dekat. Sebaliknya, dia malah memutuskan untuk pergi ke kota untuk makan di restoran dekat tempat kerjaku. Wanita ini mungkin menggambarkan dirinya lemah, tapi dia itu sangat licik, dan ini adalah orang yang paling jahat.
"Fransiska, bisakah kamu segera menceraikan William secepat mungkin? Kesehatanku semakin memburuk dan aku sangat khawatir aku tidak akan dapat menikah dengan William. Dia adalah pria impianku, dan itu adalah keinginan terakhirku untuk menikah dengannya. Kamu itu orang yang baik dan perhatian, bukan? Tolong jangan biarkan aku untuk meninggalkan bumi ini dengan rasa menyesal." Fera lalu meraih tanganku dan meremasnya. Raut wajahnya tampak memohon dan ini membuatku tidak nyaman.
Pada detik itu, aku rasa sebagai seorang aktris kemampuan aktingnya amatlah buruk.
"Akta nikah kami disimpan oleh Kakek. Aku akan resmi menceraikan William kalau sudah mendapat akta tersebut. Dengan lembut aku menarik tanganku dari cengkeramannya, berhati-hati agar tidak membuat gerakan yang tiba-tiba. Aku tidak ingin kami menarik perhatian yang salah. "Kamu tidak perlu datang jauh-jauh ke sini untuk membujukku, Fera. Aku dan William sudah membahas tentang hal ini. Dia akan segera menjadi milikmu."
Setelah itu, aku menghabiskan seluruh waktu makan siangku dengan mendorong makanan di mejaku. Jebakan rasa bersalah Fera merusak selera makan dan suasana hatiku.
Sudut Pandang William:
Akhir-akhir ini Fransiska sudah mendorongku untuk melanjutkan proses perceraian, dan ini membuatku sangat kesal. Jadi aku memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama Gunawan dan Antoni setelah bekerja untuk menenangkan diri.
Mereka juga mengundangku untuk makan malam di suatu restoran terdekat, dan aku langsung setuju.
Segera setelah kami duduk, mataku tertuju ke TV di dinding. TV tersebut menunjukkan program yang dipandu oleh Fransiska.
"William, bukannya itu Fransiska?" Antoni menunjuk ke TV, tampak bersemangat.
Aku tahu bahwa Fransiska lebih suka berpakaian santai dan nyaman. Ini adalah saat langka ketika aku melihatnya mengenakan pakaian yang formal. Dia tampak lebih cantik, dan tidak mungkin bagi siapapun untuk mengalihkan pandangan darinya.
"Gadis-gadis cantik seperti Fransiska itu sangat populer di kalangan para pria. Kamu tidak tahu betapa beruntungnya dirimu, William." Antoni lalu mengambil gelasnya dan mengaduk-aduk anggur di dalamnya. Dia menatap Fransiska di TV dan menghela napas.
"Sudahlah Antoni. Hanya ada Fera di hatinya William. Dia tidak akan pernah peduli meskipun Fransiska secantik bidadari." Gunawan meletakkan tangannya di bahu Antoni dan berbicara dengan nada sinis. Terkadang dia melirikku seolah-olah dia sedang melihat orang bodoh.
Mereka selalu bertingkah seperti ini setiap kali Fransiska menjadi topik pembicaraan. Aku sudah mulai muak karena ini.
Tetapi di saat yang sama, ketika mereka menatap Fransiska dengan penuh rasa kagum dan sayang, aku hanya bisa merasa seperti dikhianati, seolah mereka sedang menginginkan sesuatu yang aku miliki.
Dan juga belakangan ini setiap kali seseorang menyebut nama Fransiska, pikiranku menjadi kacau. Ini agak menyusahkan.
"Tapi serius deh, William, apakah kamu tidak suka dengan Fransiska sedikit pun?" Antoni sama sekali tidak membaca isyarat sosial. Bagaimana sikap diamku ini mengatakan kalau aku mau membicarakan Fransiska?
"Ah, sudahlah, Antoni. Ketika seorang pria tua kaya merebut Fransiska, aku yakin William akan memberitahumu dengan senang hati mengenai perasaannya yang sebenarnya tentang Fransiska." Gunawan mendesak Antoni agar berhenti.
Aku sudah tidak tahan lagi untuk diam ketika mendengar komentar mengenai Fransiska direbut oleh pria tua kaya. "Apa yang baru saja kamu katakan?"
"Aku bilang Fransiska itu cantik sekali dan pasti ada banyak pria di luar sana yang sangat menginginkannya. Apa kamu tidak senang? Bro, kamu akan segera menceraikannya. Entah dia punya pacar baru atau menjadi simpanan pria tua yang kaya, itu tidak ada hubungannya denganmu."
"Kami tumbuh bersama. Bahkan jika kami tidak berakhir bersama, kami masih keluarga." Aku langsung menjelaskan karena sadar reaksiku tadi berlebihan.
Menurutku alasanku itu meyakinkan, tapi Gunawan menghancurkannya di detik berikutnya.
"Keluarga? Ketika dia kuliah di luar negeri dalam tiga tahun terakhir, kamu bahkan tidak pernah meneleponnya sekali pun. Begitukah caramu memperlakukan keluargamu?"
Aku hanya terdiam mendengar kata-katanya. Dia memang benar. Selama tiga tahun Fransiska berada di luar negeri, aku bahkan tidak pernah repot-repot mengangkat telepon untuk meneleponnya atau terbang ke sana untuk menemuinya. Aku hanya menemuinya lagi setelah dia lulus dan pulang.
Setelah itu, kami bertiga pun terdiam. Gunawan mulai memainkan ponselnya. Antoni mengambil remote control dan mengganti saluran TV karena dia khawatir aku semakin stres saat melihat Fransiska di TV.
Tapi komentar Gunawan mengenai Fransiska yang mungkin akan menjadi simpanan pria kaya tua tetap ada di pikiranku dan berakar di hatiku. Aku meneguk minuman satu demi satu untuk membunuh rasa sedihku.
"Hai!" Setelah sekian lama, Gunawan melambaikan ponselnya di depanku, mengisyaratkanku untuk melihat riwayat obrolannya.
Aku sama sekali tidak tertarik. Aku hendak membuang muka, tapi aku melihat sekilas foto profil Facebook Fransiska dari sudut mataku.
Aku mengambil ponsel Gunawan dan hendak mengklik berita postingan Fransiska. Tapi aku ragu-ragu saat memikirkan pria pengagumnya di Perancis.
Para perempuan suka memposting foto diri mereka dengan pacar mereka. Fransiska tentu bukan pengecualian, bukan?
"Apa? Apakah kamu tidak mau melihatnya? Kembalikan ponselku kalau kamu tidak mau."
Melihat bahwa aku ragu-ragu, Gunawan mengulurkan tangannya untuk mengambil ponselnya. Aku bersandar di kursiku untuk menghindari tangannya dan kemudian langsung mengklik berita terbaru dari Fransiska.
Aku memeriksa foto-foto di postingnya satu per satu, tetapi aku tidak menemukan satu pun tentang si pria Perancis. Aku hanya melihat beberapa foto kehidupan sehari-harinya.
"Kapan kalian berdua mulai saling mengobrol?" Aku hanya menghela napas lega dan mengembalikan ponsel itu pada Gunawan. Baru kemudian aku sadar kalau mereka sudah berhubungan satu sama lain secara pribadi.
"Itu bukan urusanmu, bukan? Dan juga, kamu bukan satu-satunya orang yang tumbuh bersama Fransiska. Dia juga temanku, dan kami boleh saling berbicara."
"Lebih baik jangan sampai aku tahu bahwa kamu sedang mendekatinya, atau aku tidak akan melepaskanmu." Aku mengingatkan Gunawan karena dia adalah seorang buaya darat yang suka memainkan wanita.
Aku sangat takut dia akan mengejar Fransiska dan kemudian menyakitinya seperti yang dia lakukan dengan semua pacarnya dulu.
"Wah! Wah! aku takut sekali!" kata Gunawan dengan nada mengejek dan melanjutkan, "Serius deh, Bro, ada apa denganmu? Kamu bahkan telah mengirim surat cerai untuk istrimu, tapi kamu masih menahannya. Jelas saja kamu tidak ingin melepaskannya. Kupikir kamu telah jatuh cinta padanya, Bro. Entah kamu belum tahu atau kamu sudah tahu tapi tidak mau mengakuinya. Mengenai Fera, kamu hanya bersamanya karena kamu merasa kasihan padanya."
"Bagaimana mungkin?" Aku bertanya dengan sinis. Tetapi ketika kata-kata itu keluar dari bibirku, aku sadar kalau Gunawan mungkin ada benarnya. Apakah dia benar tentangku? Saat ini aku bahkan tidak tahu.