Cinta yang Tak Tertahankan
Penulis:Gorgeous Killer
GenreRomantis
Cinta yang Tak Tertahankan
Sudut Pandang Fransiska:
Beberapa hari setelah pesta ulang tahun Grup Lusman William tidak juga menampakkan batang hidungnya. Saat itu aku juga sedang sibuk untuk mempersiapkan wawancara kerja, jadi aku tidak terlalu memperhatikan ketidakhadirannya.
Suatu hari, Susanna dan aku mengatur jadwal untuk bertemu setelah berpisah selama bertahun-tahun. Jadi sekarang aku berdiri di pinggir jalan, dan menunggu teman tersayangku datang.
Tiba-tiba, seorang wanita muda dengan rambut merah tampak berlari dari kejauhan. Baru setelah dia mendekat, aku mengenali siapa itu. Itu adalah Susanna.
"Susanna, kenapa rambutmu dicat merah?" tanyaku dengan tidak percaya. Sejak masih duduk di bangku SD, Susanna sudah ingin mewarnai rambutnya menjadi merah. Dan akhirnya sekarang dia pun melakukannya. Aku benar-benar terkejut saat melihatnya. Lagi pula, terakhir kali kami melakukan panggilan video, rambutnya masih berwarna alami.
"Sis, seharusnya ini menjadi kejutan! Selama tiga tahun kamu tidak pernah pulang untuk menemui sahabatmu. Tentu saja, aku harus melakukan sesuatu untuk menghukummu."
Kami berdua sudah seperti adik kakak yang telah berpisah selama bertahun-tahun. Kami saling berpelukan dan dengan penuh semangat melompat kegirangan di depan pintu masuk kafe. Iya, kami memang sering mengobrol melalui video tapi itu tetap tidak akan menggantikan kegembiraan menemui temanku secara langsung. Karena kami hanya bisa saling berpelukan jika kami langsung bertatap muka.
"Yah, ceritakan semuanya padaku. Kapan kamu akan pindah ke tempatku? Ah, aku tahu! Aku akan segera menelepon teman-teman kita yang lain. Kita bisa mengadakan pesta menginap!"
"Sejujurnya aku belum tahu, tapi aku akan segera pindah."
Susanna mengantarku masuk ke kafe sambil berbicara. Kami memesan dua potong tiramisu dan menikmatinya sambil melanjutkan obrolan kami.
"William masih tidak membiarkanmu pergi? Kamu sudah dengar belum? Belakangan ini ada gosip terbaru tentang Fera si jalang itu.
"Aku tidak peduli dengan mereka. Setelah aku dan William bercerai, aku tidak akan punya hubungan apa pun lagi dengan mereka."
"Baguslah kalau begitu. Sebentar lagi kita bisa menjadi teman serumah lagi."
Aku dan Susanna mengobrol dengan amat seru. Kami berbagi sentimen yang sama mengenai masalah ini. Tidak peduli apa yang akan terjadi, aku tahu bahwa dia akan selalu berada di sisiku. Aku bersyukur memiliki teman sepertinya dan aku juga bisa mencurahkan perasaanku tanpa rasa khawatir.
"Apa kamu ingat dengan pekerjaan yang aku sebutkan terakhir kali? Yah, aku memberitahu tentangmu dan memberikan CV-mu. Dia sangat puas. Bahkan dia ingin aku membawamu ke perusahaan kami dengan segala cara, meskipun itu berarti aku harus menculikmu."
"Kamu pasti bercanda." Aku terkekeh dan menggigit kue di depanku.
"Aku tidak bercanda. Bersiaplah untuk menjadi pembawa acara TV yang terkenal! Biarkan pria itu menyesal karena telah membiarkanmu pergi."
Setelah menghabiskan sepanjang hari bersama Susanna, aku pun pergi ke rumahnya. Dia meminjamkan setelan formal untukku sebelum aku pergi ke kantornya, Media Pelita Cahaya, untuk wawancara kerja.
Saat itu Susanna menepuk pundakku dan tersenyum menenangkan. "Jangan gugup. Kamu tampak sempurna."
******
Di ruang rapat wawancara.
"Nona Fransiska Jollyn, kenapa Anda ingin bergabung dengan perusahaan saya? Kami telah membaca CV Anda. Berdasarkan kualifikasi Anda, Anda bisa melamar kerja di tempat yang lebih baik. Kenapa di sini?"
pewawancara yang botak dan baik hati itu bertanya sambil tersenyum.
"Alasan sebenarnya saya memilih bidang ini adalah karena saya ingin menghadirkan apa yang diminati oleh para penonton. Peran media adalah untuk membuka mata publik dan membuat mereka melihat kenyataan, bukan menipu mereka. Saya percaya bahwa Media Pelita Cahaya memiliki keberanian untuk mengatakan kebenaran dan bertanggung jawab untuk itu."
Pewawancara melihat CV-ku lagi dan mengajukan beberapa pertanyaan lagi. Dia kemudian membisikkan beberapa kata kepada pewawancara yang ada di sebelahnya. Aku menatapnya dengan cemas ketika dia akhirnya berbalik menghadapku.
"Selamat, Nona Jollyn. Selamat datang di Media Pelita Cahaya."
Begitu aku keluar dari gedung, aku langsung menelepon Susanna dan memberitahunya tentang kabar baik ini.
Lalu aku memesan Grab dan kembali ke Jalan Garden.
Aku tidak membawa banyak barang ke sini. Bahkan sebenarnya aku hanya membawa satu koper. Mungkin aku bisa berkemas dan segera pindah hari ini.
Ketika aku sampai di rumah, aku melihat mobil William diparkir di jalan masuk, sementara lampu di dalam vila sedang menyala. Dia pasti ada di rumah.
Ini adalah kesempatan yang sempurna untuk membereskan semuanya sekali dan selamanya.
Aku mendorong pintu hingga terbuka, dan mataku terbelalak kaget dengan apa yang kulihat. William sedang berbaring di sofa dan memegangi perutnya dengan raut wajah yang menyedihkan.
Ketika dia menatapku, dia tidak terlihat dingin ataupun acuh tak acuh seperti biasanya. Sebaliknya, dia mengulurkan tangannya kepadaku seolah sedang menggenggam suatu penyelamat terakhir. Dia tampak rapuh dan kesakitan.
"Apa... ada apa denganmu?" tanyaku, kaget dengan ini semua.
"Perutku... sakit... sakit sekali..." jawabnya dengan tegang.
Aku bergegas pergi menuju laci obat dan langsung mengambil pil untuk sakit perutnya. Aku tahu bahwa terkadang perut William bisa sakit. Lalu aku menuangkan segelas air untuk membantunya minum obat lebih cepat.
Tapi aku terkejut karena dia membuka mulutnya kepadaku seperti burung yang sedang menunggu untuk disuapi.
Apa dia ingin aku menyuapinya? Tiga tahun yang lalu... Bukannya dia yang memintaku untuk menjaga jarak darinya?
"Ulurkan tanganmu," kataku hati-hati. Aku tidak ingin dia membenciku lagi.
Tanpa menunggu tanggapannya, aku lalu meletakkan pil di tangannya dan memberinya segelas air.
William meminum obatnya. Kemudian, dengan mata terpejam, dia bersandar di sofa, mengambil bantal, dan memeluknya.
Memang benar tidak ada seorang pun yang terbuat dari besi. Bahkan William yang selalu sedingin es, tampak jinak seperti harimau ompong saat sakit.
Mau tak mau aku meliriknya beberapa kali. Harus kuakui, aku lebih menyukai sisi dirinya yang seperti ini dibandingkan sisi arogan dan dominannya yang biasa.
Saat itu aku pun pergi ke kamar dan mengambil selimut untuknya.
Begitu aku meletakkan selimut di atasnya, dia hanya melirikku dan bahkan tidak mengucapkan terima kasih.
Kukira aku bisa menyelesaikan masalah dengannya saat dia berada dalam kondisi terlemah. Aku hanya mengambil napas dalam-dalam dan mengumpulkan keberanianku.
"Aku akan segera pindah," kataku dengan tegas.
Harimau ompong itu tiba-tiba berdiri dan melemparkan selimut ke lantai karena terkejut.
"Apa kamu bilang?" tanya William sambil menatapku dengan tatapan membara.
"Aku bilang aku akan pindah dan tinggal bersama Susanna," ulangku. Tapi saat aku melihat wajahnya yang merah karena marah, aku kehilangan kepercayaan diri yang baru saja terkumpul.
"Tidak boleh!" William menolak dengan tegas. Tapi begitu dia selesai berbicara, dia langsung meringis kesakitan, memegangi perutnya, dan berbaring lagi.
"Kita akan melewati proses perceraian kalau kamu sudah baik-baik saja."
Aku membungkuk untuk mengambil selimut di lantai. Namun, William menutup hidungnya dan tidak menerimanya.
"Kenapa baumu aneh sekali?" Dia kemudian menghadap ke arah lain dan menambahkan, "Nanti saja kita bicarakan. Pergi dan mandilah dulu."
Aku hanya bisa mencemooh ucapan William tersebut. Sepertinya obatnya sudah mulai bekerja karena dia mulai berkelahi denganku.
Meski begitu, aku masih mencium bau tubuhku sendiri. Aku tidak berbau aneh. Apa yang sedang dia bicarakan tadi?
Namun demikian, aku naik ke atas dan mandi, seperti yang dia minta. Tiba-tiba, kata-katanya terlintas di benakku. Apa maksudnya saat dia berkata 'tidak boleh'? Apa aku perlu minta izin darinya untuk pindah? Perjanjian perceraian sudah dikirimkan kepadaku melalui email begitu aku kembali dari luar negeri. Apa lagi yang dia inginkan?
Tidak lama kemudian aku pun selesai mandi. Saat aku mengeringkan diri dengan handuk mandi, aku sadar kalau aku lupa membawa pakaianku ke kamar mandi karena terburu-buru.
Seharusnya William masih di bawah. Aku bisa menyelinap keluar untuk mengambil baju ganti baru tanpa masalah.
Tapi saat aku hendak berjalan keluar dari kamar mandi telanjang bulat, aku mendengar langkah kaki di luar pintu.
Dari suaranya, itu William yang sedang berjalan ke atas. Tampaknya sakit perutnya pulih lebih cepat dari yang aku perkirakan.
Aku berjalan kembali ke kamar mandi, tepat sebelum pintu kamar tidur terbuka.
"Apa kamu belum selesai?" tanya William dengan cemberut.
"Aku lupa membawa bajuku," jawabku canggung dari dalam kamar mandi.
Ruangan itu sangat sunyi untuk beberapa saat. Tapi kemudian aku mendengar suara koperku dibuka. Sebuah pikiran tiba-tiba terlintas di benakku. Gambaran William mengobrak-abrik koperku untuk mencari pakaian dalam muncul di benakku, dan ini membuat wajahku menjadi merah padam. Tapi entah kenapa, aku lebih penasaran dengan raut wajahnya.
"Pakaianmu ada di tempat tidur," kata William dengan tenang.
Setelah itu dia berjalan keluar dan menutup pintu di belakangnya.
Aku bergegas keluar dari kamar mandi dan berpakaian sesegera mungkin. Begitu selesai, aku langsung berjalan ke bawah dan melihat William masih berbaring di sofa dan mengerang kesakitan.
"Ada apa?" tanyaku dengan alis berkerut.
"Perutku masih terasa sakit," jawabnya lemah.
Serius? Bukannya dia baru saja minum obat dan bahkan sanggup naik ke atas? Bagaimana dia bisa sakit lagi tiba-tiba? Aku menatapnya dengan curiga.
"Apa kamu mau minum pil lagi?"
"Aku sudah minum terlalu banyak obat hari ini. Apa kamu ingin aku kelebihan dosis?"
"Kalau begitu kamu berbaring saja."
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, aku naik ke atas untuk mengemasi barang bawaanku. Bahkan jika aku tidak bisa pergi malam ini, aku bisa berkemas sekarang, jadi besok aku tinggal mengambil barang-barangku dan pergi dari sini.
Aku berdiri membeku di tempat saat aku memasuki kamar tidur. Koperku terbuka dan pakaianku berserakan di mana-mana. Satu-satunya yang harus dia lakukan hanyalah mencari sepasang pakaian untukku. Apa dia perlu mengeluarkan semuanya dan menyebarkannya di seluruh ruangan?
Sementara aku tenggelam dalam pikiran, erangan keras dan menyedihkan terdengar dari bawah. Aku langsung berlari ke bawah dan melihat William dengan keringat dingin dan menderita kesakitan yang amat sangat.
"Perlukah aku panggilkan ambulans?"
"Tidak, aku baik-baik saja. Aku merasa panas. Beri aku segelas air es."
"Sayangnya aku tidak bisa. Perutmu sakit. Kamu tidak boleh minum air dingin, atau rasa sakitnya hanya akan bertambah parah." Lalu aku mengambil handuk basah sebagai gantinya dan meletakkannya di dahinya untuk menyerap keringat.
Aku tidak bisa meninggalkannya sendirian dalam keadaan seperti ini. Karena tidak ada yang bisa aku lakukan, maka aku pun pasrah dengan nasib dan duduk di sebelahnya.
Beberapa saat kemudian William pun tertidur. Aku menarik selimut untuk menutupinya karena rasa peduli. Aku telah memutuskan untuk menjaganya malam ini. Tapi sebelum aku menyadarinya, aku sudah tertidur.