Cinta yang Tak Tertahankan
Penulis:Gorgeous Killer
GenreRomantis
Cinta yang Tak Tertahankan
Sudut Pandang Fransiska:
Aku tahu bahwa aku sedang bermimpi. Aku berada di suatu pesta pernikahan, dan aku adalah pengantinnya. Aku berdiri tepat di depan pengantin priaku, tapi aku tidak bisa melihat wajahnya.
"Hasssyi!" Aku terbangun karena bersin. Aku melihat diriku yang sedang berbaring di tempat tidur.
Aku tidak tahu bagaimana aku bisa naik ke sini. Hal terakhir yang kuingat adalah bersama dengan William di lantai bawah. Setelah itu, aku tidak mengingat apa-apa lagi. Kenapa aku merasa sangat pusing?
Aku juga merasa seperti terbakar. Aku melemparkan selimut dan mencoba untuk bangun.
"Jangan bergerak," sebuah suara tegas memerintahku dari pintu.
Aku menoleh dan melihat William sedang berdiri di sana. Dia sedang memakai sebuah celemek. Aku tidak bisa menahan tawa karena aku belum pernah melihatnya seperti itu.
"Kamu masuk angin. Apa kamu lapar? Sarapan akan segera siap." Dia berbalik dan pergi turun setelah mengatakan itu
Aku berjuang untuk berdiri dan pergi ke kamar mandi. Setelah mandi, aku merasa seakan kepalaku mau meledak dan lututku akan lepas. Aku menyeret diriku lagi ke tempat tidur.
William datang kembali sebelum aku bisa meringkuk di bawah selimut. Dia membawakan semangkuk bubur panas dengan daging sapi dan udang untukku.
Aroma bubur itu lezat sekali, tapi aku hanya ingin tidur.
"Aku tidak nafsu makan. Aku tidak mau makan."
"Tidak bisa, kamu harus makan. Ayo, bangun."
Sambil berbicara, William mengambil bantal dan meletakkannya di kepala tempat tidur agar aku dapat bersandar.
Aku berusaha untuk menopang diriku, sementara tenggorokanku terasa gatal sekali, dan aku mulai batuk dengan keras. Dia menyeka mulutku dengan tisu.
"Ini. Makanlah," katanya dan mengambil bubur untuk menyuapiku.
Aku menatapnya dengan bingung dan tidak percaya. Dia tidak pernah merawatku dengan begitu lembut sebelumnya. Ada apa ini? Apa tadi malam dia minum obat yang salah sehingga dia jadi aneh begini hari ini?
Aku harus berhenti sejenak dan memeriksa apakah ini mimpi. Setelah memastikan bahwa aku sudah terjaga, aku pun membuka mulutku dan membiarkan suamiku menyuapiku.
Tiba-tiba, ponselku berdering. Yang menelepon adalah Lufita.
"Hai, Nenek."
"Oh, bagus, kamu sudah bangun. Halo, Sayang. Aku menelepon untuk mengundangmu dan William untuk makan malam nanti. Aku akan memasak untukmu."
"Nenek, aku..." Aku mulai batuk-batuk lagi sebelum bisa menjelaskan.
"Fransiska? Ada apa?"
"Aku merasa tidak enak badan, Nenek."
"Apa kamu sedang sakit? William di mana? Apa dia merawatmu sekarang? Tunggu aku, Sayang. Aku akan segera ke sana."
Aku menatap William dan berbisik. "Nenek akan datang sekarang."
"Baiklah. Sarapan dulu."
Lagi-lagi dia menyuapiku sesendok bubur.
Setelah menyelesaikan sarapanku, aku bangun, berkumur, turun, dan menunggu Lufita di ruang tamu. Aku meringkuk di sofa. Berikutnya Hestia dan Lufita tiba di sini.
"William, ada apa dengan Fransiska? Kamu bisa mengelola grup besar senilai triliunan rupiah, tapi mengapa kamu tidak becus dalam mengurus istrimu sendiri?"
"Nenek, aku sakit perut kemarin. Fransiska telah merawatku, tapi kemudian dia jatuh tertidur di sofa dan masuk angin," jelas William sambil mengantar Ibu dan Neneknya masuk.
"Bagaimana dengan perutmu sekarang?"
"Jauh lebih baik."
"Kalau begitu jaga Fransiska baik-baik. Bawa dia ke atas. Jika dia tidak enak badan, maka dia harus segera beristirahat di tempat tidur."
Mau tak mau aku merasa tersentuh saat mendengar percakapan antara William dengan Lufita. Ternyata aku tertidur di lantai bawah. Jelas saja William yang telah membawaku ke kamar tidur. Aku hanya tidak bisa mengingatnya. Dan sekarang Lufita malah memintanya untuk menggendongku lagi ke atas.
"Tidak apa-apa, Nenek. Aku bisa naik sendiri."
Lufita tidak mendengar protesku dan menatap William.
Lalu William menarikku dengan mudah ke dalam pelukannya.
Aku tidak punya pilihan selain memeluk bahunya yang kuat dan lebar. Dia masih menatapku dengan dingin, tapi begitu tubuh kami bersentuhan, aku merasakan aliran listrik melalui kulit dan tulangku. Ini adalah pertama kalinya William memelukku sedekat ini saat aku sadar. Aku menundukkan kepala dan menggertakkan gigi. Seluruh tubuhku terasa panas, tapi entah kenapa, pipiku bahkan terasa lebih panas.
Hestia dan Lufita ikut naik ke atas bersama kami dan melihat semua pakaianku yang sudah bertebaran dimana-mana.
"Ada apa ini? Kenapa semua pakaianmu berhamburan di luar begini, Fransiska?"
"Nenek, aku... Aku akan pindah. Aku telah mendapat pekerjaan baru." Aku menghindari tatapan Lufita.
Dengan tajam Lufita melirik ke arah William.
"Apa ini semua karena Fera?"
"Tidak, Nenek. Aku hanya ingin kerja. Tempat baruku dekat dengan kantor baruku," aku buru-buru menjelaskan.
"Jika itu alasannya, maka kamu tidak harus mencari tempat sendiri. Kami punya banyak rumah. Salah satunya pasti dekat dengan kantormu. Terus kita bisa tinggal bersama dan William akan pulang kembali dengan kita. Seluruh keluarga harus tinggal bersama." Ada sedikit kecemasan dalam nada suara Lufita.
"Sayang, bilang saja padaku kalau William tidak memperlakukanmu dengan baik," kata Hestia padaku sambil memegang tanganku.
"Nenek, Ibu, aku sangat menghargai kebaikan kalian. Tapi aku..."
Sebelum aku bisa menyelesaikan kalimatku, Lufita sudah memotongku.
"Kita bisa membicarakan hal ini lain kali, Fransiska. Untuk sekarang kamu perlu istirahat. Kami akan pergi sekarang. Nanti aku akan mengirim seseorang untuk mengantar makan malam. Aku akan membuat pai apel favoritmu."
Awalnya aku pikir akan mudah bagiku untuk pindah dari sini, tapi ternyata aku salah. Ternyata, ada banyak lika-liku yang harus aku lalui.
William lalu mengantar Hestia dan Lufita pulang. Aku merangkak ke tempat tidur dan langsung tertidur.
Sudut Pandang William:
"William, yang paling penting bagimu sekarang adalah untuk membahagiakan Fransiska agar kalian berdua bisa bersiap untuk punya bayi. Kakekmu, ayahmu, ibumu, dan aku akan membantumu dengan urusan perusahaan."
"Iya, Sayang. Kamu semakin tua. Kamu harus berpikir untuk memulai keluargamu sendiri."
Ketika aku mengantar mereka pulang, ibu dan nenekku membombardirku dengan bermacam-macam pengingat. Aku tahu semakin lama aku menunggu untuk memberi tahu mereka tentang perceraian, maka semakin tinggi harapan mereka, dan itu hanya akan memperburuk situasi.
"Nenek, Fransiska dan aku sudah tidak cocok satu sama lain. Kami sudah membicarakannya. Kami akan segera bercerai."
Pengakuan itu meluncur begitu saja dari lidahku. Aku tidak menyangka bahwa akan begitu mudah untuk berbicara tentang sesuatu yang telah aku biarkan mendidih di dalam diriku untuk beberapa lama.
"Apa? Apa kamu bilang?"
"Kamu pasti bercanda kan."
Dan itu dia. Setiap kali ibu dan nenekku marah denganku, mereka akan memanggilku dengan nama lengkapku. Sekarang aku sadar kalau ini adalah ide buruk untuk memberi tahu mereka di dalam kendaraan yang sedang berjalan. Ini bukan tempat yang bagus untuk Nenek terkena serangan jantung.
"Hentikan mobilnya! Aku mau turun! Aku beri tahu ya, anak muda! Jika kamu berencana untuk menceraikan Fransiska, maka aku akan meminta kakekmu untuk mengubah wasiatnya!" teriak Lufita.
"Aku akan segera menelepon James dan memintanya untuk menjemput kita," gumam Hestia.
Aku tidak punya pilihan selain menepi di sisi jalan dan menanggung serangan kata-kata dari ibu dan nenekku. Mereka berdua mendidih karena merasa sangat marah.
"Kamu ingin menceraikan istrimu karena si Fera itu, bukan? Aku tahu itu. Dasar pelacur licik! Aku tahu dia adalah orang jahat dari semua film jelek yang dia bintangi! Dan dia pernah memacari pria yang bahkan lebih tua dari kakekmu! Apa kamu sudah gila, William? Tidak. Kamu tidak bisa bersama Fera. Langkahi dulu mayatku!" Sambil berbicara Lufita bernapas dengan terengah-engah. Aku segera mengambil sebotol air dan memberikannya.
"Aku setuju! Apa yang kamu pikirkan, Nak? Fransiska adalah istri terbaik yang bisa diinginkan oleh pria mana pun, dan kamu akan membuangnya untuk aktris rendahan?"
Aku hanya duduk di sana dalam diam. Aku tidak perlu repot-repot untuk membela diri. Aku hanya membiarkan mereka memarahiku untuk waktu yang lama sampai kemarahan mereka mereda.
"Fera terkena kanker," kataku akhirnya. Awalnya aku hanya ingin menceraikan Fransiska dan menikahi Fera karena aku ingin membuat Fera bahagia di hari-hari terakhirnya.
Ibu dan Nenek tercengang ketika mendengar pengakuanku.
"Aku menyesal sekali mendengar itu, tapi tetap saja Fransiska tidak seharusnya menjadi korban di sini. Fransiska adalah bagian keluarga kita, William. Kita bahkan sudah mengenalnya sejak dia masih kecil. Dia itu istrimu. Dia adalah prioritas utama."
Setelah beberapa saat, James tiba dan menjemput ibu dan nenekku.
"Pikirkan kembali keputusanmu, William."
Setelah James mengantar Ibu dan Nenek pulang, aku duduk lama di mobil sebelum kembali ke vila. Ketika aku sampai di rumah, rumah itu terdengar sepi seperti kuburan. Aku naik ke atas dan mendorong pintu kamar tidur dengan lembut.
Fransiska masih berbaring di tempat tidur. Rambutnya sedikit berantakan, dan alisnya sedikit menyatu. Bibirnya cemberut, dan bagiku ini tampak agak imut.
Aku melihatnya sedekat ini sekarang dan aku sadar kalau aku tidak pernah begitu menghargai kecantikannya.
Aku menikahinya tiga tahun lalu, tapi aku tidak pernah menyentuhnya. Tapi sekarang, melihat dia tidur, aku memiliki perasaan aneh. Dia benar-benar mengatakan kepada ibu dan nenekku sebelumnya bahwa dia ingin pindah.
Tapi tidak, aku tidak akan mengizinkannya.
Aku tidak akan membiarkan dia meninggalkan hidupku dan melepaskan diri dari duniaku. Karena jauh di lubuk hatiku, aku merasa tidak bisa hidup di dunia jika aku tidak terikat dengannya.
Tiba-tiba, Fransiska berguling dan membuka mulutnya sedikit seperti sedang menggumamkan sesuatu.
Aku belum pernah menciumnya, kecuali satu kecupan kilat di bibir saat kami menikah. Dan sekarang, sambil menatap bibirnya, aku mendapati diriku bertanya-tanya bagaimana rasanya menciumnya dalam-dalam dan penuh gairah. Apa Fredi sudah menciumnya? Sialan!
Berikutnya aku sudah mencondongkan tubuh ke arahnya sampai kami cukup dekat untuk berbagi napas.
Lalu, tiba-tiba, kelopak mata Fransiska terbuka. Dia menatapku dengan mata besar dan lebar seperti rusa yang tertangkap di lampu depan mobil.
Aku kemudian menatap matanya dalam-dalam, dan waktu serta dunia seakan berhenti berputar.