"Sedang apa kamu di sini? Tuh cucian masih numpuk!" seru ibu mertuaku saat aku tengah duduk di dekat pintu.
Sudah sekitar lima bulan sejak pernikahanku dengan Bang Dirga dilaksanakan, aku dengan terpaksa harus ikut tinggal di rumah mertuaku. Bagaimana tidak terpaksa jika saja di rumah ini aku diperlakukan layaknya pembantu. Belum lagi aku juga harus bekerja untuk perekonomian keluarga ini. Belum cukup penderitaanku hanya di situ, setiap gaji yang harusnya aku dapatkan malah diambil alih oleh Bang Dirga dan diserahkan kepada ibunya yang ingin selalu terlihat modis.
"Aku capek, Bu. Istirahat sebentar ya," pintaku memelas.
"Tidak ada istirahat-istirahatan. Ini sudah siang sebentar lagi kamu kerja. Kalo kerjaan rumah gak beres siapa yang mau beresin. Ibu mana mau mengerjakan kerjaan pembantu seperti itu," tukas ibu mertuaku.
Bagi Ibu dan kakak iparku, mengerjakan pekerjaan rumah itu hanya pantas dilakukan oleh seorang pembantu. Jadi meskipun mereka menganggur dan hanya ongkang-ongkang kaki mereka tidak akan sudi untuk mengurus rumah ini.
"Kalo pekerjaan rumah belum selesai kamu gak boleh berangkat kerja. Kamu harus selesaikan pekerjaan rumah dulu baru boleh kerja." Ibu melotot kepadaku.
"Tapi, Bu kalo gak kerja aku gak dapat uang," aku menunduk. Menyembunyikan raut kesalku agar ibu mertuaku tidak mengetahui itu.
Aku ingin agar ibu hanya mengetahui bahwa aku menantu yang lemah dan penurut sebelum akhirnya akan kuberi kejutan yang mengesankan.
“Halah sok gaya kamu, kayak gaji berapa aja. Cuma pegawai biasa aja belagu sok-sokan mau datang tepat waktu,” kata ibu mertuaku penuh cibiran. “Dibayar berapa kamu sama bos di tempat kerja kamu sampe suka banget datang tepat waktu kayak gitu? Untuk kebutuhan kamu satu bulan saja kurang udah berani ngelawan, Ibu. Makanya cari kerja tuh yang bener. Yang gajinya gede jadi bisa bayar pembantu buat urusin rumah. Masa ibu yang urusin rumah, bisa kasar nanti tangan ibu,” sambung ibu mertuaku.
Gaji dengan posisi karyawan sepertiku saat ini memanglah sedikit. Hanya mampu menutupi kebutuhan rumah tangga satu bulan. Itupun harus pandai berhemat. Tapi seharusnya itu menjadi hakku seratus persen bukan. Kebutuhan rumah tangga itu seharusnya di tanggung oleh suami tapi di sini akulah yang harus jadi tulang punggung keluarga ini. Mengabdikan waktu dan tenaga untuk kebutuhan seisi rumah.
"Cepetan kerjakan, atau kamu tidak ibu kasih makan untuk hari ini," ancam ibu.
"Ba-baik, Bu," ucapku seraya berlalu ke tempat dimana setumpuk cucian telah menantiku.
Bukanya aku lemah dengan tidak pernah melawan setiap perlakuan mereka terhadapku. Tidak, aku bisa membalasnya dengan mudah hanya saja aku ingin melihat sampai mana mereka bisa merendahkanku seperti ini. Toh tanpa mereka pun aku masih bisa hidup dengan layak bahkan sangat jauh dari kata layak.
"Nanti kamu gajian kan, May?" tanya kakak iparku saat aku tengah mencuci baju miliknya.
"Iya, Mbak," jawabku tanpa menoleh kepadanya.
"Nanti kasih ke aku lima ratus ya jangan kasih ke Ibu semua. Aku perlu uang untuk beli baju couple dengan suamiku," Mbak Sinta berujar dengan penuh penekanan.
"Tapi, Mbak. Semua gajiku di kirim ke rekeningku sedangkan kartu ATM ku saja di pegang Bang Dirga," jujurku karena memang demikian meskipun aku masih memiliki kartu ATM yang lainnya. Yang tak seorangpun tahu.
Sejak menikah dengan Bang Dirga lima bulan lalu memang aku sudah tidak pernah lagi mengetahui dimana kartu ATM dan tinggal berapa uang yang ada di dalamnya.
Dulu sebelum aku menikah dengan Bang Dirga aku memiliki tabungan yang lumayan di rekeningku. Bahkan aku bisa menggunakan uang gajiku untuk memenuhi kebutuhan serta menabung sedikit demi sedikit untuk kebutuhan yang akan datang. Tapi, setelah aku menikah dengan Bang Dirga dengan paksa Bang Dirga mengambil buku rekening serta kartu ATM ku.
/0/16757/coverorgin.jpg?v=80262f4ae88fc4d14802688762ba1d8a&imageMogr2/format/webp)
/0/5761/coverorgin.jpg?v=3221c9cf3dacd31904f13e0509382acc&imageMogr2/format/webp)
/0/17461/coverorgin.jpg?v=fe90480b6093bb9bb2b784bd53f011bd&imageMogr2/format/webp)
/0/3765/coverorgin.jpg?v=09549bfc1c192f516f65b6033d23efcb&imageMogr2/format/webp)
/0/2684/coverorgin.jpg?v=592c3bb0095371dbe18e6ccc3a55f03f&imageMogr2/format/webp)
/0/5813/coverorgin.jpg?v=625dbb84355f052f6991bc33e1740359&imageMogr2/format/webp)
/0/17746/coverorgin.jpg?v=deea8e13ca8020fe838218627471e29a&imageMogr2/format/webp)
/0/29533/coverorgin.jpg?v=8c4ac106adacfaa3d319ecd9ebcd3159&imageMogr2/format/webp)
/0/6257/coverorgin.jpg?v=3b7b407dbda72bf48056115c9971ec78&imageMogr2/format/webp)
/0/12423/coverorgin.jpg?v=3d5051c1c0e8628dc3e8520fa5689370&imageMogr2/format/webp)
/0/5984/coverorgin.jpg?v=7594470496f3997d0ffaaec9e85bca58&imageMogr2/format/webp)
/0/6487/coverorgin.jpg?v=5b7a28da01d709a8d9cb9d8337484d8a&imageMogr2/format/webp)
/0/13515/coverorgin.jpg?v=d6af7dfcc48f2586de8c8509651bb865&imageMogr2/format/webp)
/0/6716/coverorgin.jpg?v=aa47d8853cb4fc2d190f699a4e96e89a&imageMogr2/format/webp)
/0/5255/coverorgin.jpg?v=c14953358fe5381a06375faa1543d1f3&imageMogr2/format/webp)
/0/12287/coverorgin.jpg?v=dc9ec73b075f7f84b492682478ed1f3a&imageMogr2/format/webp)
/0/14508/coverorgin.jpg?v=98e8c4aaf99418b9b32d635dfec6f032&imageMogr2/format/webp)
/0/21574/coverorgin.jpg?v=260e08441a1198d9cd3c993822272973&imageMogr2/format/webp)
/0/6113/coverorgin.jpg?v=fc9bcc20ca6d2892ecdca7fb4356e955&imageMogr2/format/webp)