Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Dua bulan setelah menikah, aku hamil. Bertepatan dengan berakhirya masa kontrak kerjaku di pabrik. Aku dan suami telah sepakat, jika kontrak kerjaku telah usai, kami akan tinggal di rumah orang tuanya.
Rumahnya cukup besar dengan tiga kamar tidur, halaman depan dan halaman belakang rumahnya juga cukup luas. Ada berbagai macam tanaman hias dan beberapa sayuran yang ditanam di halaman depan. Sedangkan di halaman belakang, ada kandang ayam, kandang domba, dan lahan untuk ternak bebek.
Lingkungannya sejuk karena ditumbuhi banyak pepohonan seperti pohon pisang, pohon mangga, pohon sirsak, dan pohon pepaya.
Suamiku tidak bekerja, biasanya dia bekerja sebagai kuli bangunan. Namun, saat ini tengah dalam keadaan sulit. Tak ada proyek sama sekali. Sehingga kesehariannya hanyalah membantu ayah mertua di kebun.
"Aw, perutku sakit." Aku meremas kain baju di sekitar perut. Peluhku berjatuhan menahan sakit.
Aku tengah mencuci piring, tetapi entah mengapa perutku tiba-tiba terasa sakit. Kram perut yang sakitnya melebihi sakit datang bulan.
Kamar mandi rumah mertuaku berada di bawah, perlu menuruni beberapa anak tangga. Dengan bak besar berbentuk balok. Panjangnya dua meter dan memiliki lebar satu meter. Kedalamannya satu meter.
Suamiku datang menghampiri. Wajahnya terlihat cemas dengan kening yang berkerut.
"Udah, biar aku aja yang cuci piring. Kamu duduk aja," titahnya.
Semenjak aku hamil, suamiku tidak mengizinkan aku untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Hanya boleh menyapu dan mengepel lantai saja, itu pun jika perutku tidak sakit.
Aku merasa tidak enak. Hanya beberapa kali saja mencucikan bajunya. Dia lebih memilih mencuci bajunya sendiri, bahkan memaksa untuk mencuci bajuku juga. Namun, aku menolaknya. Tidak pantas rasanya jika bajuku turut dicuci oleh suamiku. Aku masih bisa melakukannya sendiri.
***
"Kalau makan sedikit aja, biar gak tambah gendut," ucap ibu mertua ketika aku baru dua kali menyinduk nasi.
Aku kembali meletakkan sinduk nasi. Padahal, aku sangat lapar. Terakhir makan, saat magrib kemarin. Sampai tengah hari ini, aku belum sempat makan.
Setiap hari, aku hanya diperbolehkan makan dua kali dalam sehari. Makan pagi pada tengah hari, dan makan sore pada pukul empat sore. Sampai esok tengah hari kembali, aku harus menahan lapar.
Jika malam hari perutku terasa lapar, ibu mertua tidak mengizinkan aku makan malam. Katanya, agar tubuhku tidak bertambah gemuk.
Aku memiliki penyakit magh, perutku akan terasa sakit sekali di tengah malam. Bahkan saking sakitnya, aku sampai menitikkan air mata.
"A, laper," aduku kepada suami.
"Tahan, ya, mamah gak masak nasi," ucapnya.
"Aku masak nasi boleh gak? Gak kuat, laper."
Suamiku berlalu keluar kamar, sesaat kemudian datang kembali dengan raut wajah sendu.
"Tidurin aja, Mamah gak ngebolehin masak nasi. Katanya biar kamu gak tambah gendut. Tidur aja, ya," katanya.
Aku menganggukkan kepala, susah payah mencoba untuk tidur.
***
Sudah empat bulan usia kandunganku, tetapi belum juga periksa ke bidan. Tidak ada uang. Bahkan lima belas ribu rupiah saja untuk sekadar periksa ke puskesmas, kami tidak punya. Harus menabung terlebih dahulu.