Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Nikah Kontrak Dengan CEO Dingin

Nikah Kontrak Dengan CEO Dingin

Agus

5.0
Komentar
2.4K
Penayangan
24
Bab

Nadine Arwen dijual oleh ayah tirinya kepada seorang muncikari dan dibeli oleh Leonardo Ethan, seorang taipan sukses yang sedang mencari istri dengan syarat harus perawan. Namun, di balik pernikahan mendadak ini, Leonardo memiliki agenda tersembunyi: ia ingin menghindari pernikahan yang dipaksakan oleh kakeknya. Pernikahan mereka jauh dari kata bahagia. Leonardo bersikap dingin dan tidak peduli terhadap Nadine. Apa pun yang Nadine lakukan selalu salah di mata suaminya, seakan Leonardo menyimpan dendam dan obsesi tersembunyi yang membuat Nadine merasa terperangkap dalam kehidupan yang penuh kesulitan. Mampukah Nadine bertahan dalam pernikahan tanpa cinta ini? Atau, akankah ia memilih untuk menyerah menghadapi pria yang misterius dan dingin seperti Leonardo?

Bab 1 Pernikahan Tanpa Cinta

Nadine Arwen menatap pantulan dirinya di cermin besar yang berdiri di sudut kamar. Gaun pengantin yang dikenakannya tampak sempurna; renda halus mengalir dari bahu hingga ke ujung kaki, mengikuti lekuk tubuhnya dengan elegan. Warna putih yang melambangkan kesucian itu seakan bertolak belakang dengan perasaan batinnya yang kacau. Matanya memerah, menahan air mata yang nyaris tumpah. Ini bukan pernikahan impiannya, bukan hari yang dipenuhi kebahagiaan dan cinta. Ini adalah hari yang dipaksakan-dan dia tahu, hidupnya takkan pernah sama lagi.

"Nadine, sudah siap?" Suara pelayan wanita yang ditugaskan untuk membantu persiapan hari itu terdengar dari balik pintu. Suaranya lembut, tetapi tidak menyembunyikan kesan tergesa. Waktu pernikahan semakin dekat, dan tidak ada lagi alasan untuk menunda.

Nadine menghela napas panjang, menenangkan dirinya sebelum menjawab. "Iya, sebentar lagi." Ucapannya nyaris berbisik, seolah berbicara pada dirinya sendiri. Namun, tubuhnya enggan bergerak. Kakinya terasa berat untuk melangkah keluar dari kamar yang sempit ini menuju kehidupan barunya yang penuh ketidakpastian.

Di luar kamar, hiruk-pikuk persiapan pernikahan terus berlangsung. Para pelayan berlalu-lalang menata tempat resepsi di rumah mewah milik Leonardo Ethan, suaminya yang dingin dan tak tersentuh. Leonardo, pria yang membeli hidupnya seperti sebuah barang dagangan. Nadine tidak tahu banyak tentangnya, hanya beberapa hal yang didengarnya dari muncikari yang menyerahkannya pada pria itu. Dia kaya, berkuasa, dan tampak tanpa emosi-semua hal yang membuat Nadine merasa terperangkap.

Pernikahan ini bukan atas dasar cinta. Leonardo tidak pernah menunjukkan niat baik, tak ada romantisme, hanya kontrak yang tidak tertulis dan sebuah pernikahan yang harus terlaksana. Kakeknya menuntut agar Leonardo segera menikah, dan Nadine hanya alat untuk memenuhi tuntutan itu. Ia hanyalah pion kecil dalam permainan kekuasaan yang lebih besar.

Pintu kamar mendadak terbuka, memperlihatkan sosok Leonardo yang berdiri dengan ekspresi dingin seperti biasanya. Pria itu mengenakan tuksedo hitam, dengan postur tegap dan tatapan mata tajam yang selalu mengintimidasi. Setiap kali Nadine menatap wajahnya, dia merasakan ketidaknyamanan yang tak terjelaskan. Bukan karena Leonardo tidak menarik, melainkan karena auranya yang selalu terasa penuh dengan tekanan.

"Kau sudah siap?" Suaranya terdengar tegas, tanpa nada lembut yang bisa menenangkan hati Nadine. "Kita tidak punya banyak waktu. Para tamu sudah menunggu."

Nadine menelan ludahnya, mencoba meredakan kegugupan yang menghantuinya sejak pagi. Dia mengangguk pelan dan berdiri dari tempat duduknya. "Aku siap," jawabnya dengan suara lirih, meski jauh di lubuk hatinya, dia merasa sangat tidak siap.

Leonardo memerhatikannya sejenak dengan tatapan tajam yang membuat Nadine merasa seperti sedang dinilai, seolah apa pun yang dia lakukan tidak akan pernah cukup di mata pria itu. "Baiklah. Mari kita selesaikan ini," ucapnya dingin, berbalik meninggalkan kamar tanpa menunggu tanggapan dari Nadine.

Nadine mengikutinya, langkahnya terasa berat saat mereka berjalan menuju aula tempat pernikahan akan dilangsungkan. Lorong-lorong rumah besar itu tampak begitu asing, penuh dengan kemewahan yang justru membuatnya merasa semakin terisolasi. Sejak hari pertama tiba di rumah ini, Nadine tidak pernah merasa nyaman. Semuanya terasa dingin, mulai dari dekorasi hingga suasana yang selalu kaku di antara dirinya dan Leonardo.

Ketika mereka tiba di aula, tamu-tamu sudah berkumpul, semua berpakaian indah, berbicara dengan suara pelan sambil sesekali menoleh ke arah Nadine dan Leonardo. Nadine bisa merasakan tatapan mereka yang penuh rasa ingin tahu, bahkan beberapa di antaranya tampak merendahkan. Mereka pasti bertanya-tanya siapa dirinya, seorang gadis yang tiba-tiba muncul dan menjadi istri Leonardo Ethan, pria paling berpengaruh di kota ini.

Di depan altar, seorang pendeta sudah menunggu. Leonardo berhenti di hadapan pendeta itu, sementara Nadine berdiri di sisinya. Jantungnya berdegup kencang saat prosesi dimulai, tetapi semuanya terasa seperti mimpi buruk yang tidak nyata. Kata-kata pendeta tentang cinta dan kesetiaan hanya terdengar kosong di telinganya. Bagaimana mungkin dia bisa menjalani hidup bersama pria yang bahkan tidak pernah menunjukkan secuil perasaan hangat kepadanya?

"Kau siap menerima Leonardo sebagai suamimu, dalam suka maupun duka?" Suara pendeta memecah lamunan Nadine, membuatnya tersadar kembali pada kenyataan yang pahit.

Sejenak, Nadine terdiam. Apakah dia benar-benar siap? Hatinya menjerit, tetapi dia tahu, tidak ada jalan keluar dari ini. "Ya, saya bersedia," jawabnya dengan suara yang hampir tidak terdengar.

Tatapan Leonardo tidak berubah. Bahkan setelah kata-kata itu diucapkan, tidak ada sedikit pun ekspresi yang muncul di wajahnya. Semua ini hanyalah formalitas baginya, sebuah kewajiban yang harus dipenuhi.

Setelah cincin disematkan, pernikahan itu resmi. Mereka kini adalah suami istri. Namun, tak ada ciuman yang menghangatkan, tak ada pelukan yang menghibur. Leonardo hanya menoleh sebentar, memberi anggukan kecil kepada tamu-tamu yang hadir, lalu segera berbalik, meninggalkan Nadine tanpa berkata apa-apa.

---

Malam itu, Nadine duduk sendirian di kamar pengantin yang besar. Sementara di luar, suara riuh rendah dari para tamu yang masih merayakan pernikahan mereka terdengar samar. Namun di dalam kamar itu, kesunyian terasa begitu menusuk. Nadine menatap ke arah pintu, menunggu Leonardo datang. Tapi yang datang hanyalah keheningan yang semakin membuatnya merasa terasing.

Pintu kamar akhirnya terbuka, dan Leonardo masuk tanpa ekspresi. Dia menatap Nadine dengan tatapan yang sama seperti biasa-dingin dan jauh.

"Kau bisa tidur di sini, atau di kamar lain. Aku tidak peduli," ucap Leonardo tanpa basa-basi. Nadine terdiam, tak tahu harus berkata apa.

"Besok kita akan bicara tentang aturan dalam pernikahan ini," lanjutnya, "Tapi jangan harap ini akan seperti pernikahan pada umumnya."

Nadine menggigit bibirnya, menahan air mata yang nyaris jatuh. Inilah suaminya. Seorang pria yang membeli hidupnya, namun tak sedikit pun menunjukkan perasaan.

Leonardo berbalik tanpa menunggu tanggapan, meninggalkan Nadine sendirian dalam kegelapan.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Agus

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku