Sisil dan keluarganya selalu dikucilkan oleh keluarga besarnya, keluarga besarnya selalu menganggap Sisil orang miskin yang tidak pantas untuk ikut andil dalam acara apapun, Sisil akan membuktikan kepada keluarga besarnya bahwa dia mampu mengangkat derajat kedua orang tuanya, dia akan membalaskan dendam kepada orang-orang yang telah menghina dan merendahkannya.
(Kita kayanya ga usah undang keluarga miskin ya, palingan juga kasih amplop sepuluh ribu tapi yang datang sekeluarga, belum lagi makan nya pada rakus karena dirumah nya biasa makan nasi garam hahaha) tiba-tiba Susi membuka percakapan di grup WhatsApp keluarga, Minggu depan kakak nya Susi, bernama Sintya menikah.
(Lagi ngomongin siapa sih?) tanya Septian anak dari uwak Jeni, kakak nya bapak.
(Ya siapa lagi kalo bukan keluarga miskin yang anak sulung nya pergi rantau tapi ga kaya-kaya) jawab Susi, dia adalah anak dari paman Adit.
(Ohahahah, iya mending jangan di undang aja, malah jadi beban, belum lagi nanti mereka pasti bungkus banyak makanan) balas lagi Septian.
Aku geram membaca grup WhatsApp keluarga besar, aku tau mereka sedang menyindir keluarga bapaku, mereka dengan santainya menggunjing keluargaku, sedangkan ada aku dan ke-2 adiku di grup itu, tapi mereka sama sekali tidak peduli.
Ting
Ting
"Halo kak? Apa kakak sudah baca wa grup? Mereka menyindir kita kak!" adiku mengadu padaku, terdengar dari suaranya bahwa dia sedang marah.
"Kakak sudah baca!" jawabku kesal.
"Kakak kapan pulang? aku sudah tidak tahan dengan perlakuan mereka pada keluarga kita, belum lagi wak Jeni suka datang kerumah minta-minta uang atau ga makanan matang dirumah, bahkan dengan tega nya wak Jeni sering menghabiskan lauk nya," aku kaget dengan pengakuan Lisa adiku, sejak kapan wak Jeni berprilaku seperti pengemis.
"Masa iya? Berati mereka yang kelaparan dong? Apa bapak ga bisa tegas pada kakak nya itu?" selidiku, aku penasaran dengan situasi dirumahku.
"Bapak sering membentak wak Jeni, tapi kakak tau sendiri dia seperti apa, dia malah memaksa masuk bahkan mencari apa yang dia inginkan sendiri, bahkan dia tidak sungkan untuk menggeledah dompet bapak!" astagaaa! jadi begini kelakuan uwak Jeni selama ini, bahkan ibu atau anak-anaknya saja sungkan untuk membuka-buka dompet milik bapak.
"Kaka harus gimana Lis?" tanyaku bingung.
"Sebaiknya mulai detik ini, kakak kasihkan saja uang yang biasa kakak kasih untuk bapak itu padaku, aku yakin wak Jeni gaakan menyangka kalo uang nya ada di aku, supaya Wak Jeni ga leluasa mengambil uang milik bapak yang kakak berikan, Kaka cepet pulang dong makanya!" titah Lisa.
Aku pun mengiyakan untuk segera pulang kampung, aku geram sekali dengan kelakuan keluarga bapaku itu, ditambah juga sikap bapak yang menurutku tidak bisa tegas kepada keluarganya.
(Septian, bilang pada ibumu yang kaya itu, jangan suka minta-minta uang dan makanan kerumah bapaku, yang miskin itu bapaku atau ibumu) cukup sudah aku bersabar membaca hinaan mereka, aku pun membalas pesan itu dengan kejam, tak tanggung! Aku mengirim pesan itu di grup keluarga besar.
(Lah masa iya sih? Septian coba konfirmasi, apa betul wak Jeni suka minta makanan dan uang pada uwak Anas?) balas Susi penasaran, aku yakin Septian sedang ketar-ketir saat ini.
1 menit
3 menit
5 menit
Tidak ada jawaban dari Septian.
(Ayo balas Septian, kok diem aja? keluargamu miskin kan? Sampe minta-minta makan ke bapaku, ingat ya Septian, jangan sembarangan kalo menghina orang, ingat didalam perutmu ada makanan dari bapaku!) balasku kejam, sekali-kali manusia seperti Septian ini harus diberikan pelajaran.
Kring
Kring
Kring
Panggilan masuk dari wak Jeni, aku yakin dia sudah membaca pesanku di grup, dan sekarang dia berniat untuk melabraku.
"Hal....,"
"Heh gadis miskin! kamu mau mempermalukan Ku depan keluarga besar? Kamu fikir kamu siapa? sudah merasa kaya karena merantau kamu? Kerja jadi babu admin online saja belagu!" Tanpa salam Wak Jeni langsung memaki-ku, benar-benar tidak ada sopan santun nya, meskipun dia lebih tua dariku seharusnya Wak Jeni tidak bersikap seperti itu.
Keluarga besarku tahu-nya Aku hanya bekerja sebagai admin online, 2 tahun aku merantau di ibukota, memang pada awalnya aku bekerja sebagai admin online di suatu olshop yang sudah terkenal, karena kebaikan owner-nya, aku pun diberi peluang untuk membuka olshop barang-barang rumah tangga, dan Alhamdulillah sekarang olshop ku sudah maju pesat, bahkan aku sudah punya 3 karyawan.
"Waallaikumsallam Wak Jeni yang miskin, apa aku ga salah dengar? Memang faktanya begitu kan, bahwa wak yang miskin, mulai detik ini jangan pernah lagi meminta apapun pada bapaku, atau wak akan semakin aku permalukan!" ancamku padanya.
"Hahahah kamu mengancam saya? anak orang miskin berani-beraninya mengancam seorang juragan kontrakan di desa ini, lagian nenek kakek mu sebelum meninggal sudah menitipkan saya pada bapakmu, jadi bapakmu masih harus bertanggung jawab atas semua kebutuhanku!" ingin aku tertawa sekencang-kencangnya depan wajah uwak ku yang tidak tahu diri ini, padahal Wak jeni sudah menikah bahkan anak nya sudah besar, masa masih minta-minta kepada bapakku.
"Uwak kan sudah menikah, apa suamimu cacat? Atau pengangguran? Dan apa mungkin hanya beban keluarga saja? Tidak ada lagi tanggung jawab bapak untukmu wak! aku tidak pernah bermain-main dengan ucapanku, awas saja kalo kamu berani-beraninya meminta makanan atau kebutuhan pada bapaku!"
Klik.
Aku mematikan gawaiku sepihak, aku melihat WhatsApp grup keluarga, Septian sedang di introgasi oleh saudara-saudara sosialitanya.
Aku tidak akan tinggal diam lagi, lihat saja.
Masih teringat jelas di benakku, ketika 2 tahun silam aku lulus sekolah SMK, Rani sahabatku di kampung mengajakku bekerja di kota sebagai admin online shop, aku meminta uang kepada bapak untuk ongkos pergi ke sana.
"Pak, Sisil boleh minta uang? Buat ongkos ke Jakarta," pintaku pada bapak.
Bapak menghela nafas panjang...
"Bapak sekarang tidak punya uang, tapi akan bapak usahakan meminjam untuk kamu pergi ke kota, apa kamu sudah yakin untuk pergi ke Jakarta?" Tanya bapa menatapku lekat.
"Sisil sangat yakin untuk pergi ke sana, di sini Sisil juga bingung mau kerja apa, mudah-mudahan rezeki Sisil memang ada di ibu kota," jawabku meyakinkan bapak.
"Yasudah, lusa kan kamu pergi nya? Sekarang bapak mau keluar dulu, tunggu sebentar ya!" akupun mengangguk, bapa pergi entah kemana meminjam uang, pak, Sisil berjanji, jika sukses nanti akan membahagiakan bapak.
Sekitar 15 menit aku menunggu bapak, aku mendengar suara yang sangat aku takutkan saat itu, iya itu suara Wak Jeni.
"Sisil, Sisil!" teriak wak Jeni dengan nafas memburu.
"Ada apa Wak?" tanyaku Takut.
"Apa kamu tidak cukup membebani bapakmu dan juga aku? sudah cukup selama kamu sekolah, bapakmu sering meminjam uang kepadaku, sekarang bapakmu juga mau meminjam uang untuk kamu pergi ke ibu kota? apa kamu tidak ada capek nya bikin keluarga susah terus?" bentak wak Jeni padaku, bapak berusaha menenangkan nya.
"Teh, sudahlah lagian setiap aku minjam uang sama teteh pasti aku ganti, malah teteh minta dilebihkan aku kasih, ga pernah aku Sampai tidak bayar atau tidak melebihkan!" sanggah bapak membelaku.
"Ya tetap saja kamu menyusahkanku Anas, kamu pikir setiap kamu meminjam aku tinggal memetik uang dari pohon?" ujar wak Jeni tidak mau kalah.