Yudi dan Antika adalah sepasang suami istri yang selalu dihina oleh para kakak iparnya karena dianggap hidup susah. Namun, siapa sangka, ternyata mereka berdua sudah sukses di kota. Saat para kakak ipar tahu jika Yudi dan Antika sudah kaya, mereka berlomba-lomba untuk mendekatinya. Bagaimana kisah selanjutnya?
"Dik, aku baru saja dapat kabar kalau ibu sakit dan ibu meminta agar kita mau tinggal bersamanya, mau, kan?" kata Mas Yudi usai sarapan.
"Kenapa harus kita, kan, ada Mbak Ranti dan juga Mbak Wiwid?" tanyaku mengerutkan dahi.
Kuhentikan aktifitas yang sedang memotong wortel untuk membuat sup.
"Ibu maunya aku yang mengurusnya karena aku anak lelaki satu-satunya, mau, ya tinggal di kampung ibu? Soalnya rumah itu milikku, milik kamu juga." Mas Yudi mengusap bahuku.
"Iya, Mas, aku manut saja, kemana pun kamu pergi, aku ikut," ucapku yang membuat Mas Yudi tersenyum lega.
"Terima kasih, ya, Dek, kamu memang istri yang baik,"
"Tapi, bagaimana dengan restoran kita kalau kita tinggal di kampung, nggak mungkin kita akan bolak-balik ke sini, secara dari kampung ke sini, kan lumayan jauh," ucapku.
"Kalau masalah itu nggak usah khawatir, ada Alvin yang akan menghandle semuanya, mungkin aku akan ke sini berapa hari sekali," jawab Mas Yudi.
Jadilah sesuai kesepakatan, kami pindah ke kampung halaman Mas Yudi, sebuah kampung yang terletak di pegunungan.
_________________
"Beli ikan sama nuget ayam ya, Pak!" kataku pada tukang sayur yang tengah berhenti di depan rumah.
"Baik, Bu," jawabnya seraya memasukkan barang yang kubeli.
Pedagang sayur itu begitu cekatan melayani pembeli meski usianya sudah tidak muda lagi.
"Maaf, Pak, apa boleh kalau saya beli nagetnya setengah saja, soalnya kalau semuanya kebanyakan, yang suka cuma anak saya," pintaku pada tukang sayur itu.
"Maaf, Bu, nggak bisa, nanti yang setengahnya nggak laku. Kalau memang nggak habis kan nanti bisa disimpan di dalam freezer biar bisa buat besok," kata sang tukang sayur menolak.
Ibu-ibu yang sedang berbelanja kini berbisik-bisik satu sama lain.
"Masalahnya Bu Antika ini tidak punya kulkas, jadi, tidak bisa nyetok makanan," ujar seseibu sinis.
"Kalau di rumah nggak punya kulkas, kan bisa nitip ke tempat Bu Wiwid, dia kan Kakaknya," timpal salah seorang ibu yang memakai baju berwarna merah.
"Eh, ya nggak bisa gitu, enak saja nitip-nitip segala, emang rumah saya ini tempat penitipan barang apa?" jawab Mbak Wiwid-- kakak iparku.
Ia memandangku dengan tatapan tajam dan melotot seolah bola mata berwarna hitam itu hendak lompat dari tempatnya.
"Nggak usah, saya nggak akan nitip kok," ujarku tersenyum.
"Makanya besok beli sendiri, Mbak, percuma merantau lama di kota pulang nggak bawa apa-apa," timpal yang lain.
Ya Allah, hanya gara-gara aku tidak punya kulkas , mereka lantas mengira kalau aku belum sukses di kota.
Entah kenapa Mas Yudi tidak pernah menceritakan pada Kakak-kakaknya kalau kini kami punya restoran yang sudah maju pesat, bahkan sudah membuka cabang di beberapa tempat.
Seminggu yang lalu kami memang hanya membawa perabotan yang sedikit saat datang, kulkas sengaja kami tinggal karena kami pikir tinggal di pegunungan tidak terlalu butuh lemari pendingin. Mau makan sayur tinggal petik, lauk setiap hari ada yang jual, lagi pula, bahan makanan tetap enak kalau fresh alias langsung di masak bukan yang disimpan dalam kulkas. Menurutku, kulkas hanya diperuntukkan bagi orang yang biasa belanja bulanan atau mingguan jadi bisa buat nyetok makanan. Lagipula cuaca dingin membuat tidak enak kalau minum air dingin, enaknya minuman hangat. Aku juga kemarin melihat kulkas milik Mbak Wiwid yang kosong melompong tidak ada isinya, hanya ada tiga butir telur dan dua buah sosis.
"Makanya besok beli kulkas, biar bisa menyimpan makanan beku kaya gini?" Mbak Wiwid menunjuk naget yang akhirnya kubeli semua.
"Iya, Mbak,"
"Besok, suruh Yudi cari kerja biar nggak melamun aja di rumah," kata Mbak Wiwid usai belanja di tukang sayur dan kami beriringan pulang. Rumahnya hanya selisih tiga rumah dari rumah ibu mertua.
"Iya, Mbak," jawabku tersenyum.
Saudara Mas Yudi tidak pernah tahu kalau sebenarnya kami sudah sukses di kota. Sejak dulu mereka memang selalu menghina kami karena hanya Mas Yudi yang tidak bekerja menjadi pegawai. Ya, Mbak Wiwid punya suami yang bekerja sebagai pegawai administrasi di kantor kecamatan, sedangkan suami Mbak Ranti bekerja sebagai guru negeri di sebuah Sekolah Menengah Pertama.
Dua bulan setelah menikah, kami memutuskan untuk merantau di kota karena di sini kami selalu dihina dan disudutkan karena Mas Yudi tidak bekerja dengan seragam rapi seperti mereka. Kami hanya pulang saat lebaran, itu pun tidak pernah lama karena restoran yang kami rintis berkembang pesat.
Air mata ini kembali menetes jika teringat perlakuan buruk saudara Mas Yudi dahulu. Mereka selalu membanggakan para suami mereka yang bekerja dengan pakaian rapi, tidak seperti Mas Yudi yang harus bekerja menjadi tukang bakso keliling. Namun, alhamdulillah setelah bertahun-tahun, kini roda kehidupan sudah berputar, kami sudah sukses, meski tidak menjadi pegawai negeri.
_____________
Telingaku mendengar suara ribut-ribut di luar, sepertinya dari rumah Mbak Wiwid. Suara itu semakin keras sehingga memaksaku untuk keluar melihat apa yang sedang terjadi.
"Ada apa ini, Mbak?" Sebuah pertanyaan kulontarkan saat sudah sampai di depan rumah Mbak Wiwid.
"Mereka ini rentenir yang mau menagih utang," jawab Mbak Wiwid menunduk.
Wajah Mbak Wiwid yang biasanya garang, kini berubah seperti kerupuk yang disiram air. Melempem, bahkan ia tidak sanggup mengangkat wajahnya.
"Memangnya Mbak Wiwid punya hutang buat apa? Bukankah gaji Mas Ajun sangat besar?" tanyaku lagi.
"Aku punya hutang untuk membeli kulkas dan mesin cuci, Tik, tolong pinjami aku uang untuk membayar hutang pada rentenir itu, kalau tidak, kulkas, mesin cuci serta barang berharga yang lain akan disita oleh rentenir itu," ucap Mbak Wiwid dengan bibir bergetar.
"Nggak salah Mbak Wiwid minta pinjaman ke aku, bukankah Mbak selalu bilang kalau aku ini hanya ibu rumah tangga biasa yang punya suami pengangguran? Yang bahkan untuk makan saja susah," kataku merendah. Mas Yudi selalu bilang untuk tidak menceritakan pada siapapun tentang kesuksesan kami di kota termasuk pada kakak-kakaknya sendiri.
"Ayolah, Tik, bantu Mbak, siapa tahu kamu punya simpanan." Mbak Wiwid yang biasanya ketus saat berbicara denganku mendadak lembut kali ini.
Sikap seseorang bisa berubah dalam sekejap karena uang, biasanya kakak iparku ini selalu ketus jika berbicara denganku, bahkan terkadang tidak mau menyapa atau menjawab jika yang lebih dulu menyapanya.
Itulah manusia, jika kita tidak punya uang, maka semua orang seolah pergi menjauh, tetapi jika kita punya uang sedikit saja, mereka akan datang tanpa diminta. Uang ibarat gula dan manusia adalah semut, ada gula ada semut.
"Memangnya utang Mbak berapa?" Akhirnya keluar juga kata-kata itu dari mulutku.
Bab 1 Satu
12/05/2022
Bab 2 Dua
12/05/2022
Bab 3 Tiga
12/05/2022
Bab 4 Empat
12/05/2022
Bab 5 Lima
12/05/2022
Bab 6 Enam
12/05/2022
Bab 7 Tujuh
12/05/2022
Bab 8 Delapan
12/05/2022
Bab 9 Sembilan
12/05/2022
Bab 10 Sepuluh
12/05/2022
Bab 11 Sebelas
14/05/2022
Bab 12 Dua belas
19/05/2022
Bab 13 Tiga belas
19/05/2022
Bab 14 Empat belas
19/05/2022
Bab 15 Lima belas
20/05/2022
Bab 16 Enam belas
20/05/2022
Bab 17 Tujuh belas
20/05/2022
Bab 18 Delapan belas
22/05/2022
Bab 19 Sembilan belas
22/05/2022
Bab 20 Dua puluh
23/05/2022
Bab 21 Dua puluh satu
14/06/2022
Bab 22 Dua puluh dua
14/06/2022
Bab 23 Dua puluh tiga
14/06/2022
Bab 24 Dua puluh empat
14/06/2022
Bab 25 Dua puluh lima.
14/06/2022
Bab 26 Dua puluh enam
16/06/2022
Bab 27 Dua puluh tujuh
16/06/2022
Bab 28 Dua puluh delapan
16/06/2022
Bab 29 Dua puluh sembilan
16/06/2022
Bab 30 Tiga puluh
16/06/2022
Bab 31 Tiga puluh satu
20/06/2022
Bab 32 Tiga puluh dua
20/06/2022
Bab 33 Tiga puluh tiga
20/06/2022
Bab 34 Tiga puluh empat
20/06/2022
Bab 35 Tiga puluh lima
20/06/2022
Bab 36 Tiga puluh enam
20/06/2022
Bab 37 Tiga puluh tujuh
20/06/2022
Bab 38 Tiga puluh delapan
20/06/2022
Bab 39 Tiga puluh sembilan
20/06/2022
Bab 40 Empat puluh
20/06/2022
Buku lain oleh Siti Aisyah
Selebihnya