/0/24661/coverorgin.jpg?v=629f8f88baba399a125ab8ef389ce989&imageMogr2/format/webp)
Matahari pagi menyinari wajah Galang yang penuh semangat meski masih tampak sedikit kebingungan. Berusia 19 tahun, ia mengenakan seragam bengkel sederhana yang sedikit kebesaran, tanda bahwa dia masih baru dalam dunia ini. Meski tanpa keahlian otomotif sama sekali, Galang tak gentar.
Dengan langkah tergesa-gesa, ia menuju bengkel kecil di samping rumahnya, bangunan yang baru ia buka seminggu lalu sebagai bentuk tantangan sekaligus perjalanan belajar. Matanya yang tajam menyiratkan tekad kuat, sementara gerak tubuhnya yang canggung mengungkapkan ketidaktahuan yang ingin segera ia hilangkan.
Baginya, bengkel ini bukan sekadar tempat mencari penghasilan, melainkan panggung untuk menaklukkan ketakutan dan mengasah kemampuan baru yang selama ini hanya ada dalam angan.
Belum sempat Galang membuka seluruh jendela bengkel, sebuah suara mesin motor terdengar mendekat. Raut wajahnya berubah saat ia mengintip dari balik jendela dan melihat sosok yang tak asing baginya. Dengan langkah ragu, ia membuka pintu bengkel sedikit dan mengintip ke luar.
"Eh, Ibu," gumamnya dalam hati, suaranya penuh keberatan. Itu adalah mertuanya, yang datang mengendarai motor bersama Amel, adik iparnya.
Namun pada akhirnya Galang memutuskan untuk menyambutnya. Raut wajahnya yang semula tegang berubah menjadi senyum simpul.
"Eh, Ibu... eh, Amel," sapa Galang dengan suara bergetar, tangan kirinya canggung menggaruk belakang kepala, sementara tangan kanannya berjuang membuka pintu bengkel yang agak berat.
Amira, mertuanya, melangkah masuk dengan mata tajam yang menyisir setiap sudut bengkel kecil itu-seakan mencari rahasia di balik keputusan besar menantunya.
"Hmmm, kamu buka bengkel sekarang, ya?" ucap Amira, nada suaranya menyatu antara penasaran dan tak terduga.
Galang menarik napas dalam, berusaha menguatkan diri. "Iya, Bu. Aku putuskan berhenti kerja. Bagi saya, punya usaha sendiri lebih tenang dan menjanjikan," jawabnya dengan suara setengah yakin, setengah berharap penerimaan itu tulus.
Tiba-tiba Amel, adik iparnya yang masih remaja, melangkah masuk dengan langkah ringan, senyum manisnya memecah suasana tegang.
"Hy, Kak Galang," sapa Amel penuh keceriaan.
Galang membalas dengan anggukan dan senyum yang lebih lebar-sebuah upaya menyembunyikan kerisauan yang bergelayut dalam dada.
Di balik senyum itu, ada tanya dan takut yang belum bisa ia ucapkan. Akankah keluarga benar-benar bisa menerima perubahan hidupnya yang begitu drastis?
"Ayo, dek, kita ke sebelah aja. Di sini kotor," katanya seraya melirik ke adik iparnya, Amel, dan ibu mertuanya yang kemudian mengangguk pasrah.
Mereka bersama-sama melangkah ke rumah di samping. Sesampainya di ruang tamu rumah sebelah, Galang mempersilakan kedua tamunya.
"Duduk dulu Bu, Dek Amel. Sepertinya Geby lagi mandi," ujarnya sambil tersenyum kecut. Ia beranjak menuju kamarnya, langkahnya tergesa-gesa.
Pintu kamar terbuka, dan pemandangan di dalam membuatnya tercekat. Geby hanya mengenakan pakaian dalam. Jantung Galang berdebar kencang, nafasnya menjadi tak beraturan.
"Sayang, boleh gas gak?" suara Galang bergetar, terbungkus harapan yang hampir putus asa.
Senyum yang terlukis di wajahnya berusaha keras menutupi kegelisahan yang bergemuruh di dadanya. "Gas, gas, malam aja deh," balas Geby santai, seolah menggenggam ketegangan itu dan meremasnya habis tanpa sisa.
Galang mengangguk pelan, tapi matanya sudah menaruh tanda tanya yang dalam.
"Oh ya, Ibu dan Amel udah datang, Mas?"
"Udah," jawab Galang, nada suaranya kini sarat kekecewaan, seperti api kecil yang meredup perlahan.
Ia menjatuhkan diri di tepi kasur, pandangan kosong melayang ke kejauhan. Di benaknya, sosok Amel berputar-putar-dulu polos, culun, dengan kulit gelap penuh jerawat dan rambut kusut yang membuatnya tak terlihat istimewa.
Namun kini, gadis itu berubah drastis menjadi sosok yang memikat hati.
"Amel... Kok bisa jadi secantik ini? Dulu?... dekil, item, jerawatan, culun, malah kureng, panoan... Aahh, apa yang terjadi? Kenapa aku tak pernah melihatnya sebelumnya?" bisiknya dalam hati, penuh campuran antara heran dan sesak.
Gelisah yang menyesak dada itu memaksanya bangkit, melangkah mendekat ke Geby tanpa suara.
Dengan sentuhan lembut tapi penuh makna, ia memeluk dari belakang, sebuah kejutan kecil yang menandakan harapan. "Beneran dikasih nanti malam?" tanyanya, suaranya nyaris bergetar, menggantung di antara ragu dan kerinduan.
Gaby hanya tersenyum, sambil mengusap lembut wajah Galang. "Iya, kalau aku nggak kecapean," ucapnya penuh pengertian.
Galang mengangguk, memahami. "Ya udah, aku mau lanjut buka bengkel ya, Ibu dan Amel ada di luar," ujarnya ringan sambil mengecup pipi Gaby sebagai perpisahan, kemudian pelan-pelan melepas pelukan hangat mereka.
/0/28826/coverorgin.jpg?v=54d3bed8b0d974e66d33269b2ce96b33&imageMogr2/format/webp)
/0/5554/coverorgin.jpg?v=ad658e7b04e0d7c2caba74d0b30b9683&imageMogr2/format/webp)
/0/14004/coverorgin.jpg?v=8a3915c664acd17c3f4819f3ef533ada&imageMogr2/format/webp)
/0/15322/coverorgin.jpg?v=bfc33bac2d9b27d675ab58eef0b2831c&imageMogr2/format/webp)
/0/5990/coverorgin.jpg?v=cf8e85a15d831094e7493879013ec767&imageMogr2/format/webp)
/0/19871/coverorgin.jpg?v=650f278950747ebb8b51638628ad7b20&imageMogr2/format/webp)
/0/13113/coverorgin.jpg?v=603d878cfe27a72adc41261c26c4094b&imageMogr2/format/webp)
/0/28108/coverorgin.jpg?v=20251110165812&imageMogr2/format/webp)
/0/12496/coverorgin.jpg?v=e465861c1e137237de497e6ff6f88463&imageMogr2/format/webp)
/0/22567/coverorgin.jpg?v=7c92bcb6385ea72a8db1d758256db4ae&imageMogr2/format/webp)
/0/16925/coverorgin.jpg?v=bcbcd6a509b2cae5e28e275b71d7ec56&imageMogr2/format/webp)
/0/22407/coverorgin.jpg?v=c7641c702e1e9d740e819467251f260b&imageMogr2/format/webp)
/0/16595/coverorgin.jpg?v=a0048950ffa7f7bd7422162aec0d62b7&imageMogr2/format/webp)
/0/18810/coverorgin.jpg?v=c634d2692554f3b0b2d66a678ee886d0&imageMogr2/format/webp)
/0/14894/coverorgin.jpg?v=de9ca2ab428e03a5b60e6005965c4729&imageMogr2/format/webp)