Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Penyesalan Ibu Mertua

Penyesalan Ibu Mertua

Author Febrianis

5.0
Komentar
1.1K
Penayangan
19
Bab

"Pilih aku, atau ibumu, Mas?" kata Febri dengan tatapan mata yang dingin. Kisah dimana, Ibu Sella menjadi momok menakutkan di dalam rumah tangga anaknya sendiri. Hingga, pernah membuat Yusuf menceraikan Febri Ayunda yang merupakan istrinya. Bagaimana, keadaan rumahtangga mereka? Setelah sempat bercerai? Mungkinkah, Ibu Sella bisa memahami keadaan Yusuf dengan tanggung jawabnya yang dipikul sebagai seorang suami? Baca kisahnya, real kehidupan seorang menantu dan istri yang tinggal di rumah keluarga suami.

Bab 1 Istriku Diam

"Dek," panggilku kepada wanita yang kini tengah berada di dapur. Tidak bisa aku pungkiri, ada perasaan yang tidak nyaman menyeruak begitu saja. Ketika, mengingat kembali kejadian beberapa waktu lalu.

"Suf! Ibu minta uang!"

Suara teriakan ibuku, membuat perasan ini semakin tidak nyaman. Bagiamana bisa, wanita itu terus meminta uang kepadaku. Bukan ingin menjadi anak yang durhaka, tetapi istriku juga memerlukan uang. untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga kami.

"Aku belum gajihan, Bu," jawabku dengan nada pelan.

Terlihat sekali, raut tidak sukanya. Kini, dia beralih berbicara dengan istriku yang tengah sibuk memasak.

"Febri! Beri Ibu uang! Kamu, pasti punya simpanan 'kan?"

Namun, ada hal yang berbeda yang aku tanggap kali ini. Biasanya, istriku akan mengomel atau membalas dengan ucapan kasar kepada sang ibu.

Kali ini tidak, ada apa dengan wanita yang telah beberapa tahun ini menemaniku. Walaupun, aku pernah melakukan kesalahan yang sangat fatal. Waktu itu, tetapi dia tidak bisa bersikap sedingin ini.

"Febri! Kamu gak budek, kan? Jangan jadi, menantu durhaka!" pekik ibuku.

Kata-kata yang selalu, dia sematkan kepada istriku adalah menantu durhaka. Bahkan, ibu sering kali mengadu–domba kami.

"Bu, jangan ribu-ribut. Ini masih pagi."

Aku pun tidak bisa menahan diri dan menegur wanita itu. Tentu saja, ibu tidak akan pernah menerimanya begitu saja.

"Yusuf! Ibu juga gak mau cari ribut! Ibu cuma minta uang! Masa, kalian bekerja. Tidak memiliki uang?"

Bukan masalah uang yang menjadi pekara, melainkan sikap ibu yang tidak pernah meminta dengan cara yang baik. Hal itu yang terkadang, membuat aku jengah dengan wanita yang telah melahirkanku di dunia ini.

"Mas, aku akan berangkat," ucap istriku tiba-tiba dan membuat aku berinsiatif untuk membantunya mengemas kota makanan kami.

"kalian gak boleh pergi! Sebelum ... memberi Ibu uang!"

Ibuku menghadang kami berdua, membuat aku hanya bisa membuang nafas panjang. Samapi kapan, wanita ini bisa mengerti. Jika, kami bukan anak kecil yang bisa diperlakukan seperti sekarang.

Biasanya istriku akan mengeluarkan, kata-kata kasar. Namun, saat ini. Aku melihatnya masih saja diam, seribu bahasa dan dia melewati ibu dengan begitu saja.

"Ferbi!" teriak ibuku, namun tidak digubris sama sekali oleh Febri. Istriku malah memeprcepat langakh kainya dan mmebuatku segra menyusul wanita itu. Meninggalkan umpatan kasar dari ibu.

"Dasar! Anak durhaka! Menantu durhaka! Kalian akan masuk neraka!"

Aku sedirkit meringis, mendengar kata-kata terakhir dari ibu. Mau bagaimana lagi, jika kami tidk pergi. Maka, dia akan semakin mendesak.

"Dek, kamu kenapa diam, saja?" tanyaku. Ketika, kami telah berada di atas motor. Aku masih bertanya-tanya, kenapa istriku hanya diam. Tidaka ada lagi keceriaan dan tingkahnya yang mmapu menenangkan hati ini.

"Dek," panggilku lagi. Namun, masih tidak ada jawaban dari wanita yang tengah aku bonceng. Hingga, kami telah memasuki area kantor. Aku meraih tangan Febri dan menatap dalam kearah mata wanita yang aku cintai.

"Kamu kenapa?" tanyaku pelan.

"Mas, kenapa menanyakan sesuatu yang sudah, Mas ketahui? Tidak bosankah?"

Aku agak terkejut dngan jawaban yang baru saja dia sampaikan, perasaanku tidak bisa dipungkiri. Jika, merasa agak terrtekan dengan kaliamt tersebut.

Namun, aku berusaha untuk menenangkan gejolak ini . Tidak mudah bagiku untuk mendapatkan lagi Febri Ayunda, istriku.

"Iya, Mas tahu. Maafkan ibu, ya?" terangku dengan senyuman. Akan tetapi, dia hanya menatap kearahku dengan tatapan dingin.

"Kamu, kenapa, Dek?" tanyaku penasaran.

"Aku mau masuk, dulu. Masih ada bebeapa berkas yang belum siap."

Aku tahu sekali, dia hanya ingin menghindar dnegan mengatakan hal itu. Aku tidka ingin menghalanginya lagi dan menyodorkan tanganku, untuk dia raih.

Namun, dengan raut wajah yang tidak sedap dipandang dia meraih tanganku dan menciumnya secepat kilat dan pergi beralu begitu saja. Meninggalkan tanda tanya didalam hati dan benak ini, kenapa istriku berubah.

"Biarkan saja, dia mungkin memerlukan waktu untuk meenangkan diri," gumamku di dalam batin. Berusaha untuk memahami keadaan sikis isteriku.

KDRT memang bukan hanya tentang kekeasan di dalam rumah tangga yang berbasis pisik saja, tekanan dari sikis pun temasuk.

Aku tidak ingin menyakiti wanita yang aku cintai itu, dengan cara mengalah dan membrikan waktu untuknya untuk tenang. Itulah caraku.

Teringat akan peekrjaan yang ahrus seegra di selesaikan, aku pun memepercepat langkah. Tidak ingin dimarahi oleh atasan, terlebih aku masih ingin beekrja di sini.

Walaupun kedudukan dan jabatanku rendah dari sang istri, tetapi tidak membuatku merasa berkecil hati artaupun minder. Karena, aku akan bertanggung jawab atas pekerjaan yang dimiliki dan berusaha melakukan yang terbaik.

Hingga, tidak terasa beekrja jam makan siang pun telah tiba. Aku menunggu dengan sabar, kedatangan istriku.

Namun, perasaan kecewa kembali datang dan menghinggapi hati ini. Aku hanya melihat kedatangan Mona, teman istrku yang datang sendirian.

Aku tidak berniat untuk bertanya kepada wanita itu, karena sudah dipastikan. Jika, istriku tengah berada di ruangan Pak Martin. Pemilik sekaligus CEO disini, apalah dayaku yang hanya seorang office boy.

Dari segi manapun, aku akan kalah saing dengan lelaki itu. Tetapi, beruntungnya aku memiliki Febri Ayunda yang merupakan wanita yang banyak dikejar oleh lelaki. Tidak terkecuali Pak Martin, aku yakin sekali akan hal itu.

Karena, semenjak kami pernah terpisah. Pak Martin selalu saja pergi menemui istriku. Kali ini, aku telah bertekat kuat. Tidak akan melakukan kesalahan yang sama seperti kemarin.

Bahkan, jika perlu. Aku akan mengikat istriku dengan keturuan, aku yakin jika Febri juga menginginkan hadirnya buah cinta kami.

"Pak Yusuf yang etrhormat, Ibu Febri sedang ada meeting dengan Pak Martin.''

Sudah kuduga, tanpa bertanya sekalipun. Mona akan memberi tahuku. Wanita itu, langsung duduk dihadapanku dan memmesan makan siang untuknya.

Sedangkan aku, mempercepat gerak tanganku, membuka kota makan siang yang telah dibuat oleh istri tercinta dan memakan dengan lahap. Hingga, semuanya tandas tidak tersisa.

"Pak Yusuf, apa benar? Kalian sudah kembali rujuk?"

Pertanyaan dari Mona membuatku tersedak, kenapa wanita itu harus menyinggung sesautu yang sanagta sensitif.

Aku menghargai Mona, hanya karena dia teman baik istriku. Namun, jika dia ikut camur dengan masalah kami. Itu tidak etis menurutku, padahal dia merupakan wanita yang berpendiddikan.

"Pelan-pelan, Pak Yusuf."

Aku tidak menggubris ucapannya yang terkesan dengan nada mengejek, aku segera mengeguk air hingga tandas dan tersenyum kecut.

Setelah makan siang yang tidak menyenangkan itu, aku kembali bekerja. Dengan perasaan yang sama, memikirkan kenapa istri hanya diam.

Tidak terasa, hari telah sore. Semua karyawan pun satu per–satu mulai meninggalkan gedung kantor, begitu pun dengan aku. Seraya menunggu di area parkir.

"Dek," panggilku. Ketika melihat sang istri, namun ada sebuah isyarat yang wanita itu lakukan. Tanganku mengepal dengan kuat.

"Kenapa, dia bertingkah?" batinku geram.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku