Ika adalah seorang ibu rumah tangga yang harus berjuang mencari nafkah sendiri karena suaminya yang sakit. Tiba-tiba bagai petir di siang bolong, Bapak Mertuanya memberikan penawaran untuk menggantikan posisi anaknya, menafkahi lahir dan batin.
"Ika, tuh ada yang beli. Kok malah manyun sih diem aja dari tadi" Yuni yang ada di samping Ika menowel pundaknya. Ika yang sedang terlena dengan lamunan kaget mendengar teguran sahabatnya itu.
"Ya Allah, yuun, kamu bikin kaget saja."
Kesadaran Ika langsung kembali, lamunannya langsung buyar. Ia melihat pembeli di depannya sedang menatapnya, menunggu untuk dilayani tepatnya.
"Iya, Bu. Aduuuh maaf Bu saya malah melamun begini. Monggo silakan mau beli kue apa, Bu?" Bagai kepergok, ah Ika jadi sangat malu.
"Kue lemper sama putu ayu aja mba. Masing-masing 15 ribu saja." Ibu-ibu itu merogoh kantongnya untuk membayar kue. Sigap Ika pun membungkus kue-kue yang dipesan tadi.
"Ini Bu kuenya." sambil tersenyum semanis mungkin ia menyerahkan bungkusan kresek warna hitam.
"Iya terima kasih, Mbak. Masih pagi mbak, jangan melamun mbok nanti ada yang nempel" si pembeli menggoda sambil cekikikan.
"Iiih, apa ibu yang menempel, kok jadi seram amat" Ika menimpali dengan wajah jenaka, ia mengerti membuat pembeli betah dengannya adalah cara agar mereka kembali lagi.
"Aduuuh, mbak. Asal jangan duda aja yang menempel" tambah keras mereka tertawa. Yuni pun ikut masuk dalam obrolan pagi yang hangat.
"Buu, d uren nggak papa kali yah buu. Duda keren yang banyak duitnya. Ehehee" Yuni menimpali.
"Hush, sudah-sudah. Pagi-pagi kok ngomongin duren. He he. Saya duluan ya, Mbak. Ini buat kirim orang ke sawah."
"Iyaa, Bu. Marii"
Setelah pembeli pergi, mata Ika mulai menatap kosong lagi. Entah kenapa lamunan yang tadi malah berlanjut, seperti ada gambar-gambar yang berseliweran. Daftar kebutuhan rumah tangganya semakin panjang.
Yuni yang geregetan melihat Ika dari tadi jadi terdiam melamun tambah kesel.
"Kaa, Ika. Kenapa sih ngelamun mulu. Kamu lagi mikirin apa sebenernya?" tegur temannya.
Ika hanya menoleh sebentar dan menjawab, "Gak pa-pa, Yun."
Yuni jelas tidak percaya. Akhir-akhir ini Ika memang agak lain. Raganya memang ada di sini jagain dagangan kue seperti biasanya, tapi pikirannya entah melayang-layang kemana.
"Kita kan temen, Ka. Siapa tahu aku bisa bantu."
Ika cuma mesem aja sebentar mendengar temanya itu menawarkan bantuan.
"Yun-yun, kamu gak akan bisa bantu, Yun. Ini masalah uang. Sedangkan kamu aja kerjanya sama aku. Gaji kamu kan gak seberapa. Kamu juga punya banyak kebutuhan untuk ibu dan adik -adik kamu." jawab Ika dengan lesu.
"Oalah uang toh. Kamu belum bayar cicilan?"
Yuni tahu kalau Ika punya banyak hutang. Ada hutang di bank yang harus ia bayar bulanan dan juga hutang bank mingguan yang harus dicicil seminggu sekali. Belum lagi hutang-hutang dia sama orang lain.
Ika sebenarnya tidak ingin bercerita tentang beban hidupnya, tetapi akhirnya ia menyerah. Dia juga butuh tempat untuk menceritakan semua permasalah yang semakin berat menghimpit dadanya, rasanya sesak, tidak tahu harus meminta tolong kepada siapa lagi. Setiap hari ia hanya bisa berpikir mau gali lubang lebih besar lagi sama siapa. Sedangkan lubang hutang yang sudah ia gali belum pernah bisa ia tutup.
"Belum. cicilan bulan ini belum kebayar. Uang arisan teman-teman juga sudah aku pakai. Anak-anak harus bayaran sekolah. Dan suamiku tetap hanya jadi beban hidupku. Kumplit sudah semua aku tanggung sendiri. Harus bagaimana, Yun? Apa aku harus kabur aja ya?"
"Hush, kamu gak boleh ngomong begitu Ka. Suamimu ke mana?" Yuni duduk mendekat ke arah Ika yang sudah terduduk lemas sedari tadi.
"Suamiku sudah mati kali, Yun." Tak ada harapan lagi ia dan suaminya.
"Jangan ngomong begitu, Ka." Yuni memegang bahu temannya. "Walaupun suamimu itu kerjaannya cuma mancing, paling tidak kamu harus ajak dia diskusi semua hutang-hutang kalian."
Ika menoleh. Wajahnya seperti sudah tidak percaya lagi kalau suaminya bisa membantu.
"Wong dia aja nggak pernah pulang kok, Yun."
"Oalahhh, tapi jangan bunuh diri ya, Ka. Nanti kamu nggak bayar utangmu sama aku dong. Uang arisanku aja kamu pakai. Hidup memang berat, tapi harus tetap dihadapi. Cobalah kamu minta tolong sama mertuamu aja. Enak banget punya anak nggak mau ngasih nafkah, nggak mau tanggung jawab. Yasudah biar mertuamu aja yang tanggung jawab. Begitu kan aturannya?" sergah Yuni
Ika terdiam sejenak. Ia berpikir mungkin perkataan temannya itu ada benarnya.
"Tumben Yun kamu bener. Kayaknya memang aku harus ke rumah mertua, Yun. Sudah mentok otakku kalau harus mikir semuanya sendiri"
Waktu sudah beranjak siang. Pembeli kue sudah mulai berkurang, tapi dagangan masih tersisa. Akhir-akhir ini banyak kue yang harus dibagi-bagikan secara gratis karena penjualan tidak habis.
Keduanya akhirnya hanya bisa menarik nafas berat bersama. Mengeluh pun tidak ada gunanya. Kehidupan orang yang berdagang memang seperti ini. Tapi kalau kue ini tidak habis, maka upah untuk Yuni pun harus berkurang.
Ika dan Yuni terpaksa menggulung dagangan mereka.
**
Sesampainya di rumah, anak anak Ika sudah ribut tentang uang jajan.
"Ibu mana uang jajannya? aku mau jajan ciki di tempat Bu Umi" Iwan merengek minta uang.
"Iya ibu, Azka juga mau. Kemarin ibu janji mau ngasih uang jajan banyak ke Azka hari ini." Azka anak bungsu Ika pun mengikuti tingkah kakaknya.
"Dagangan ibu masih banyak sayang. Hari ini libur dulu ya jajannya. Kalian makan kue bikinan ibu saja ya. Mau kan sayang?"
Ika mencoba membujuk kedua anaknya. Uang yang dibawa pulang terlalu sedikit. Untuk modal lagi besok pagi saja belum cukup. Harga gula, minyak dan tepung pada naik. Ika semakin pusing. Ika berpikir mungkin Ika memang harus berkunjung ke rumah mertuanya.
Iwan langsung ngambek dan pergi. "Ibu pelit banget."
Sedangkan Azka langsung menangis.
Kia teringat suaminya yang entah di mana. Ia mencoba menghubungi suaminya. Berkali kali dia memencet nomor suaminya tetapi tidak di angkat. Baru pada panggilan ke 5 suara suaminya terdengar.
"Halo, ada apa, Bu?"
"Kamu di mana, Pak? anak-anak sendiri di rumah. Mereka pada nangis semua merengek minta jajan."
"Aduuuh, Bu. Berisik amat sih. Gak kedengeran Bu suaramu. Aku lagi mancing di tempat biasa." jawab suaminya dengan datar.
"Pulang, Pak. Sekarang!!!" teriak Ika di telepon.
"Bu, aduh, ini nanggung, umpanku mau disamber nih. Udah dulu ya, Bu."
"Paaaak?!!" Ika berteriak, ingin rasanya ia membanting hp di tangannya.
Bab 1 Hutang yang Menumpuk
15/07/2024
Bab 2 Meminta Pertolongan Mertua
17/07/2024
Bab 3 Tawaran Nafkah Batin dari Mertua
17/07/2024
Bab 4 Bimbang
18/07/2024
Bab 5 Menyerahkan Diri
19/07/2024
Bab 6 Kepergok Karyo
20/07/2024
Bab 7 Dicecar Ibu Mertua
21/07/2024
Bab 8 Ditinggal Kekasih Gelap
21/07/2024
Bab 9 Uang di Laci Meja
21/07/2024
Bab 10 Mas Karyo Curiga
21/07/2024
Bab 11 Tawaran Kerja
21/07/2024
Bab 12 Hutang pada Adik Ipar
22/07/2024
Bab 13 Ketahuan Orang Lain
22/07/2024
Bab 14 Gangguan dari Orang Asing
22/07/2024
Bab 15 Bapak Mertua Menyelinap
22/07/2024
Bab 16 Telpon Dari Suami
23/07/2024
Bab 17 Wanita Penggoda di Pemancingan
23/07/2024
Bab 18 Ayu Kenal Sama Istri Mas Yono
23/07/2024
Bab 19 Sisi Lain Ayu
23/07/2024
Bab 20 Berita Mengejutkan
23/07/2024
Bab 21 Kerja di Kota
23/07/2024
Bab 22 Penolakan dari Ika
23/07/2024
Bab 23 Hampir Berkelahi
19/09/2024
Bab 24 Karyo Pingsan
19/09/2024
Bab 25 Kamu Berselingkuh dengan Bapakku
19/09/2024
Bab 26 Pergi Tanpa Pamit
20/09/2024
Bab 27 Pulang Tanpa Pamit
21/09/2024
Bab 28 Masa Lalu yang Selalu Disembunyikan
22/09/2024
Bab 29 Ayu di Masa Lalu
23/09/2024
Bab 30 Masa Lalu Pak Tio
24/09/2024
Bab 31 Lasirah yang Dikhianati Tio
28/09/2024
Bab 32 Siapa Bapak Kandung Ayu
30/09/2024
Bab 33 Ayu yang Tidak Diterima Kehadirannya
05/10/2024
Bab 34 Buang Bayi itu!
10/10/2024
Bab 35 Masa Lalu yang Terus Menghantui
30/10/2024
Buku lain oleh Rayya Mandira
Selebihnya