Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
20.2K
Penayangan
170
Bab

“Loving you, just leaving the scars.” Berjuang membuang bayang-bayang gelap di masa lalu, tidak mudah bagi Nicole Tristan. Gadis cantik itu telah jatuh cinta sedalam-dalamnya, pada pria yang telah mempermainkannya. Pria yang menjadi cinta pertamanya, hanya menjadikannya sebuah permainan. Layaknya boneka yang sudah tak layak lagi digunakan. Rasa putus asa menyerang. Nicole berjuang berdiri dengan kedua kakinya, melupakan bayang-bayang gelap yang menghancurkannya. Namun, siapa sangka takdir mengajaknya bercanda. Beberapa tahun kemudian, Nicole harus bertemu dengan Oliver Maxton—cinta pertamanya yang menorehkan luka padanya. Semua belum berakhir, Nicole harus mendapatkan fakta di mana Oliver akan menikah dengan adik tirinya. Semesta seakan ingin kembali menyiksa hidupnya. Rasa benci dan cinta melebur menjadi satu. Pemisah benci dan cinta seperti dinding kokoh, tapi kenyataannya itu adalah dinding tipis. Lantas bagaimana kelanjutan kisah Oliver dan Nicole? Permainan ini harusnya telah berakhir, tapi semesta seolah ingin permainan tetap berlanjut. Cinta dan benci yang telah menyatu bertahun-tahun kembali harus menghadapi badai. *** Follow me on IG: abigail_kusuma95

Bab 1 Mendapatkanmu

“Nicole, kau sendirian?”

Dua orang pemuda asing menghampiri seorang gadis cantik bernama Nicole. Mereka berdiri di sisi kanan dan kiri Nicole—seakan memblokir jalan gadis itu. Terlihat jelas tatapan mata Nicole menatap dingin dua pemuda asing yang mendekatinya.

“Siapa kalian? Kenapa kalian bisa tahu namaku?” tanya Nicole sedikit bingung. Dia merasa dua laki-laki asing ini bukanlah teman sekelasnya, juga bukan kakak kelasnya. Gadis cantik itu berada di tengah-tengah pesta ulang tahun teman sekolahnya, namun tak menyangka ada banyak orang yang hadir.

“Well, kami jelas saja tahu namamu, Nicole. Para laki-laki di sini banyak yang membicarakanmu. Mereka mengagumi kecantikanmu,” bisik salah satu pemuda itu.

Nicole menatap tajam dua pemuda itu. “Tolong jangan ganggu aku. Aku tidak ingin diganggu.” Lalu, gadis itu memilih beranjak dan hendak pergi meninggalkan pesta, namun tangan Nicole dicengkram kuat oleh salah satu laki-laki di sisi kanannya.

“Come on, Nicole. Kau bisa habiskan pesta bersama dengan kami,” ucap pemuda itu sedikit kesal mendapatkan penolakan Nicole.

“Lepaskan aku!” Nicole mencoba melepaskan cengkraman tangan pemuda itu, namun sulit karena pemuda itu mencengkram tangannya dengan kuat.

“Nicole, ayolah. Jangan naif.” Dua pemuda itu memaksa Nicole.

“Lepaskan dia!” bentak seorang pemuda tampan dengan postur tubuh tinggi dan rahang tegas, menatap tajam dua pemuda yang mengganggu Nicole.

Nicole mengalihkan pandangannya, menatap Oliver Maxton—kakak kelasnya di sekolah tengah ada di hadapannya. Beberapa detik Nicole diam terpaku di kala Oliver mendekat padanya. Pahatan sempurna wajah Oliver membuat Nicole terhipnotis.

“Jangan ganggu dia,” ucap Oliver mengusir dua pemuda yang sepantaran dengannya, ingin mengganggu Nicole.

“Kau siapa?” tanya salah satu pemuda itu.

“Aku kekasihnya. Kau masih berani mengganggunya?” Oliver merengkuh bahu Nicole, membawa masuk gadis itu ke dalam pelukannya. Tampak raut wajah Nicole memucat terkejut kala berada di dalam pelukan Oliver.

Dua pemuda asing itu mendekat, dan menatap tajam Oliver. “Kau jangan berbohong!”

Oliver tersenyum sinis. “Apa wajahku menunjukkan aku berbohong?! Pergilah, Bodoh! Jangan ganggu kekasihku!”

Dua pemuda asing itu terpancing emosi di kala Oliver menghina mereka dengan kata ‘Bodoh’. Salah satu pemuda asing itu tak bisa mengendalikan emosinya, dia hendak menyerang Oliver, namun temannya segera menahannya agar tak bertindak gegabah. Mereka tak mungkin tak mengenal Oliver Maxton. Lahir bukan dari keluarga sembarangan, membuat dua pemuda itu tak bisa bermain-main dengan sosok Oliver.

“Get the fuck out of here,” desis Oliver penuh ancaman.

Tanpa mengatakan sepatah kata pun, dua pemuda asing itu akhirnya, memilih pergi meninggalkan Nicole dan Oliver. Samar-samar terdengar cibiran dari dua pemuda itu. Namun, Oliver memilih untuk tak menggubris cibiran itu.

“Duduklah, mereka sudah pergi. Tidak ada lagi yang mengganggumu,” ucap Oliver seraya menatap Nicole yang masih memucat.

“T-terima kasih.” Nicole segera menjauh dari Oliver, dan kembali duduk di tempatnya.

Oliver tersenyum mendengar ucapan terima kasih Nicole. Pemuda itu menggelengkan kepalanya sebentar, kepada dua orang yang berada di seberang, mengabaikan mereka, dan menatap Nicole kembali.

“Kenapa kau hanya sendirian datang ke pesta?” tanya Oliver ingin tahu.

“Aku hanya sebentar saja di sini karena undangan temanku. Sebentar lagi aku juga akan pulang,” ucap Nicole pelan. Kegugupan sedikit terlihat di wajahnya, di kala gadis itu berbicara berdua dengan Oliver.

“Harusnya kau tidak pergi sendiri ke pesta. Kau lihat tadi, Kan? Dua laki-laki asing mencoba mendekatimu.”

“Jika aku tidak pergi sendiri, aku harus pergi dengan siapa? Teman dekatku hari ini tidak bisa ikut.”

“Di mana kekasihmu?” Sebelah alis Oliver terangkat.

“Aku belum memiliki kekasih,” ucap Nicole jujur dengan pipi sedikit merona malu.

Oliver menundukkan kepalanya, mendekat pada wajah Nicole. “Jadi tadi aku tidak salah mengaku-aku sebagai kekasihmu, kan?”

Jantung Nicole berdebar tak karuan kala wajah Oliver mendekat padanya. Buru-buru Nicole menjauh dari Oliver, namun tepat ketika Nicole menjauh, gadis itu nyari terjatuh dari kursi. Refleks, Oliver memeluk pinggang Nicole, merapatkan tubuh Nicole ke tubuhnya.

Raut wajah Nicole memucat akibat rasa gugup yang melandanya. Kedua tangan Nicole berkeringat dingin. Ditambah aroma parfume maskulin di tubuh Oliver membuat seluruh saraf di tubuh Nicole seolah tak lagi berfungsi.

“T-terima kasih,” ucap Nicole gugup. Gadis itu segera membenarkan posisi duduknya agar menjauh dari Oliver. Tentu, pemuda itu turut membantu guna menjaga keseimbangan tubuh Nicole.

“Hati-hati. Kau bisa terjatuh, Nicole.” Oliver membelai pipi Nicole lembut, menatap dalam manik mata silver gadis itu.

Nicole menelan salivanya susah payah. Bulu kuduknya meremang merasakan sentuhan Oliver di pipinya. Manik mata cokelat gelap Oliver begitu menghipnotis Nicole, namun dengan cepat Nicole membuang pandangannya pada Oliver. Gadis itu enggan bertatapan dengan kakak kelasnya di sekolah.

“O-Oliver, kenapa kau di sini? Harusnya kau bergabung dengan temanmu yang lain,” ucap Nicole pelan, dan tersirat meminta Oliver menjauh darinya. Pun Nicole menghindari percakapan Oliver yang membahas tentang ‘Kekasih’

Oliver tersenyum samar. “Aku lebih suka di sini, Nicole.” Lalu, Oliver mengambil vodka yang diantar oleh pelayan dan menyesap vodka itu perlahan.

Nicole sedikit mendongak, menatap Oliver yang tengah minum Vodka. Tak menampik bahwa, gadis itu terpesona dengan ketampanan Oliver. Tubuh tinggi tegap. Wajah rupawan. Kulit bersih. Oliver layaknya tercipta untuk menggoda para kaum hawa.

“Kau ingin mencoba minumanku, Nicole?” Oliver menawarkan vodka di tangannya.

“Maaf, aku tidak minum alkohol, Oliver,” ucap Nicole pelan.

“Kau sedang tidak ingin minum atau memang tidak pernah minum alkohol?” tanya Oliver seraya menatap lekat Nicole.

“Aku belum pernah mencoba minum alkohol,” jawab Nicole jujur.

Oliver tersenyum penuh arti. “Ah begitu. Kau tidak ingin mencobanya? Lagi pula kita di pesta. Sayang sekali jika kau tidak minum. Minumlah sedikit saja.”

Nicole menatap gelas yang disodorkan Oliver. Terlihat, gadis itu sedikit penasaran. Selama ini memang dia belum pernah mencoba minu-minuman berlakohol. Entah kenapa pikirannya berkata mendorongnya tak masalah mencoba sekali-kali.

Perlahan, Nicole mulai mencoba vodka milik Oliver. Dia memejamkan matanya saat rasa pahit dari minuman beralkohol menyentuh tenggorokannya. Senyuman di wajah Oliver terus terlukis, melihat Nicole mulai mencoba vodka miliknya.

“Oliver, rasanya pahit sekali,” ucap Nicole dengan kening yang mengerut.

“Tegaklah langsung. Kau akan merasa tubuhmu menjadi hangat.” Oliver kembali menyodorkan satu gelas vodka lagi pada Nicole.

Nicole menurut dan menenggak vodka yang Oliver berikan. “Tubuhku terasa hangat minum ini, Oliver.”

Oliver tersenyum samar. “Aku sudah bilang tadi padamu, Nicole.”

Nicole terus menenggak vodka yang disodorkan oleh Oliver. Gadis itu tak menyadari sudah berapa banyak vodka yang telah dia habiskan. Kepala Nicole sedikit memberat. Matanya berkunang-kunang. Tubuhnya ambruk, dan dengan sigap Oliver membekap tubuh Nicole. Pemuda itu, menangkup kedua pipi Nicole yang memerah.

“Kau rupanya benar-benar lemah alkohol, Nicole,” bisik Oliver tepat di depan bibir Nicole.

“Oliver kepalaku pusing sekali.” Nicole menyentuh kepalanya.

Oliver membopong tubuh Nicole, memindahkan ke atas meja. Tangan pemuda itu memijat kening gadis itu, berusaha membantu dari rasa pusingnya. “Masih pusing, hm?” bisiknya serak menggoda.

“A-aku masih sedikit pusing.” Nicole pusing, tapi berada di dekat Oliver ini membuat energy dalam tubuhnya tersedot.

Oliver menarik tengkuk leher Nicole, dan membenamkan bibirnya ke bibir gadis itu. Dia melumat bibir manis Nicole sambil berbisik, “Bagaiamana? Apa masih pusing?”

“A-aku—” Pagutan bibir Oliver telah melumpuhkan seluruh saraf tubuh Nicole.

“Bibirmu manis, Nicole.” Oliver membelai bibir Nicole dengan jemarinya. Lantas, pemuda itu kembali melumat bibirnya. Tanpa sadar, gadis itu melingkarkan tangannya di leher Oliver, dan memejamkan mata kala Oliver mencium bibirnya.

Oliver tersenyum senang melihat Nicole menikmati pagutan bibirnya. Pemuda itu mengecup lembut bibir Nicole seraya berbisik, “Ikutlah denganku.”

Mata Nicole sayu berkabut penuh hasrat. Alkohol telah menguasai dirinya. “I-ikut ke mana?” tanyanya dengan tubuh yang begitu lemas.

“Nanti kau akan tahu. Ikutlah denganku, Nicole. Temani aku,” bisik Oliver seraya meremas pelan lengan Nicole.

Nicole mengangguk lemah merespon ucapan Oliver. Tak lama, tubuhnya kehilangan tenaga, gadis itu nyaris terjatuh, namun Oliver langsung menahan tubuh mungil itu dengan sigap.

Oliver membawa Nicole di sebuah hotel. Pemuda tampan itu melepaskan jaketnya, menatap lekat kulit putih porselen Nicole membuat dirinya semakin bereaksi. Oliver menundukkan kepalanya, mencium leher Nicole meninggalkan banyak jejak kemerahan di sana.

Oliver membawa tangannya, membelai bagian bawah Nicole, hingga membuat tubuh Nicole menggelinjang—dan seketika meloloskan desahan. Dirasakan bagian bawah di sana sudah basah, tak bisa ditahan lagi olehnya, Oliver langsung menerjang Nicole dengan pusakanya.

“Akh, sakit…” Dengan jemarinya, Nicole mencengkram punggung Oliver, menandakan betapa hal ini sungguh menyakitkan untuknya.

Raut wajah Oliver berubah. “Kau ... masih perawan?”

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Abigail Kusuma

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku