Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Rahasia Istri yang Terlantar
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Sang Pemuas
Gairah Sang Majikan
Amora mengayunkan langkahnya menuju lift terdekat, senyumnya mengembang sempurna tatkala mengingat hari ini— merupakan hari dimana dirinya akan menemui sang kekasih secara diam-diam.
Ya, karena jika kekasihnya tau prihal ini semua - sudah dipastikan Amora gagal.
Posesif, overprotektif dan pencemburu— tiga kata yang menggambarkan Alfred, pria tampan yang sudah menjadi kekasihnya selama satu tahun ini.
Ting!
Pintu lift terbuka, jantung Amora rasanya berhenti berdetak kala melihat salah seorang pria yang tengah berciuman mesra dengan wanita, yang entah siapa itu. Pikirannya terus menyangkal, berusaha meyakinkan jika itu bukan kekasihnya.
Namun, semua itu pupus kala kedua insan itu menyudahi aktifitasnya di dalam lift.
Alfred...
Pria penabur luka beserta penawarnya
Alfred itu seperti racun terindah bagi Amora, sebesar apapun Alfred membuat kesalahan, sesering apapun Amora memaafkan.
"Pergilah, bitch!" titahnya membuat wanita itu melenggang pergi tanpa sepatah katapun, setelah melempar tatapan nakal ke arah Amora.
Alfred menahan lift yang hampir tertutup itu, lantas menarik Amora untuk masuk ke dalam lift bersamanya.
Hening.
Tak ada yang memulai pembicaraan diantara mereka, Amora yang tengah menyelami pikirannya tanpa peduli Alfred yang sudah melingkarkan lengan kekarnya di pinggang Amora— sedangkan Alfred, pria itu lebih memilih memandangi wajah cantik gadisnya.
"Mengapa harus selalu melakukan itu?" Satu pertanyaan terlontar dari mulut Amora, tak ada tangis - karena satu tahun ini sudah cukup melatih mental Amora untuk tetap baik-baik saja kala melihat hal yang sama.
"Kau tau aku, Mora! Jangan pancing aku," balas Alfred tegas, seolah tak ingin membahas perihal apa yang Amora lontarkan.
Hanya dengan satu tarikan nafas, Amora berhasil mengembalikan senyumnya, "Baiklah."
Ya, panggil saja si bodoh Amora. Karena memang dia sangat bodoh dengan terus menerima perlakuan yang Alfred berikan padanya, karena menurut Amora--
Cup!
Satu kecupan mendarat didahi Amora, Alfred menarik kedua sudut bibirnya, menampilkan seulas senyum yang begitu menawan, "Goodgirl!"
Manis.
Ya, begitulah Amora menilai Alfred.
"Mengapa datang tanpa seizin ku, hm? Aku bahkan bisa menjemput mu kapan saja," tutur Alfred bersamaan dengan terbukanya lift.
Keduanya berjalan menuju dimana apartemen Alfred berada, Amora yang menyadari tatapan Alfred seolah menunggu jawaban yang akan dirinya berikan, mulai kembali buka suara, "Aku bisa melakukan apapun sendiri, Alfred. Jangan berle--
"Tidak ada yang berlebihan, Amora! Kau yang keras kepala, pembangkang dan sulit ku atur!" Lagi dan lagi Alfred menukas ujaran Amora lantas berlalu masuk ke dalam Apartemen setelah memasukan beberapa digit pin.
Amora tak menyangkal, karena memang itulah dirinya.
Amora membiarkan pintu apartemennya kembali tertutup, saat setelah dirinya berhasil masuk. Tatapannya teralih pada Alfred yang kini tengah membuka Hoodienya tanpa menyisakan apapun, jangan lupakan tubuh kekar serta beberapa kotak pada bagian perutnya.
Sungguh memanjakan mata.
"Aku lapar," kata Amora tiba-tiba.
Tak ada jawaban dari Alfred, pria itu meraih ponselnya, lalu membiarkan jari-jarinya menari di atas layar, setelah itu kembali meletakan ponselnya di atas meja.
"Kau mau kemana?" Amora bertanya namun tetap tak mendapat jawaban dari pria itu.
Dengan berat hari, Amora berjalan dan duduk di atas sofa, tangannya terulur meraih ponsel yang sempat Alfred simpan di atas meja.