Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
Naira membuka jendela kamarnya, membiarkan udara pagi yang segar mengalir masuk. Hari itu, langit terlihat sangat cerah dan terdengar suara burung-burung bernyanyi riang.
Ia memandangi taman kecil di depan rumahnya, tempat ibunya sering menanam bunga-bunga. Kehidupan di rumah sederhana mereka begitu tenang dan nyaman. Naira adalah seorang guru di sekolah dasar, pekerjaan yang sangat ia cintai. Setiap hari, ia mengajar anak-anak dengan penuh kasih sayang dan dedikasi. Bagi Naira, hidupnya sederhana namun penuh makna.
Setelah mandi dan bersiap-siap, Naira menuju ke dapur untuk sarapan. Ibunya, Bu Siti, sudah menyiapkan nasi goreng kesukaannya. Sambil menikmati sarapan, mereka berbincang ringan tentang aktivitas hari itu.
"Bu, hari ini aku ada jadwal rapat dengan wali murid. Semoga semuanya berjalan lancar," ujar Naira sambil tersenyum.
Ibunya mengangguk, "Tentu saja, Nak. Kamu selalu melakukan yang terbaik untuk murid-muridmu. Ibu yakin mereka semua menghargai usaha dan perhatianmu."
"Oh iya Bu. Ayah mana, kenapa tidak ikut sarapan dengan kita?" Tanya Naira.
Bu Siti tersenyum. "Ayahmu sudah berangkat ke sawah sejak tadi pagi, pengen sarapan di sana katanya."
Sejak pensiun, Ayah Naira bekerja di sawah miliknya demi untuk menyambung hidup.
Setelah sarapan, Naira bersiap untuk berangkat ke sekolah. Ia mengenakan pakaian seragam yang rapi dan sederhana, menandakan kepribadiannya yang rendah hati. Rambutnya yang panjang dia kuncir ala ekor kuda, tak lupa juga kacamata yang bertengger di hidungnya.
Sebelum keluar rumah, ia mencium tangan ibunya dan berpamitan. "Aku berangkat dulu ya, Bu."
"Hati-hati nak," kata Bu Siti.
Di sekolah, Naira disambut oleh wajah-wajah ceria murid-muridnya. Mereka menyambutnya dengan salam dan senyum, membuat Naira merasa sangat dihargai. Ia menikmati setiap momen mengajar, melihat anak-anak belajar dan berkembang adalah kepuasan tersendiri baginya.
Namun, hari itu, suasana hati Naira akan berubah drastis. Setelah pulang dari sekolah, ia menemukan kedua orang tuanya menunggunya di ruang tamu. Wajah mereka tampak serius, berbeda dari biasanya. Naira merasa ada sesuatu yang tidak beres.
"Naira, duduklah sebentar. Ada yang ingin kami bicarakan denganmu," kata ayahnya, Pak Arif, dengan nada tegas namun lembut.
Naira menurut, duduk di sofa dengan perasaan cemas. Ia tidak tahu apa yang akan dikatakan oleh orang tuanya. Perasaan tak nyaman mulai merayapi hatinya.
"Naira, kamu sudah tahu bahwa kami selalu menginginkan yang terbaik untukmu. Kami selalu berusaha memberikan yang terbaik, termasuk dalam hal jodoh," kata Bu Siti perlahan.
Jantung Naira berdetak kencang. Ia merasa ada sesuatu yang besar akan terjadi pada hidupnya. Namun Naira hanya bisa diam dan mendengarkan.
"Beberapa minggu yang lalu, kami bertemu dengan keluarga Pak Budi. Mereka adalah keluarga yang sangat baik dan terhormat. Mereka juga memiliki seorang putra bernama, Arya. Dia pemuda yang baik," lanjut Pak Arif.
Naira semakin bingung. Apa hubungannya dengan dirinya? Mengapa mereka berbicara tentang Arya?
"Kami telah memutuskan untuk menjodohkanmu dengan nak Arya, anak teman Ayahmu," kata Bu Siti akhirnya, dengan suara yang bergetar.
Kata-kata itu bagaikan petir di siang bolong bagi Naira. Ia tidak bisa percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Mereka menjodohkannya? Tanpa memberitahunya terlebih dahulu? Tanpa meminta persetujuannya?
"Apa? Ayah sudah menjodohkanku dengan orang yang bahkan belum pernah kutemui?" tanya Naira dengan suara yang mulai meninggi. Matanya mulai memerah, tanda ia merasa sangat marah dan dikhianati.
Pak Arif mencoba menenangkan Naira. "Naira, Arya adalah pria yang sangat baik. Kami yakin dia bisa menjadi suami yang baik untukmu. Ini adalah kesempatan yang baik untukmu, Nak. Karena Arya bukan dari keluarga sembarangan, mereka adok keluarga baik baik dan ayah sangat mengenal orang tua Arya dengan baik."
Naira tidak bisa menahan air matanya lagi. "Tapi ini hidupku Ayah! Kalian tidak bisa memutuskan hal sebesar ini tanpa bertanya padaku terlebih dahulu. Aku bukan anak kecil lagi!"
Bu Siti mencoba meraih tangan Naira, tetapi Naira menarik tangannya, kecewa. "Kami melakukan ini demi kebaikanmu, Naira. Kami hanya ingin kamu bahagia."
Naira berdiri dari sofa, menatap kedua orang tuanya dengan mata yang basah. "Kebahagiaan macam apa yang kalian maksud? Kebahagiaan yang dipaksakan? Aku tidak menginginkan ini!"
Dengan hati yang penuh luka, Naira berlari ke kamarnya dan mengunci pintu. Ia menangis sejadi-jadinya, merasa dikhianati oleh orang yang paling ia percayai. Bagaimana mereka bisa mengambil keputusan sebesar ini tanpa melibatkannya terlebih dahulu?