Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
"Apa yang kau harapkan dari seorang tahanan sepertiku?"
Zin menggeram dan malah balik bertanya sinis. Jadi, apa yang Eva inginkan dari pria tunawisma semacamnya. Tanpa cinta dan keluarga tidak ada lagi yang lebih mengenaskan dari keadaan Zin saat ini.
Eva terhenyak. Sesaat ia ingin mencerna perkataan Zin itu dengan baik. Tetapi Zin menarik tangannya kembali begitu bernafsu. Suara hentakkan rantai dengan atap terdengar di telinga. Walau begitu, Eva tetap memegangi pergelangan Zin lengkap tatapan khawatir. Jika Zin terus begini, ia akan melukai urat nadinya sendiri.
"Aku akan membukanya untukmu."
Eva berjanji membebaskan Zin sebentar dari kekang tali rantai dipasung ke atap.
Matanya menangkap luka-luka baru masih mengangga. Sehingga darah tercampur keringat yang merembes bersamaan membuat perasaan Eva luluh, ia lupa membentengi diri dengan kewaspadaan.
Ketika Zin terbebas, ia tersenyum smirk. sekiranya, apa yang bisa dilakukan pada wanita ini untuk balas dendam ... seenaknya mempermainkan hati.
Eva pikir, perasaan Zin padanya sama sekali tidak berarti?
Terlintas ide untuk membalas perlakuan Eva. Tetapi, apa yang bisa ia perbuat. Karena menyakiti Eva lebih jauh pun masih enggan Zin lakukan. Terutama, di dalam sini tak ada benda yang bisa menyakiti Eva.
Namun, bukankah para lelaki memiliki senjata alami yang bisa digunakan untuk menyakiti seorang gadis?
Terlambat bagi Eva menyadari seringai jahat dalam diri Zin. Dengan masih memakai pergelangan besi Zin mendorong Eva hingga ke tembok.
"Ahk, Zin."
Eva menarik nafas karena dadanya bertabrakkan dengan dinding begitu kencang. Rasa linu akibat hentakan itu menjadikan ia kesulitan bernafas. Begitupun pipi kiri, Zin menahan tengkuk Eva dalam cengkraman tangannya yang besar, mengunci pergerakkan si gadis.
Dari ekor mata, Eva melirik ke Zin.
"Ap-apa yang kau lakukan?" tanya Eva tersengal. Zin mendekatkan diri ke Eva. Pertama Zin menggigit cuping telinga Eva dengan gemas.
"Satu kesalahanmu adalah begitu mempercayaiku."
Zin ingin mengatakan jika dirinyalah yang mampu memperdayai wanita. Rata-rata pria lebih tinggi ego dan inilah ego Zin. Dengan gemas tangan Zin merayap ke arah depan tubuh Eva. Mencengkram gundukkan lembut milik Eva begitu keras.
Eva memekik liar. Semakin memacu adrenalin Zin berfikir lebih seksi dari ini. Tanpa ragu, ia menarik rok span itu.
Bagian belakang Eva terpampang. Ketika Zin sedikit longgar, Eva menggeliat ingin kabur. Tidak, ia trauma akan ini. Eva tahu apa yang sebentar lagi ingin Zin lakukan padanya. Berontakannya lebih kuat tapi Zin tidak bodoh. Ia mencekal kedua tangan Eva dan meletakkan di belakang pinggul.
"Zin," bentak Eva murka. Zin sudah dipenuhi gelora birahi tanpa peduli menarik penutup segitiga itu hingga jatuh melewati tungkai kaki jenjang milik Eva. Ia membungkukkan tubuh Eva setengah hingga selubung hangat milik Eva terpampang di depannya.
Sungguh saat yang sama Zin terpaku. Ia tergugah juga gelap mata, ini kali pertama menatap secara langsung pastinya menciptakan rasa grogi.
"Zin apa yang ingin kau lakukan?!" Sentakkan Eva mengembalikan tujuan Zin. Satu tangan ia pakai untuk membuka pengait jeans juga resleting. Cepat Zin melorotkan celana hingga ke paha. Membebaskan benda sangat perkasa yang ia sebut senjata alami. Nafas Zin memburu, ia memposisikan batang miliknya di belakang tubuh Eva kemudian menancapkan di antara paha gadis itu segera.
"Ahk!!" Eva melotot. Seluruh tubuhnya lemas juga bergetar hebat. Zin memenuhi dirinya di bawah sana. Rasanya begitu sesak dan keras.
Sedang Zin, ini pengalaman pertama ia merasakan dinding kenikmatan membalut batang miliknya. Selubung itu begitu rapat seakan ingin mematahkan miliknya untuk tertinggal di sana.
Zin menggeram di kerongkongan.
Sial, ini begitu melenakan. Kepalanya pusing tidak tahu ingin apa lagi. Jakun Zin naik turun, ia merasa ada yang menyangkut di dalam kerongkongan. Zin yakin debaran jantungnya segera meledak. Jika ia masih bisa selamat setelah ini, mungkin itu satu keajaiban.
Secara insting Zin memajukan pinggul semakin rapat pada Eva. Lagi, ia terpejam dirinya siap menelan semua kenikmatan yang baru kali ini dirasakan.
Zin begitu terbuai. Sesaat ia lupa dengan kesengsaraan. Apa itu berdarah, luka-luka perih mengisi seluruh celak otot tidak mampu menyadarkan anak muda yang kini terhanyut dalam peluh akibat kegiatan memaju mundurkan pinggul berharap bisa mengisi Eva sebanyak yang ia bisa.
Tangan Eva tidak lagi Zin cengkram. Ia membebaskan gadis itu menumpuhkan telapaknya di dinding karena gerakkan liar Zin begitu menggetarkan sang wanita. Zin pun ikut meletakkan satu tangan. Sedang satu lagi memegangi ujung rok Eva supaya tidak jatuh. Kini Zin mengamati miliknya bergerak dan tersesat di dalam Eva.
Dia sangat menikmati menatap miliknya yang dikunyah bagian bawah Eva begitu lihai. Zin terkekeh.
"Bagaimana, kau juga suka kan?"
Zin berubah menjadi monster bagi Eva. Namun, bukan ini yang Zin inginkan. Seandainya saja Zin bisa bertemu Eva dilain kesempatan dan menjadi lelaki sejati. Seandainya kejadian malam itu tidak pernah terjadi hingga menghancurkan hidup Zin …
***
"Zin ... Zin. Lihat! Aku berhasil membuat burung. Burung ini nantinya yang akan menerbangkan kita Zin. Kamu ingat kan? Dulu, kamu pernah mengajarkan aku membuatnya," pekik Eiji kegirangan tapi tidak dengan Zin. Lelaki yang sejak tadi dipanggil itu tampak acuh, tidak berniat sedikit pun membalas ucapan Eiji. Bahkan sekadar menengok adiknya itu, Zin malas.
Bukan tanpa sebab. Entah sejak kapan, ia merasa Daichi-ayah mereka- lebih mencintai Eiji. Zin tahu, Eiji memiliki kebutuhan khusus yang mengharuskannya mendapat perhatian lebih. Kondisi Down Syndrome trisomi 21, keadaan langka yang membuat tumbuh kembang dan karakteristik penderita berbeda dari yang lain. Karena itu, meski Eiji sudah berusia tujuh belas tahun, sikapnya masih layak disebut anak kecil berusia enam tahun.
Waktu mereka kecil, Zin tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Ia akan menerima Eiji apa adanya. Tapi saat ia mulai dewasa semua terasa berubah. Apa lagi Daichi terlihat suka memberikan perhatiannya pada Eiji-- mengajaknya pergi kemana pun tanpa Zin--hingga tanpa sadar melukai perasaan Zin.
Zin menyingkir dari tempatnya. Belum mau memedulikan Eiji yang menatap nanar kepadanya.
"Zin," panggil Eiji hambar.
Zin tetap sibuk dengan aktivitasnya sendiri, yaitu memakai jaket kulit hitam dan menyambar kunci motor di meja dengan kasar. Ke mana lagi lelaki itu kalau bukan ke arena tinju, tempat ia melemaskan otot-otot di tubuhnya.
"Zin ... jangan pergi!" Eiji merengek lagi. Ia bahkan merengut persis anak-anak.
"Lo ngapain sih ngerengek mulu, ribet tau gak!" ketus Zin kasar seraya menarik diri agar Eiji melepaskan pegangan di jaketnya.
"Ayah ... Ayah, Zin mau pergi!" Eiji memang selalu begitu, ia tidak terima jika Zin keluar malam hari. Khususnya saat ini, ia jauh lebih tidak ingin Zin pergi.
Daichi menatap punggung Zin yang hampir menghilang tertutupi daun pintu. Ia merangkul Eiji agar mengikuti Zin.
"Zin, tolong jangan pergi. Temani adikmu, Eiji. Hanya malam ini saja." Lelaki tua itu memohon. Ia menatap lurus ke arah Zin berharap anak yang sangat ia sayangi itu mengerti keinginannya. Namun, Zin semakin murka, pemuda itu pikir ... Daichi begitu egois. Meminta ia menanggalkan kebahagian demi menuruti Eiji. Ia hanya menggoyangkan tangan seraya menolak perintah sang ayah.
---
Zin sudah sampai di arena tinju. Tapi ia tak langsung membaur ke dalam sana. Zin memang tidak suka basa-basi dengan orang lain.
Sifatnya yang sosiopat mengantarkan ia untuk duduk menyendiri di pojokkan.
Ia duduk di lantai. Kakinya terjulur ke depan. Mencoba merengangkan letih yang mendera.
"Aarrgh. Kaki siapa nih!?" pekik Thom tak senang gara-gara kaki jenjang Zin menghalangi jalan. Sementara Zin balik menatap malas pada Thom.