Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
The Last Trace
5.0
Komentar
95
Penayangan
22
Bab

Pembunuhan saudara angkat yang terjadi di depan matanya membuat Lee Zin bertekad membalaskan dendamnya pada Carlos De Baule, seorang ketua mafia yang bengis. Zin melampiaskan kemarahan pada anak Carlos hingga tewas. Di saat yang sama Zin tertangkap basah oleh sang musuh. Sialnya, Carlos ingin bermain dengan Zin dan tidak akan membiarkan Zin hidup tenang. Akan ia pastikan Zin menikmati setiap detik penyiksaan yang membuatnya mati enggan hidup pun segan. Sampai Zin mengalami retrograde amnesia, mengakibatkan dirinya kesulitan mengingat kejadian penting. Di sisi lain, Evalingsta, suster yang diminta untuk memastikan Zin tetap hilang ingatan justru diam-diam membantu Zin dan membebaskannya untuk pergi bersama menjadi partner balas dendam. Apa yang membuat Eva menyimpan marah pada Carlos. Lantas, bagaimana kelanjutan hidup mereka setelah kabur?

Bab 1 Malam Berdarah

"Apa yang kau harapkan dari seorang tahanan sepertiku?"

Zin menggeram dan malah balik bertanya sinis. Jadi, apa yang Eva inginkan dari pria tunawisma semacamnya. Tanpa cinta dan keluarga tidak ada lagi yang lebih mengenaskan dari keadaan Zin saat ini.

Eva terhenyak. Sesaat ia ingin mencerna perkataan Zin itu dengan baik. Tetapi Zin menarik tangannya kembali begitu bernafsu. Suara hentakkan rantai dengan atap terdengar di telinga. Walau begitu, Eva tetap memegangi pergelangan Zin lengkap tatapan khawatir. Jika Zin terus begini, ia akan melukai urat nadinya sendiri.

"Aku akan membukanya untukmu."

Eva berjanji membebaskan Zin sebentar dari kekang tali rantai dipasung ke atap.

Matanya menangkap luka-luka baru masih mengangga. Sehingga darah tercampur keringat yang merembes bersamaan membuat perasaan Eva luluh, ia lupa membentengi diri dengan kewaspadaan.

Ketika Zin terbebas, ia tersenyum smirk. sekiranya, apa yang bisa dilakukan pada wanita ini untuk balas dendam ... seenaknya mempermainkan hati.

Eva pikir, perasaan Zin padanya sama sekali tidak berarti?

Terlintas ide untuk membalas perlakuan Eva. Tetapi, apa yang bisa ia perbuat. Karena menyakiti Eva lebih jauh pun masih enggan Zin lakukan. Terutama, di dalam sini tak ada benda yang bisa menyakiti Eva.

Namun, bukankah para lelaki memiliki senjata alami yang bisa digunakan untuk menyakiti seorang gadis?

Terlambat bagi Eva menyadari seringai jahat dalam diri Zin. Dengan masih memakai pergelangan besi Zin mendorong Eva hingga ke tembok.

"Ahk, Zin."

Eva menarik nafas karena dadanya bertabrakkan dengan dinding begitu kencang. Rasa linu akibat hentakan itu menjadikan ia kesulitan bernafas. Begitupun pipi kiri, Zin menahan tengkuk Eva dalam cengkraman tangannya yang besar, mengunci pergerakkan si gadis.

Dari ekor mata, Eva melirik ke Zin.

"Ap-apa yang kau lakukan?" tanya Eva tersengal. Zin mendekatkan diri ke Eva. Pertama Zin menggigit cuping telinga Eva dengan gemas.

"Satu kesalahanmu adalah begitu mempercayaiku."

Zin ingin mengatakan jika dirinyalah yang mampu memperdayai wanita. Rata-rata pria lebih tinggi ego dan inilah ego Zin. Dengan gemas tangan Zin merayap ke arah depan tubuh Eva. Mencengkram gundukkan lembut milik Eva begitu keras.

Eva memekik liar. Semakin memacu adrenalin Zin berfikir lebih seksi dari ini. Tanpa ragu, ia menarik rok span itu.

Bagian belakang Eva terpampang. Ketika Zin sedikit longgar, Eva menggeliat ingin kabur. Tidak, ia trauma akan ini. Eva tahu apa yang sebentar lagi ingin Zin lakukan padanya. Berontakannya lebih kuat tapi Zin tidak bodoh. Ia mencekal kedua tangan Eva dan meletakkan di belakang pinggul.

"Zin," bentak Eva murka. Zin sudah dipenuhi gelora birahi tanpa peduli menarik penutup segitiga itu hingga jatuh melewati tungkai kaki jenjang milik Eva. Ia membungkukkan tubuh Eva setengah hingga selubung hangat milik Eva terpampang di depannya.

Sungguh saat yang sama Zin terpaku. Ia tergugah juga gelap mata, ini kali pertama menatap secara langsung pastinya menciptakan rasa grogi.

"Zin apa yang ingin kau lakukan?!" Sentakkan Eva mengembalikan tujuan Zin. Satu tangan ia pakai untuk membuka pengait jeans juga resleting. Cepat Zin melorotkan celana hingga ke paha. Membebaskan benda sangat perkasa yang ia sebut senjata alami. Nafas Zin memburu, ia memposisikan batang miliknya di belakang tubuh Eva kemudian menancapkan di antara paha gadis itu segera.

"Ahk!!" Eva melotot. Seluruh tubuhnya lemas juga bergetar hebat. Zin memenuhi dirinya di bawah sana. Rasanya begitu sesak dan keras.

Sedang Zin, ini pengalaman pertama ia merasakan dinding kenikmatan membalut batang miliknya. Selubung itu begitu rapat seakan ingin mematahkan miliknya untuk tertinggal di sana.

Zin menggeram di kerongkongan.

Sial, ini begitu melenakan. Kepalanya pusing tidak tahu ingin apa lagi. Jakun Zin naik turun, ia merasa ada yang menyangkut di dalam kerongkongan. Zin yakin debaran jantungnya segera meledak. Jika ia masih bisa selamat setelah ini, mungkin itu satu keajaiban.

Secara insting Zin memajukan pinggul semakin rapat pada Eva. Lagi, ia terpejam dirinya siap menelan semua kenikmatan yang baru kali ini dirasakan.

Zin begitu terbuai. Sesaat ia lupa dengan kesengsaraan. Apa itu berdarah, luka-luka perih mengisi seluruh celak otot tidak mampu menyadarkan anak muda yang kini terhanyut dalam peluh akibat kegiatan memaju mundurkan pinggul berharap bisa mengisi Eva sebanyak yang ia bisa.

Tangan Eva tidak lagi Zin cengkram. Ia membebaskan gadis itu menumpuhkan telapaknya di dinding karena gerakkan liar Zin begitu menggetarkan sang wanita. Zin pun ikut meletakkan satu tangan. Sedang satu lagi memegangi ujung rok Eva supaya tidak jatuh. Kini Zin mengamati miliknya bergerak dan tersesat di dalam Eva.

Dia sangat menikmati menatap miliknya yang dikunyah bagian bawah Eva begitu lihai. Zin terkekeh.

"Bagaimana, kau juga suka kan?"

Zin berubah menjadi monster bagi Eva. Namun, bukan ini yang Zin inginkan. Seandainya saja Zin bisa bertemu Eva dilain kesempatan dan menjadi lelaki sejati. Seandainya kejadian malam itu tidak pernah terjadi hingga menghancurkan hidup Zin ...

***

"Zin ... Zin. Lihat! Aku berhasil membuat burung. Burung ini nantinya yang akan menerbangkan kita Zin. Kamu ingat kan? Dulu, kamu pernah mengajarkan aku membuatnya," pekik Eiji kegirangan tapi tidak dengan Zin. Lelaki yang sejak tadi dipanggil itu tampak acuh, tidak berniat sedikit pun membalas ucapan Eiji. Bahkan sekadar menengok adiknya itu, Zin malas.

Bukan tanpa sebab. Entah sejak kapan, ia merasa Daichi-ayah mereka- lebih mencintai Eiji. Zin tahu, Eiji memiliki kebutuhan khusus yang mengharuskannya mendapat perhatian lebih. Kondisi Down Syndrome trisomi 21, keadaan langka yang membuat tumbuh kembang dan karakteristik penderita berbeda dari yang lain. Karena itu, meski Eiji sudah berusia tujuh belas tahun, sikapnya masih layak disebut anak kecil berusia enam tahun.

Waktu mereka kecil, Zin tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Ia akan menerima Eiji apa adanya. Tapi saat ia mulai dewasa semua terasa berubah. Apa lagi Daichi terlihat suka memberikan perhatiannya pada Eiji-- mengajaknya pergi kemana pun tanpa Zin--hingga tanpa sadar melukai perasaan Zin.

Zin menyingkir dari tempatnya. Belum mau memedulikan Eiji yang menatap nanar kepadanya.

"Zin," panggil Eiji hambar.

Zin tetap sibuk dengan aktivitasnya sendiri, yaitu memakai jaket kulit hitam dan menyambar kunci motor di meja dengan kasar. Ke mana lagi lelaki itu kalau bukan ke arena tinju, tempat ia melemaskan otot-otot di tubuhnya.

"Zin ... jangan pergi!" Eiji merengek lagi. Ia bahkan merengut persis anak-anak.

"Lo ngapain sih ngerengek mulu, ribet tau gak!" ketus Zin kasar seraya menarik diri agar Eiji melepaskan pegangan di jaketnya.

"Ayah ... Ayah, Zin mau pergi!" Eiji memang selalu begitu, ia tidak terima jika Zin keluar malam hari. Khususnya saat ini, ia jauh lebih tidak ingin Zin pergi.

Daichi menatap punggung Zin yang hampir menghilang tertutupi daun pintu. Ia merangkul Eiji agar mengikuti Zin.

"Zin, tolong jangan pergi. Temani adikmu, Eiji. Hanya malam ini saja." Lelaki tua itu memohon. Ia menatap lurus ke arah Zin berharap anak yang sangat ia sayangi itu mengerti keinginannya. Namun, Zin semakin murka, pemuda itu pikir ... Daichi begitu egois. Meminta ia menanggalkan kebahagian demi menuruti Eiji. Ia hanya menggoyangkan tangan seraya menolak perintah sang ayah.

---

Zin sudah sampai di arena tinju. Tapi ia tak langsung membaur ke dalam sana. Zin memang tidak suka basa-basi dengan orang lain.

Sifatnya yang sosiopat mengantarkan ia untuk duduk menyendiri di pojokkan.

Ia duduk di lantai. Kakinya terjulur ke depan. Mencoba merengangkan letih yang mendera.

"Aarrgh. Kaki siapa nih!?" pekik Thom tak senang gara-gara kaki jenjang Zin menghalangi jalan. Sementara Zin balik menatap malas pada Thom.

"Kaki lo minggirin dong!" Thom menendang kaki Zin kasar. Tapi, sayang tulang kokoh Zin sama sekali tidak bergerak dari tempatnya.

"Mata lo buta. Dari tadi juga kaki gue di sini,"

kata Zin sinis. Membuat darah Thom naik hingga mukanya memerah. Ia pun menginjak tulang kering Zin.

"Ahkk ... dasar sialan!" maki Zin. Meski kakinya masih linu, ia mencoba berdiri.

Mata bertemu mata, Zin berhadapan dengan Thom yang terlihat tidak gentar justru mendorong pelipis Zin keras.

"Anak bego aja belagu!" ejeknya, tersenyum miring.

"Jangan mentang-mentang pelatih bilang lo hebat, lo jadi belagu gini. Pelatih cuma mau hibur lo anak yang gak dianggap sama orangtuanya. Gitu kan, Guys?!" tukas Thom

berbalik melihat ketiga temannya.

Bibirnya tersenyum miring, menganggap jika dirinya sudah berhasil menjatuhkan mental Zin.

Zin langsung mendorong Thom tanpa segan. Ia menduduki perut Thom dan memukul wajah yang paling Thom banggakan. Gempuran kepalan tangan Zin meninju segala sudut wajah Thom membuat pria itu kewalahan.

"Guys... tolongin gue, pegangin dia. Bangsat lo!"

Zin sudah menginjak kedua lengan Thom dengan sepatu ketsnya. Sampai Thom sama sekali tidak bisa melawan.

"Guys ... Lo pada ke mana, cepet tolongin gue!"

Zin dengan sengaja memasukkan kedua jari ke mulut Thom supaya dia tidak lagi berisik seperti tadi. Jemari Zin menarik lidah Thom keluar sampai ia kesakitan.

Wajah Thom sudah tidak berbentuk karena terlalu babak belur. Matanya dengan panik mencari ketiga temannya, tapi sayang tidak ada yang berani pada Zin. Bahkan semua orang hanya mengitari pertengkaran ini.

Salah satu sahabat Thom mencoba maju satu langkah dan itu ditangkap oleh mata elang Zin.

"Sekali lo ikut campur, gue patahin leher lo!" ancamnya. Ia memang lelaki yang tidak ingin setengah-setengah melampiaskan amarah.

Orang yang diancam itu menelan ludahnya kasar. Sangat tak mau terjadi sesuatu dengan lehernya yang belum diasuransi.

Akhirnya ia memutuskan berlari ke sang Pelatih. Hanya lelaki itu yang bisa menjinakkan Zin.

"Sensei ... Sensei tolong Zin dan Thom bertengkar!" Pak Pelatih hanya mengernyitkan alis.

"Ini pasti Thom yang cari gara-gara?!" tebaknya. Sahabat Thom itu hanya menunduk takut. Ia tidak bisa terlalu banyak membela Thom.

"Hhah... ayok!" sahut Pelatih kemudian. Tangannya sambil menarik gagang pel. Karena tadi ia sedang bersih-bersih ruangan sebelah.

"Zin!" pekik Pelatih keras. Matanya melotot, ia menjatuhkan gagang pel itu sehingga menimbulkan bunyi yang keras.

Zin langsung bangun dari tubuh Thom dan berlari untuk mengambil gagang pel itu. Diletakkannya lagi di telapak tangan sang Pelatih begitu santun.

Zin setidaknya tahu, guru adalah orang yang harus ia hormati.

"Bersihin sisa darahnya! Baru saja saya pel." Kesal Pelatih memberikan pel itu ke Zin.

Zin menerimanya dengan senang hati.

"Sensei ... gitu aja?!" tanya sahabat Thom, takut-takut. Ia pikir, Zin akan mendapat hukuman yang sangat berat.

"Emang harus gimana? Thom yang cari masalah. Wajar dong kalau dia dapat balasan dari apa yang dia kerjakan dan kamu tunggu apa lagi? Bangunkan teman kamu itu sebelum dia terkena sodokkan gagang pel!" titahnya.

Zin jadi tersenyum. Memang pelatihannya itu sangat bisa diandalkan.

Saat Zin masih membersihkan ruangan, Pak Pelatih kembali mengamati Zin. Ia tahu, Zin punya kekuatan besar dalam dirinya. Ia bisa dengan mudah menjadi juara boxing meski tanpa latihan sekali pun.

Zin punya bakat yang datang begitu saja. Mungkin ini adalah anugerah tapi bisa juga berubah menjadi petaka untuk Zin seandainya saja ia tak bisa mengatur emosi.

Oleh karena itu, ia bersedia melatih Zin. Bukan untuk membentuk otot-otot alami yang Zin miliki. Bukan juga mengasah kemampuan yang hampir mendekati kata sempurna. Akan tetapi, untuk mengatur emosinya agar lebih stabil. Meski mungkin itu sulit.

Mengingat usia Zin yang baru dua puluh tahun membuat ia masih sering termakan perkataan orang.

"Eeh, Sensei!" sapa Zin saat menyadari dirinya ditatap.

"Emangnya tadi kenapa, kok sampai lepas kontrol lagi?" tanya Pelatih santai. Mulutnya sambil mengeluarkan asap dari cerutu yang ia hisap.

"Bukan apa-apa, Sensei."

"Bukan apa-apa tapi gigi Thom patah dua," ledeknya. Zin hanya terkekeh.

"Maaf Sensei, malam ini saya mengecewakan Anda."

"Seharusnya kamu meminta maaf pada dirimu sendiri. Bukan saya, tapi kamu mengecewakan usahamu sendiri untuk berubah. Apa cuma karena satu dua kata yang membuatmu kehilangan kendali?"

Zin terdiam, ia menunduk saja. Satu-satunya orang yang ia dengarkan nasihatnya selain Daichi adalah Pak Pelatih.

"Pulanglah ...." Pak Pelatih sejak tadi melihat jika Zin gelisah. Zin termanggu setelah disuruh pulang, memang benar dirinya sangat ingin kembali ke rumah. Zin tidak ingin melihat Eiji sedih lalu menyusahkan ayah mereka.

'Sial!' Zin sadar, ia mencintai dan membenci Eiji disaat bersamaan.

"Ya sudah aku pulang, Sensei."

Di jalan, Zin berencana untuk mengalah sekali lagi. Semua itu demi senyum polos Eiji. Namun, yang diharapkan Zin tidak akan pernah lagi terjadi.

Tepat di depan matanya, ia melihat mobil sport sedang menarik seseorang menggunakan tali.

Tubuh orang itu sudah kotor tertutup debu jalan. Pun tidak ada darah yang mengalir setelah disumbat paksa. Suaranya lirih, memohon untuk menyudahi penyiksaan itu.

Zin menyipitkan mata memastikan jika penglihatannya tak salah dan saat menyadari sosok tersebut sontak bola matanya membesar serta darah dalam tubuhnya mendidih sampai ke ubun.

Ia pun menarik penuh gas motornya sambil berteriak, "Eiji!!"

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Mega Silvia

Selebihnya

Buku serupa

Godaan Sang Mantan

Godaan Sang Mantan

Romantis

5.0

WARNING 21+‼️ (Mengandung adegan dewasa) "Ughh..." Marina melenguh sambil mencengkram pergelangan tangan Willem. "Sakit, Will." "Kamu mendesah barusan," bisik Willem. Marina menggigit bibirnya menahan senyum yang hendak terbit. Willem segera menegakkan punggungnya, menatap Marina dengan penuh cinta di bawah kendalinya. "Tapi sakit, jangan terlalu keras... ahhh," ucap Marina. Belum selesai ia berucap, tiba-tiba ia mendesah saat Willem menghentakkan pinggul dengan lembut. "Ahhh..." *** Seiring berjalannya waktu, Marina semakin yakin bahwa keputusannya untuk menghindari pertemuan dengan mantan kekasihnya, Willem Roberto, adalah langkah yang tepat. Luka yang dalam akibat keputusan Willem di masa lalu membuat Marina merasa hancur dan ditinggalkan begitu saja setelah ia menyerahkan segalanya kepadanya. Meski Marina berusaha sekuat tenaga untuk menjauhi Willem, takdir mempertemukan mereka kembali setelah tujuh tahun berpisah. Pertemuan ini tidak bisa dihindari, dan Marina pun merasa tergoda oleh pesona mantan kekasihnya. Walaupun hatinya masih terluka, Marina terbawa dalam nostalgia dan hangatnya kenangan masa lalu. Keduanya larut dalam kenangan manis dan berbagi momen intim di dalam kamar hotel. Willem terus menggoda Marina dengan daya tariknya yang memikat, membuat wanita itu sulit untuk menolaknya. Marina pun berada dalam kebimbangan, diantara kerinduan akan cinta yang dulu dan ketakutan akan luka yang mungkin kembali menghampirinya. Kisah cinta Marina dan Willem kembali terjalin, namun kali ini dipenuhi dengan ketidakpastian dan keragu-raguan. Marina harus segera memutuskan apakah ia akan terus terjebak dalam kenangan yang menyakitkan atau memilih untuk bangkit, memperbaiki diri, dan menempatkan kebahagiaannya di atas segalanya.

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku