Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Sang Pemuas
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
POV Citra
Sore ini aku baru saja tiba di Rumah Sakit Husada tempatku bekerja. Ketika memasuki ruangan bersalin untuk pergantian shift, aku melihat semua rekan kerjaku terlihat sedih, terutama Dokter Ardian. Ia masih memakai APD (Alat Pelindung Diri) lengkap yang menempel pada tubuhnya dan duduk di samping seorang pasien yang aku duga sudah meninggal dunia.
Aku menaruh tasku di dalam loker lalu duduk berkumpul dengan rekan-rekan kerjaku untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi.
“Ada apa?” tanyaku pada Dewi seraya berbisik dan menyenggol sikunya.
“Istri Dokter Ardian meninggal dunia,” jawab Dewi dengan setengah berbisik.
Aku pun melebarkan kelopak mataku tanda terkejut. Pantas saja semua orang terlihat berduka.
“Apa bayinya selamat?” tanyaku lagi pada Dewi.
“Hm,” sahut Dewi dengan menunduk tanpa memandang ke arahku.
Aku pun merasa sedikit lega mendengarnya. Paling tidak Dokter Ardian tidak kehilangan keduanya.
Satu jam berlalu. Kami sudah melakukan pergantian shift dari pagi ke sore. Semua orang sibuk dengan tugasnya masing-masing. Sebagian orang mengurus jenazah istri Dokter Ardian. Sedangkan aku melakukan cek TTV (Tanda-tanda Vital) dari ruangan ke ruangan pada pasien yang sudah melahirkan tadi pagi.
Seusai memeriksa empat belas pasien, aku kembali ke ruang bersalin untuk menyalin hasil pemeriksaanku pada buku status pasien.
Sebelum mencatat, aku mencuci tangan pada wastafel yang tidak jauh dari meja kursi tempatku akan mencatat. Dari pantulan cermin yang ada di depanku, aku bisa melihat Dokter Ardian sangat terpukul sekali.
Aku ingin menyapanya dan mengucapkan rasa bela sungkawaku padanya, tapi aku takut karena dia tidak mengenalku. Aku baru satu bulan bekerja di sini setelah lulus dari Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan jurusan Kebidanan.
Setelah mencuci tangan, aku melanjutkan pekerjaanku menulis laporan pada lembar status pasien. Ketika aku sedang menulis, tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahuku. Aku pun terjingkat karena terkejut.
“A-ada yang bisa saya bantu, Dok?” tanyaku setelah melihat orang yang menepuk bahuku, yang ternyata adalah Dokter Ardian.
“Tolong belikan saya teh hangat di kantin!” ucap Dokter Ardian dengan lirih seraya menyerahkan uang dua puluh ribu padaku.
“Baik, Dok!” sahutku dengan tersenyum. Aku pun segera bangkit dari tempat dudukku dan meninggalkan pekerjaanku untuk pergi ke kantin sebentar.
Di kantin, sambil menunggu tehnya siap, aku mengambil beberapa roti juga. Aku yakin Dokter Ardian juga belum makan siang saat ini. Setelah membayar, aku pun segera kembali ke ruang bersalin.
“Ini pesanannya, Dok,” kataku seraya menaruh nampan berisi satu gelas teh hangat dan beberapa roti di atas meja yang ada depan Dokter Ardian. Tidak lupa uang kembalian juga kuletakkan di atas nampan itu.
Dokter Ardian menatap nampan itu lalu menatap ke arahku. “Aku tidak memesan roti,” ujarnya lalu meraih gelas berisi teh hangat dan meminumnya.
“Iya saya tahu, Dok, tapi Dokter juga harus makan. Anak Dokter membutuhkan Papanya. Jadi, Dokter juga harus punya tenaga untuk merawat dan menjaganya,” kataku memberanikan diri berkata seperti itu pada Dokter Ardian. Padahal jantungku sudah berdegup kencang karena merasa takut membantah atasan.
Dokter Ardian pun menatapku sekilas dan berkata, “Terima kasih.”
“Sama-sama, Dok. Kalau begitu saya permisi,” pamitku seraya perlahan menjauh dari Dokter Ardian untuk melanjutkan pekerjaanku yang tertunda.